Mobil Listrik, Kuda Troya China di Era Multipolar
Ambisi China merajai kendaraan listrik dunia bukan sekadar untuk cuan. Kendaraan listrik adalah kuda troya Beijing menembus dominasi Barat. Kendaraan listrik adalah ”suvenir” China di era multipolar.
Maka, bukan kebetulan jika pada pertengahan Januari ini CATL memenangi lelang proyek pengembangan litium di Bolivia. Menyingkirkan, antara lain, perusahaan dari Amerika Serikat dan Rusia, CATL memimpin konsorsium investor untuk pengembangan proyek baterai untuk mobil listrik di negara Amerika Latin itu.
CATL adalah produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia asal China. Bolivia bersama Chile dan Argentina menempati ”segitiga litium” yang mencakup lebih dari 50 persen sumber daya metal dunia.
Baca juga : China Perluas Dominasi Baterai Kendaraan Listrik Dunia
Saat ini, perusahaan-perusahaan China menguasai 56 persen pasar baterai kendaraan listrik dunia. Menyusul di belakangnya adalah perusahaan- perusahaan Korea Selatan (26 persen) dan perusahaan-perusahaan Jepang (10 persen). Dari sisi kapasitas produksi baterai kendaraan listrik dunia, China menguasai 75 persen.
Usaha mendominasi rantai pasok baterai kendaraan listrik itu menjadi bagian dari strategi Beijing mendominasi kendaraan listrik global. Beijing sadar, menjadi produsen terbesar kendaraan listrik saja tidak cukup. Menguasai rantai pasok baterai merupakan bagian integral dan strategis.
Ambisi China merajai kendaraan listrik dunia, termasuk menguasai rantai pasok baterai, sekali lagi, bukan sekadar aksi bisnis demi cuan semata. Dalam gambar besar, ini merupakan langkah strategis China dalam misi menguatkan posisi negara itu sebagai salah satu kutub di dunia multipolar.
Uniknya, langkah ini ditempuh menggunakan narasi Barat yang menempatkan perubahan iklim sebagai agenda internasional di abad ke-21. Akselerasi penggunaan kendaraan listrik guna mengurangi ketergantungan kendaraan berbahan fosil menjadi bagian vital dalam agenda itu.
Dalam gambar besar, ini merupakan langkah strategis China dalam misi menguatkan posisi negara itu sebagai salah satu kutub di dunia multipolar.
Selama era unipolar, AS selalu menciptakan setiap narasi besar dalam politik-ekonomi internasional untuk menjaga dan memperkuat dominasi globalnya. Sebut saja, misalnya, demokrasi, hak asasi manusia, perdagangan bebas, dan perang melawan terorisme.
Oleh karena itu, AS berikut sekutunyalah yang selalu menjadi aktor protagonis utama sekaligus memimpin agenda besar internasional. Konsekuensinya, mereka pula yang selalu mengapitalisasi manfaatnya. Namun, untuk kendaraan listrik, ceritanya berbeda. China berhasil ”menyalip di tikungan” dan mengapitalisasinya.
Namun, untuk kendaraan listrik, ceritanya berbeda. China berhasil ”menyalip di tikungan” dan mengapitalisasinya.
Lagipula, secara teknokratis dan empiris, industri kendaraan listrik akan memberikan nilai tambah besar bagi perekonomian China. Ingat, pertumbuhan ekonomi China yang pesat adalah prasyarat Beijing terus mendorong momentum penguatan hegemoni China di panggung internasional.
Pada saat yang sama, pengembangan kendaraan listrik secara langsung akan mengurangi ketergantungan China atas minyak dari luar negeri. Sejak 2017, China menjadi negara importir minyak terbesar di dunia. Artinya, sekali dayung melalui pengembangan kendaraan listrik, dua sampai tiga pulau terlewati oleh China.
Isu perubahan iklim merupakan narasi utama dunia yang diinisiasi dan diarusutamakan Barat untuk abad ke-21. Berawal dari pertemuan puncak soal Bumi yang digelar pertama kali oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Stockholm, Swedia, 5-16 Juni 1972, isu iklim menjadi agenda yang perlahan, tetapi pasti menjadi arus utama agenda dunia.
Selama 20 tahun berikutnya, pertemuan demi pertemuan menghasilkan dokumen-dokumen penting dalam isu iklim. Singkat cerita, perjalanan akhirnya sampai pada Konferensi Iklim di Paris, 12 Desember 2015. Pertemuan itu menghasilkan Perjanjian Paris yang mengatur perjanjian soal perubahan iklim.
Transportasi berkontribusi 23 persen dari emisi gas rumah kaca dan tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya.
Sebanyak 196 pihak mengadopsinya dengan target membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat celsius pada 2100 dari suhu bumi sebelum Revolusi Industri. Target yang lebih ambisius lagi membatasi pemanasan global maksimal 1,5 derajat celsius.
Untuk itu, negara-negara mematok target nol emisi pada 2050. Dalam konteks ini, pengembangan kendaraan listrik menjadi sentral. Berdasarkan Paris Declaration on Electro-Mobility and Climate Change & Call to Action, transportasi berkontribusi 23 persen dari emisi gas rumah kaca dan tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya.
”Kajian kami menunjukkan bahwa kendaraan listrik bisa memberi sumbangan signifikan pada pengurangan emisi karbon global dengan biaya yang terkelola,” kata Wakil Direktur Program Bersama Massachusetts Institute Technology (MIT) Sergey Paltsev, dikutip dari laman MIT.
MIT dalam Analisis Proyeksi Ekonomi dan Kebijakan membuat model pertumbuhan kendaraan listrik. Kajian yang dirilis pada Agustus 2021 itu menunjukkan, kendaraan listrik akan tumbuh menjadi 95-105 juta unit pada 2030 dan 585-823 juta unit pada 2050.
Dalam skenario yang lebih ambisius, kendaraan listrik akan tumbuh menjadi lebih dari 200 juta unit pada 2030 dan lebih dari 1 miliar unit pada 2050 atau 2/3 dari total jumlah kendaraan ringan yang beroperasi di dunia.
Kendaraan listrik bisa memberi sumbangan signifikan pada pengurangan emisi karbon global dengan biaya yang terkelola.
Mengutip laporan berjudul ”China’s Quest to Adopt Electric Vehicles” di Stanford Social Innovation Review yang diterbitkan pada 2013, tonggak pencapaian industri otomotif China terjadi pada 2009. Setelah pertumbuhan ekonomi tinggi selama dua dekade, China akhirnya menjadi pasar mobil terbesar pada tahun itu.
Pada tahun itu pula, Beijing meluncurkan rangkaian kebijakan dan insentif guna memacu pengembangan industri kendaraan listrik. Pada 2012, China menjadi produsen emisi terbesar di dunia. Ini bukan kabar baik bagi Pemerintah China. Di politik internasional, isu ini selalu menjadi amunisi untuk menekan Beijing.
Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Ke-12 (2011-2015), China mengidentifikasi tujuh industri berkembang strategis. Dalam tujuh industri tersebut, Pemerintah China memberi dukungan kebijakan dan keuangan. Salah satunya adalah kendaraan listrik.
Merujuk laporan Badan Energi Internasional, AS adalah pasar terbesar kendaraan listrik pada 2014. Menyusul kemudian China, Belanda, Norwegia, dan Perancis. Namun, sejak 2015, peta berubah ketika pertumbuhan penjualan kendaraan listrik di China tumbuh 238 persen dibandingkan 2014.
Sejak saat itu, China menjadi pasar terbesar yang terus berkembang pesat hingga kini dan belum terkejar negara lain. Pada 2021, China menguasai 50 persen penjualan kendaraan listrik dunia. Kini China memiliki ratusan perusahaan produsen kendaraan listrik di dalam negeri yang menawarkan hampir 300 model. Kapasitas ini melampaui negara mana pun di dunia.
Kini China memiliki ratusan perusahaan produsen kendaraan listrik di dalam negeri yang menawarkan hampir 300 model. Kapasitas ini melampaui negara mana pun di dunia.
Harga tengah mobil listrik di China pun hanya 10 persen di atas harga mobil konvensional. Sementara negara-negara besar lain menawarkan harga 45-50 persen di atas harga mobil konvensional.
Dalam hal produksi, berdasarkan kajian mutakhir International Council on Clean Transportation, dunia telah memproduksi lebih dari 10 juta unit kendaraan listrik selama 2010-2020. Menguasai 44 persen di antaranya, China merupakan produsen terbesar dengan 4,6 juta unit, baik produksi maupun penjualan. Eropa memproduksi 25 persen dan AS memproduksi 18 persen.
Berdasarkan kajian Wood Mackenzie yang dirilis 2021, penjualan kendaraan listrik global pada 2050 akan mencapai 62 juta unit. Akumulasi kendaraan listrik yang ada di dunia pada saat itu akan mencapai 700 juta unit. Ini cuan gila-gilaan. Ini kuda troya China menembus Barat, juga dunia.