Setahun Invasi, AS-UE Kembali Hujani Rusia dengan Sanksi
Memasuki tahun kedua perang, tidak ada indikasi Putin akan mundur dari konflik. Segunung sanksi yang telah diterapkan Barat dan sekutu-sekutunya tampaknya belum memukul perekonomian Rusia seperti yang mereka prediksi.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·4 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Uni Eropa sepakat menjatuhkan paket sanksi kesepuluh terhadap Rusia, setahun setelah invasi ke Ukraina. Langkah Uni Eropa menyusul Amerika Serikat yang lebih dahulu menerapkan gelombang sanksi baru atas Rusia. Sementara Rusia menyatakan, sanksi-sanksi itu tidak akan berdampak apa-apa.
Setelah pembahasan alot pada Jumat (24/2/2023), presidensi Uni Eropa yang dipegang Swedia mengumumkan paket sanksi baru itu. ”Paket sanksi menarget individu dan lembaga yang mendukung perang, menyebarkan propaganda, atau mengirimkan pesawat nirawak yang digunakan Rusia dalam perang,” sebut pernyataan UE.
Seorang diplomat UE kepada kantor berita AFP mengatakan, sebanyak 120 individu dan lembaga, serta tiga bank Rusia, masuk dalam daftar sanksi. Diplomat lain menyebut, paket sanksi yang diajukan termasuk pemangkasan barang-barang industri senilai 11 miliar euro.
Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan, barang-barang yang diberi sanksi mencakup elektronik dan suku cadang mesin yang digunakan untuk pesawat nirawak (drone), rudal, helikopter, dan sistem persenjataan lainnya. Ia menambahkan, ada tujuh lembaga Iran yang menyediakan produk-produk penggunaan ganda bagi Rusia turut dijatuhi sanksi.
Pembahasan paket sanksi terbaru UE, menurut sejumlah diplomat UE, berjalan alot karena menurut Polandia sanksi itu tak cukup berat bagi Rusia. Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki, saat mengunjungi Kyiv, mengatakan, usulan sanksi UE terlalu lunak dan terlalu lemah. Menurut Warsawa, larangan impor UE atas karet Rusia yang mencakup kuota besar dikecualikan dan dalam jangka panjang tidak akan berdampak apa pun pada praktiknya.
Sebelum UE, AS lebih dulu mengumumkan sanksi baru atas Rusia. Presiden AS Joe Biden mengungkap sanksi bersamaan dengan dukungan bagi Ukraina dari G7 atau tujuh negara terkaya di dunia.
Gedung Putih menyatakan, sanksi baru itu mengincar 200 orang dan lembaga yang diharapkan akan lebih jauh menurunkan perekonomian Rusia dan melenyapkan kemampuan negara itu membiayai perang di Ukraina. Pemerintahan Biden juga akan melarang lebih banyak ekspor ke Rusia; menaikkan tarif atas sejumlah barang impor dari Rusia; larangan visa bagi anggota militer Rusia; membekukan aset-aset sekutu Presiden Rusia Vladimir Putin; melarang impor aluminium dari Rusia; membatasi aktivitas bank Rusia; serta memasukkan perusahaan ponsel terbesar kedua Rusia, Megafon, dalam daftar hitam.
Secara spesifik, Departemen Luar Negeri AS memasukkan sanksi atas anggota kabinet Rusia serta belasan gubernur dan kepala daerah. Departemen Keuangan AS memasukkan tambahan 22 orang dan 83 lembaga ke dalam daftar sanksi yang telah diterapkan tahun lalu. Daftar baru ini mencakup pula 30 orang dan perusahaan dari Swiss, Jerman, dan negara lain yang membantu Moskwa membiayai perang di Ukraina.
Departemen Perdagangan AS menerapkan larangan ekspor atas 90 perusahaan Rusia dan perusahaan negara ketiga, termasuk China, yang membantu Rusia menghindari sanksi Barat. Departemen Perdagangan juga berupaya mencegah komponen dalam drone Iran sampai ke medan perang di Ukraina. Kenaikan tarif AS diberlakukan pada lebih dari 100 produk logam, mineral, dan bahan kimia Rusia senilai 2,8 miliar dollar AS.
AS dan sekutu-sekutunya telah menjatuhkan sanksi atas sekitar 2.500 perusahaan, pejabat pemerintah, oligarki Rusia beserta keluarganya. Sanksi itu mulai dari perlucutan akses pada rekening bank dan pasar keuangan AS, pencegahan bisnis dengan warga AS, serta bepergian ke AS.
Pada hari yang sama, Inggris mengumumkan sanksi baru bagi perusahaan-perusahaan yang memasok perlengkapan tempur Rusia, larangan ekspor ke Rusia untuk semua barang yang digunakan dalam perang seperti suku cadang pesawat tempur, perlengkapan radio, dan komponen elektronik senjata. ”Rasanya pekerjaan belum selesai,” kata Menteri Keuangan Inggris Jeremy Hunt.
Menanggapi sederet sanksi baru, Duta Besar Rusia untuk AS Anatoly Antonov mengatakan, sanksi-sanksi itu tidak akan ada dampaknya. ”Sanksi-sanksi itu tidak masuk akal dan dirancang untuk membuat Rusia menderita. Apakah ada yang berpikir itu caranya membuat negara kami meninggalkan kebijakan independennya?” kata Antonov, dikutip kantor berita RIA.
Memasuki tahun kedua perang, tidak ada indikasi Putin akan mundur dari konflik. Segunung sanksi yang telah diterapkan Barat dan sekutu-sekutunya pun tampaknya belum memukul perekonomian Rusia seperti yang mereka prediksi. Menurut laporan Moody’s Investors Service, perekonomian Rusia bisa menghadapi sanksi lebih baik pada 2022, sebagian karena pemberlakuan sanksi komoditas yang lambat. Larangan ekspor dan sanksi finansial secara bertahap menggerus kapasitas perindustrian Rusia, tetapi ekspor minyak dan energi lainnya tahun lalu tetap bisa membuat Putin membiayai perang. (AP/AFP/REUTERS)