Di Bawah Bayang-bayang Gejolak Energi
Menguatnya perang ekonomi antara AS dan sekutunya dengan Rusia berpotensi memperpanjang ketidakpastian harga energi pada 2023. Pelaku industri bersiap menghadapi tekanan ongkos produksi dan melemahnya permintaan ekspor.
Perang di Ukraina yang diperkirakan masih berkepanjangan terus menekan ekonomi dunia. Energi sebagai salah satu palagan dalam perang ekonomi berisiko terus berdinamika dalam ketidakpastian.
Setahun berlalu, tak ada tanda-tanda perang di Ukraina akan usai. Alih-alih berhenti, eskalasi perang proksi antara Amerika Serikat dan Rusia itu berpotensi memperpanjang turbulensi harga energi global, membuat pelaku industri ketar-ketir.
Tahun 2022 ditutup dengan tren melandainya harga berbagai komoditas energi. Perkiraan jangka pendek yang dipublikasikan Administrasi Informasi Energi AS (US Energy Information Administration/EIA) pada 7 Februari 2023 menunjukkan, rata-rata konsumsi bahan bakar cair dunia sepanjang 2023 akan meningkat, dari 99,36 juta barel per hari pada 2022 menjadi 100,47 juta barel per hari pada 2023.
Baca juga: Setahun Perang Ukraina-Rusia dalam Angka
Produksi juga naik dari 99,95 juta barel per hari pada 2022 menjadi 101,1 juta barel per hari pada 2023. Sejalan dengan itu, EIA memperkirakan rata-rata harga minyak mentah Brent sebagai acuan internasional akan melandai dari 100,94 dollar AS per barel pada 2022 menjadi 83,63 dollar AS per barel pada 2023.
Meski demikian, menguatnya perang proksi yang, antara lain, berwujud pada perang ekonomi antara AS bersama sekutu dan Rusia berpotensi memperpanjang ketidakpastian harga energi pada 2023.
Dalam sepekan terakhir, terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia, yang dipicu oleh rencana Rusia mengurangi produksi minyaknya mulai Maret 2023 hingga 500.000 barel per hari atau 5 persen dari produksi. Langkah itu diambil untuk membalas sanksi Barat yang menerapkan batasan harga pada minyak mentah dan bahan bakar Rusia.
Seiring langkah Rusia mengurangi produksi, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga tetap menjalankan keputusannya akhir tahun lalu untuk memangkas kuota produksi minyak sepanjang 2023 meski ekonomi China sudah kembali dibuka dan permintaan global diproyeksikan meningkat.
Fluktuasi harga diperkirakan akan berlanjut sepanjang tahun, selama perang proksi antara negara-negara adidaya terus bereskalasi.
Berbagai sentimen tersebut membuat harga minyak mentah dunia sempat naik lebih dari 2 persen secara harian dan 8 persen secara mingguan pada akhir perdagangan Jumat (10/2/2023). Meski harga minyak per Rabu (15/2) mulai menurun tipis, fluktuasi harga diperkirakan akan berlanjut sepanjang tahun selama perang terus bereskalasi.
”Saat ini fokus negara-negara di dunia ialah energy security atau mengamankan suplai energi. Harga akan melandai jika ada banjir produksi dari negara produsen. Sebaliknya, pergerakan harga menajam apabila praktik business as usual masih berlanjut,” kata anggota Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha, Sabtu (11/2).
Menambah risiko
Ketidakpastian harga energi akibat eskalasi perang itu otomatis akan menambah risiko pada perekonomian Indonesia tahun ini. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance Eko Listiyanto menilai, masyarakat dan dunia industri mau tidak mau harus kembali bersiap menghadapi tekanan kenaikan harga energi.
”Selama ini, kita masih yakin harga komoditas energi tidak akan setinggi tahun lalu. Tetapi, siapa yang bisa menebak? Melihat dinamika awal tahun ini, ketegangan geopolitik bisa mengubah berbagai proyeksi, terlebih kita belum punya exit strategy mengantisipasi lonjakan harga minyak,” katanya.
Baca juga: Invasi Rusia dan Energi yang Dipersenjatai
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, nilai impor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia sepanjang 2022 mencapai 40,42 miliar dollar AS. Ini lebih tinggi 58,31 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berkisar 25,53 miliar dollar AS.
Selaku net importir minyak, Indonesia sudah pasti akan terdampak jika terjadi lonjakan harga. Menurut Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia Shinta W Kamdani, kenaikan harga migas akibat konflik geopolitik akan berdampak pada ketersediaan bahan bakar minyak dan naiknya biaya produksi di sektor manufaktur.
Tekanan inflasi
Shinta tak menampik, sebagai eksportir komoditas, ada dampak positif yang dirasakan Indonesia, seperti kenaikan harga batubara dan minyak kelapa sawit. Namun, dampak itu tidak lebih besar dibandingkan dengan tekanan inflasi yang muncul.
Dia juga khawatir, inflasi yang tinggi dapat mengancam daya beli masyarakat serta pertumbuhan konsumsi di pasar dalam negeri. ”Bagaimanapun caranya dan tidak peduli negara mana saja yang terlibat, kami ingin konflik cepat selesai. Dengan demikian, gangguan terhadap pasar komoditas global dapat selesai,” ujarnya.
Bagaimanapun caranya dan tidak peduli negara mana saja yang terlibat, kami ingin konfliknya cepat selesai.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Industri Johnny Darmawan mengatakan, pengusaha punya dua opsi dalam menyikapi potensi kenaikan harga energi itu. Pertama, mentransmisikan kenaikan ongkos produksi terhadap harga barang di pasaran. Konsekuensinya, permintaan dan penjualan bisa menurun.
Kedua, kembali menekan margin keuntungan seperti tahun lalu agar harga tetap stabil di pasar dan permintaan terjaga. ”Tetapi, menahan margin ini hanya opsi untuk perusahaan besar yang ruang marginnya masih cukup luas untuk bisa ditekan lebih lanjut. Perusahaan kecil-menengah yang jumlahnya paling banyak mau tidak mau menaikkan harga dan bisa kalah saing,” tutur Johnny.
Antisipasi
Tak hanya kenaikan ongkos produksi, ekses perang ekonomi itu juga berpotensi melemahkan permintaan ekspor Indonesia. Perang ekonomi berupa hujan sanksi dari Barat yang direspons dengan kebijakan retaliasi oleh Rusia akan memperpanjang krisis energi dan inflasi di Uni Eropa dan AS. Imbasnya, permintaan barang dari Indonesia ke negara-negara itu berisiko berkurang tahun ini.
Pelemahan permintaan ekspor itu terutama akan terlihat dari negara-negara Uni Eropa ketimbang AS. ”AS lebih independen karena tidak bergantung pada Rusia untuk energi. Berbeda dengan Eropa, karena sepanjang perang belum habis, sepanjang itu pula tekanan krisis dan inflasi akan berlanjut,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal.
Baca juga: Setelah Hampir Satu Tahun Perang Rusia-Ukraina Berlangsung
Pemerintah pun menyusun strategi untuk menjaga kinerja ekspor Indonesia di tengah berbagai risiko itu. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, pasar ekspor dengan potensi permintaan yang masih tinggi seperti China dan India sedang dioptimalkan untuk mengompensasi pelemahan pasar Eropa dan AS di tengah turbulensi harga energi.
Kemungkinan menjajaki perluasan ke pasar nontradisional untuk memperluas pasar ekspor pun terus dilakukan. Sejumlah perjanjian kerja sama perdagangan internasional akan diperkuat. Salah satunya dengan memaksimalkan peran Indonesia pada kepemimpinannya di ASEAN 2023.
Tak hanya itu, antisipasi pelemahan ekspor juga akan dilakukan dengan memperkuat pasar domestik dan menjaga daya beli masyarakat. ”Dengan demikian, kinerja ekspor tahun ini bisa terjaga meski secara umum memang akan tetap melambat,” katanya.