Indonesia Perlu Kombinasi Patroli dan Pengawasan Maritim
Bakamla Indonesia termasuk juga harus mengurusi masalah penyelundupan barang dan orang, pencemaran lingkungan, hingga kejahatan lintas negara. Bakamla menjadi salah satu mitra pasukan penjaga laut dan pantai AS.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan keamanan maritim Indonesia sulit diatasi dengan pengerahan seluruh kapal patroli sekalipun. Pengawasan keamanan maritim Indonesia perlu memadukan teknologi pemantauan untuk hasil lebih optimal.
Deputi Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Lisa Johnson mengatakan, tantangan maritim Indonesia lebih kompleks dari tantangan AS. ”Indonesia luas sekali, melihat ZEE (zona ekonomi ekslusif) dan laut, tidak akan ada cukup kapal untuk melihat semua hal di sana,” ujarnya, Kamis (26/1/2023), di Jakarta.
Karena itu, perlu perpaduan perangkat pengawasan berbasis satelit dan radar pantai. Pusat Informasi Maritim Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI bagian upaya itu. ”Membantu melihat ada apa di sana (laut) dan memutuskan akan patroli ke sana,” katanya.
AS, antara lain, menawari Indonesia akses pada sistem pengawasan laut SeaVision dan Hawk Eye 360. Sementara Uni Eropa menawarkan akses pada Indo-Pacific Regional Information Sharing (IORIS). Pelantar-pelantar itu mendorong kolaborasi negara-negara kawasan untuk meningkatan pemantauan keamanan maritim kawasan.
AS membantu Bakamla membangun pusat pelatihan di Batam, Kepulauan Riau. Bukan hanya fasilitas, bantuan juga berupa pendampingan pengembangan kurikulum pendidikan. Pendampingan itu diharapkan bisa meningkatkan kemampuan Bakamla. ”Bakamla memutuskan (pelajaran) mana yang menjadi prioritas,” kata Johnson.
Johnson mengatakan, Bakamla kini sebenarnya sudah luar biasa. Bakamla terus menata organisasi untuk menghadapi tantangan luar biasa. Peraturan di Indonesia menempatkan Bakamla sebagai koordinator pengamanan maritim yang tantangannya tidak hanya kapal penangkap ikan ilegal. Bakamla Indonesia termasuk juga harus mengurusi masalah penyelundupan barang dan orang, pencemaran lingkungan, hingga kejahatan lintas negara.
Latihan
Bakamla menjadi salah satu mitra pasukan penjaga laut dan pantai (Palapa) AS di kawasan. Pekan lalu, Bakamla dan Palapa AS mengumumkan latihan bersama di pesisir Jakarta. Latihan itu fokus pada penyelamatan orang yang terjatuh di laut.
Setiap tahun, Palapa AS rutin mengirimkan sejumlah pelatih ke Indonesia untuk berlatih bersama Bakamla. Ke depan, sebagian pelatih itu akan membantu Bakamla di pusat pendidikan dan pelatihan yang sedang dibangun di Batam. Fasilitas itu direncanakan mulai beroperasi tahun ini. Washington menghibahkan 3,5 juta dollar AS untuk proyek itu.
Dalam pernyatan USAID pada November 2022 diungkapkan, Bakamla juga mendapat bantuan AS untuk pengadaan dan pelatihan pengoperasian pesawat nirawak. Program itu salah satu upaya peningkatan kemampuan Bakamla mengawasi perairan Indonesia. ”Dukungan AS akan memungkinkan Bakamla untuk membeli pesawat nirawak, melatih pilot, serta melakukan pemeliharaan yang secara signifikan akan meningkatkan kemampuan Bakamla terkait dengan kesadaran domain maritim, penegakan hukum maritim, dan mengatasi penangkapan ikan ilegal,” demikian pernyataan USAID.
Selain secara bilateral, AS juga membantu pengembangan kapasitas Bakamla dan penegak hukum lain di Indonesia melalui lembaga multilateral. Indonesia, antara lain, mendapat pelatihan melalui Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Narkotika dan Kejahatan Terorganisasi (UNDOC). Latihan di UNDOC terutama fokus pada penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus kejahatan lintas negara. Penyelundupan narkotika hingga perdagangan orang menjadi perhatian.
Johnson mengatakan, narkotika menjadi persoalan hampir setiap negara. ”Kerugiannya sangat besar karena pemakainya orang-orang usia produktif. Mereka tidak bisa bekerja,” katanya.
Badan antinarkotika AS, DEA, menyebut masalah utama AS kini adalah narkotika sintetis yang dikenal sebagai fentanil. Bahan pembuatnya relatif mudah ditemukan dan relatif bebas dijual. Di Indonesia, beberapa waktu ini dikenal pula istilah sinte untuk menyebut narkotika sintetis itu.
Dalam laporan The Washington Post pada 12 Desember 2022 diungkap, hingga 75.000 orang meninggal karena narkotika sintetis di AS pada 2021. Bahkan, ada anak-anak tewas karena overdosis narkotika sintetis. Anak-anak bisa mendapat itu karena fentanil dijual nyaris amat bebas di berbagai kota AS. AS kini mengampanyekan ”Satu Pil Bisa Membunuh” untuk menekan peredaran fentanil.
Kampanye itu digencarkan, sebagaimana dilaporkan The Washington Post pekan lalu, karena ada peningkatan anak-anak yang tewas overdosis. Di ibu kota AS, Washington DC, peningkatan kematiannya mencapai 77 persen. Aparat AS kewalahan mengatasi penyelundupan narkotika sintesis. DEA sampai menyatakan, jumlah fentanil sitaan cukup untuk menewaskan seluruh orang di AS.