Kekonyolan di ”Amrik”, Parlemen Missouri Masih Atur Cara Perempuan Berpakaian
Ini bukan di Afghanistan, melainkan di Amerika Serikat. Parlemen Negara Bagian Missouri, AS, mengeluarkan aturan yang menentukan pakaian apa yang harus dikenakan perempuan anggota atau staf parlemen di gedung parlemen.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, MUHAMMAD SAMSUL HADI
·4 menit baca
Jefferson City
Amerika Serikat sangat liberal soal cara berpakaian. Jarang ada yang membicarakan aturan berpakaian, termasuk bagi kaum perempuan. Jika ada aturan yang membuat kaum perempuan gerah, hampir pasti akan digugat. Hal ini yang terjadi di Negara Bagian Missouri, wilayah Midwestern, AS, walaupun aturan itu akhirnya diketok palu juga.
Di sana, aturan mengenai pakaian yang harus dikenakan kaum perempuan anggota atau staf DPR Negara Bagian Missouri saat berada di Gedung DPR Missouri menjadi bahan perdebatan panas antara Partai Republik dan Partai Demokrat.
Aturan baru mewajibkan semua legislator dan staf perempuan DPR Missouri untuk memakai sejenis jaket atau jas, seperti kardigan (baju rajutan tanpa kerah, berlengan panjang, dan berkancing depan, terbuat dari benang wol) atau blazer. Alasan aturan berpakaian itu diusulkan adalah untuk memastikan kesopanan dan mewujudkan kesetaraan dengan cara berpakaian pria anggota DPR, yang biasa memakai jas lengkap plus dasi.
Kubu Demokrat menyebut usulan aturan tersebut konyol. Para perempuan seharusnya tidak diatur-atur soal pilihan pakaian mereka.
Sebelum bunyi aturan berpakaian itu diperlunak, perempuan diharuskan mengenakan ”gaun atau rok atau celana panjang yang disandingkan dengan blazer atau sweater, dipadukan dengan sepatu atau sepatu bot yang sesuai”. Perubahan aturan diusulkan oleh Ann Kelley, anggota DPR Missouri dari Partai Republik, yang memasukkan kardigan boleh dipakai perempuan.
”Sangat penting untuk selalu menjaga suasana formal dan profesional di lantai DPR dan untuk memastikan ini terjadi, saya merasa terdorong untuk menawarkan amendemen ini,” kata Kelley pada sidang, Rabu (11/1/2023). Menurut Kelley, masalah kesantunan menjadi alasan utama dirinya mengusulkan pengaturan caran berpakaian bagi perempuan.
Meski telah diperlunak, aturan tersebut tetap mengundang reaksi dari para politisi Partai Demokrat. Mereka menilai aturan itu tidak berguna. Ashley Aune, anggota DPR dari Partai Demokrat, menyebut ada hal lain yang bisa merusak kesopanan di dalam Gedung DPR.
”Namun, seorang perempuan dianggap merusak kesopanan dari apa yang ia kenakan, itu hal konyol. Tahukah Anda bagaimana rasanya mengetahui banyak pria di ruangan ini yang melihat ke bagian atas (badan) Anda, mencoba untuk menentukan apakah itu pantas atau tidak?” kata Aune.
Kaum laki-laki di DPR Missouri telah diwajibkan memakai jas, kemeja, dan dasi. Adapun bagi perempuan, menurut aturan lama, mereka diharuskan memakai ”gaun atau baju atau celana panjang longgar yang dikenakan dengan blazer atau sweater dan sepatu atau sepatu tinggi yang cocok dengan baju”. Lapis kedua pakaian tidak diwajibkan.
”Saya sudah sering melihat kurangnya sopan santun di ruangan ini selama dua tahun menjabat di sini dan tak pernah satu kali pun masalah kurangnya sopan santun itu dilihat dari blazer seseorang,” sentil Aune. ”Banyak cara mengatasi masalah kesantunan di ruangan ini. Namun, (melihat) pada seorang perempuan, dari segi yang dipakainya, itu konyol.”
Virginia Ramseyer Winter, associate professor pada University of Missouri School of Health Professions dan sekaligus Direktur Pusat Riset dan Kebijakan Citra Tubuh, mengungkapkan bahwa urusan cara berpakaian itu seharusnya tidak diperdebatkan oleh para anggota Dewan. Alasannya, tidak perlu memfokuskan (sidang) pada urusan penampilan perempuan, yang dianggap lebih penting daripada isu-isu rakyat.
”Saya pikir, (aturan berpakaian) itu mendorong gagasan bahwa kita menilai perempuan lebih pada penampilan mereka dibandingkan pada hal-hal penting lainnya, seperti kecerdasan dan kontribusi mereka,” kata Ramseyer Winter. ”Saya benar-benar berpikir, aturan itu mengirim pesan bahwa kita harus mengatur urusan tubuh perempuan.”
Raychel Proudie, anggota DPR dari Demokrat, menyebut, ”(Aturan itu) Tidak akan mudah untuk dijalankan oleh perempuan hamil karena mereka tidak memakai jaket atau blazer.”
Para anggota DPR di negara-negara bagian lainnya menghadang berbagai upaya mengatur cara berpakaian perempuan. Pengaturan seperti itu dinilai seksis dan secara budaya tidak sensitif. Pada tahun 2017, larangan Kongres bagi para anggotanya untuk mengenakan baju atas tanpa lengan atau sepatu yang terbuka bagian atasnya pernah memicu perkelahian.
DPR Missouri saat ini beranggotakan 43 perempuan dan 116 laki-laki. ”Ini konyol,” kata Peter Merideth dari Partai Demokrat. ”Rakyat mengirim kita ke sini untuk membahas undang-undang, bukan berkelahi soal mandat atau aturan tentang cara berpakaian perempuan.” (AP)