Studi BIS, berdasarkan pengalaman empiris di negara-negara berkembang, menunjukkan apresiasi dollar AS memberi pukulan lewat dua jalur.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
”Kita sedang berada pada iklim yang memunculkan rasa gugup,” kata Moh Siong Sim, pakar valuta asing di Bank of Singapore, Senin (27/2/2023). Rasa gugup pasti sedang mendera banyak pihak yang tidak menginginkan lanjutan kenaikan kurs dollar AS. Namun, masalahnya kurs dollar AS berpotensi menguat lagi.
Memang indeks dollar AS sempat melemah setelah mencapai puncaknya sepanjang 2022, yakni pada angka 114,10 pada 29 September 2022. Indeks dollar AS ditentukan berdasarkan rata-rata tertimbang terhadap enam mata uang kuat dunia, yakni euro, poundsterling, yen, dollar Kanada, kroner Swedia, dan frank Swiss.
Sejak September 2022 itu, indeks dollar AS terus menurun hingga mencapai 101,91 pada 1 Januari 2023. Hal ini sempat memunculkan opini bahwa penguatan dollar AS sudah berakhir. Argumentasinya adalah Bank Sentral AS (The Fed) sudah mulai menurunkan besaran kenaikan suku bunga sehubungan dengan tekanan inflasi mereda.
Sejumlah investor besar juga yakin penguatan dollar AS sudah berakhir. ”Puncak dollar AS sudah berlalu dan akan melemah di depan,” kata George Boubouras, veteran pedagang valas dan kepala riset di perusahaan hedge fund, K2 Asset Management, sebagaimana dikutip Bloomberg, 24 Februari 2023.
Tren penguatan
Namun, tidak semua pihak berkata demikian. Suku bunga inti di AS masih perlu dinaikkan karena tekanan inflasi masih kuat. Ini didasarkan pada ukuran inflasi pilihan The Fed, indeks personal consumption expenditures, yang menunjukkan inflasi tahunan naik menjadi 5,4 persen pada Januari 2023, dari 5,3 persen pada Desember 2022.
Di samping itu tetap ada ancaman resesi global, risiko geopolitik, dan perang ekonomi. Situasi ini membuat para investor dan kaum kaya mencari pelarian untuk mengamankan aset, salah satunya dengan memegang dollar AS. Maka, muncul sebutan dollar is the king. ”Dollar AS telah mencapai puncaknya, tetapi tidak bisa dipastikan apakah akan menurun segera,” kata Omar Slim, dari PineBridge Investments di Singapura.
Riset BIS
Potensi kenaikan suku bunga juga tersingkap berdasarkan riset The Bank for International Settlement (BIS). Lembaga yang juga disebut bank sentral dari bank-bank sentral dunia itu mengatakan, otoritas moneter di sejumlah negara tidak boleh lengah hingga inflasi benar-benar terkendali.
BIS mengingatkan agar dunia jangan mengulangi kesalahan AS pada dekade 1970-an. Kepala Departemen Moneter dan Ekonomi BIS Claudio Borio, Senin (27/2), mengatakan, pada dekade 1970-an pernah ada opini bahwa inflasi telah teratasi dan lanjutan kenaikan suku bunga ditunda. Kemudian terbukti bahwa inflasi melejit lagi dan bank-bank sentral dipaksa menaikkan kembali suku bunga.
”Bagi bank-bank sentral, sangat jelas bahwa saat ini aspek terpenting adalah menuntaskan pekerjaan,” kata Borio. Kesalahan penilaian pada dekade 1970-an membuat The Fed menaikkan suku bunga ke level sangat tinggi, penyebab resesi disertai inflasi tinggi.
Anggota Dewan Gubernur The Fed, Philip Jefferson, Senin (27/2), saat berbicara di kelas ekonomi Universitas Harvard, juga menegaskan, walau inflasi mulai turun, tetap tidak mudah menempuh target inflasi 2 persen. Ia menambahkan, target menurunkan inflasi hingga 2 persen tetap menjadi patokan. Ini merupakan jawaban atas usulan agar AS menaikkan target inflasi menjadi 3–4 persen.
Arah kurs dollar
Pernyataan Jefferson sekaligus menguatkan tekad The Fed untuk menaikkan suku bunga. Situasi terbaru itu membuat dorongan kenaikan kurs dollar AS makin kuat.
Lalu, seberapa kuat dollar AS akan menguat? Salah satu acuan arah kurs dollar AS bisa dilihat berdasarkan pengalaman historis. Indeks dollar AS, pertama kali dibentuk pada Maret 1973, pernah mencapai puncak tertinggi, yakni 164,72 pada Februari 1985. Ini periode saat perekonomian dunia sedang mengalami resesi, termasuk akibat kenaikan suku bunga Fed yang pernah mencapai 19,08 persen pada Januari 1980.
Artinya, saat itu terhadap sejumlah mata uang terkuat di dunia, kurs dollar AS mengalami apresiasi hingga 64,72 persen. Saat bersamaan apresiasi kurs dollar AS jauh lebih tinggi terhadap mata uang sejumlah negara berkembang.
Sepanjang 2022, indeks dollar AS tertinggi adalah 114,10 terhadap enam mata uang kuat dunia. Akan tetapi, apresiasi dollar AS terhadap mata uang beberapa negara berkembang sangat akut. Dollar AS mencapai apresiasi 92,8 persen terhadap peso Argentina, lira Turki 83,2 persen, cedi Ghana 68,8 persen, dan poundsterling Mesir 41,9 persen. Terhadap rupiah, dollar AS mengalami apresiasi 14,3 persen sejak akhir 2000 hingga 27 Februari 2023.
Sebaliknya, indeks dollar AS pernah mengalami angka terendah, yakni 70,69 pada 16 Maret 2008. Kekacauan perekonomian AS turut membuat anjlok kurs dollar AS sehingga perannya sebagai safe haven pernah juga memudar ketika itu.
Fungsi ”safe haven”
Perekonomian AS kini tidak sedang dalam kondisi baik. Inflasi tinggi dan akumulasi utang sudah melebihi 31 triliun dollar AS. ”Kami perkirakan dollar AS akan kehilangan peran sebagai safe haven,” kata ahli strategis global PIMCO, Gene Frieda, 2 Februari 2023.
Akan tetapi, dollar AS masih tetap dilihat sebagai safe haven. Ini karena posisi dollar AS sebagai mata uang utama dunia belum tergantikan. Peran dollar AS sebagai safe haven hanya sedang menurun, tidak sekuat saat ekonomi AS sedang berjaya, tetapi peran itu tidak sirna sama sekali.
Lalu, seberapa jauh kurs dollar AS akan mengalami apresiasi di tengah kelanjutan kenaikan suku bunga AS? Tidak ada yang bisa menduga hal itu. Akan tetapi, diyakini kurs dollar AS akan menguat lagi, apalagi terhadap sejumlah negara berkembang. Indeks dollar AS sudah naik dari level terendah 101,91 pada 1 Januari 2023 menjadi 104,95 pada 28 Februari 2023.
Efek apresiasi
Masalah baru pun diperkirakan muncul seiring dengan apresiasi kurs dollar AS. Laporan BIS terbaru, ”BIS Quarterly Review, March 2023, International banking and financial market developments”, menyebutkan, apresiasi menjadi ancaman tersendiri terhadap negara berkembang. Studi BIS berdasarkan pengalaman empiris di negara-negara berkembang menujukkan, apresiasi dollar AS memberi pukulan lewat dua jalur.
Jalur pertama adalah lewat kenaikan biaya impor karena depresiasi mata uang lokal. Ini karena dollar AS masih merupakan alat tukar utama transaksi internasional. Efek apresiasi dollar AS bagi negara berkembang akan lebih besar, apalagi jika diikuti dengan kenaikan harga komoditas internasional.
Jalur kedua adalah beban bagi perusahaan yang tertimpa kewajiban luar negeri akibat apresiasi dollar AS. Oleh sebab itu, negara-negara berkembang dipaksa mengantisipasi pengamanan seiring dengan potensi apresiasi dollar AS masa berikutnya. (REUTERS/AP/AFP)