Penetrasi Produk Indonesia Melalui Pameran Tua di Hong Kong
Neraca perdagangan Indonesia dan Hong Kong biasanya defisit. Kini neraca itu mulai surplus.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
Ajang Pameran Jenama dan Produk Hong Kong atau HKBPE tahun 2022 tengah berlangsung hingga 1 Januari 2023. Di salah satu pameran dagang tertua di Asia itu, produk-produk Indonesia juga turut tampil dan mencuri perhatian warga. Sejumlah potensi bisa digali dari hubungan ekonomi Indonesia di Hong Kong.
Ajang pameran tersebut digelar Victoria Park sejak 9 Desember lalu dan akan berlangsung hingga 1 Januari 2023. Pameran itu telah dimulai sejak tahun 1938. Laman resmi pameran menyebutkan, awalnya acara ini digunakan untuk memasarkan produk-produk asli buatan China dan Hong Kong. Pangsa pasar utama mereka adalah Asia Tenggara.
“Sekarang, terdapat banyak produk asli Hong Kong yang bahan bakunya berasal dari mancanegara, termasuk Indonesia karena Hong Kong tidak memiliki kekayaan alam untuk menghasilkan bahan-bahan mentah,” kata Konsul Perdagangan Konsulat Jenderal RI (KJRI) Hong Kong Ayu Sagita ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Pada HKBPE 2022 ini, produk Indonesia yang dipamerkan didominasi makanan instan, minuman kemasan, bahan makanan siap masak, santan, keripik, biskuit, permen, minuman kemasan, bumbu dapur, dan produk keperluan harian lainnya.
KJRI Hong Kong dalam keterangan yang dimuat pada laman Kementerian Luar Negeri RI menyebutkan, pihaknya menggandeng perusahaan Fok Hing Trading Limited, distributor produk Indonesia terbesar di Hong Kong, dan pemasok toko Indo Market dan toko-toko Indonesia lainnya di Hong Kong serta Forever Harvest Ltd, pemilik 13 toko Surya Market yang menjual produk-produk Indonesia di Hong Kong.
Menurut Ayu, mereka telah memiliki pasar yang cukup besar di Hong Kong. Indomie, misalnya, pasarnya dibangun dari nol oleh diaspora Indonesia di sana yang kemudian menjadi importir. “Memang, produk-produk yang laku di Hong Kong adalah nama-nama besar di Tanah Air. Mereka sudah rutin mengisi toko-toko di sini,” tutur Ayu.
Ia menjelaskan, nama-nama besar itu mampu bertahan di pasar Hong Kong yang ketat karena mampu menjamin kualitas dan kuantitas. Pengolahan dan pengemasan produk sudah sesuai standar internasional. Nama-nama perusahaan besar itu selalu mampu memenuhi permintaan dalam jumlah besar dan terus-menerus dari importir.
Ayu mengatakan, ini merupakan tantangan bagi perusahaan-perusahaan Indonesia berskala menengah dan juga bagi produk usaha kecil. Mereka masih kesulitan memenuhi permintaan dalam skala besar. Kalaupun bisa memenuhi segi jumlah, muncul persoalan dari menjaga konsistensi kualitas produk maupun pengemasan yang berstandar internasional.
Komoditas utama
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan periode Januari-Oktober 2022, jumlah ekspor nonmigas ke Hong Kong adalah 2,39 miliar dollar AS. Jika disilangkan dengan data Observatory of Economic Complexity, lembaga internasional yang mengkaji perdagangan global, ekspor nonmigas terbesar Indonesia ke Hong Kong adalah emas, lalu perhiasan di posisi kedua.
Namun, Ayu menerangkan, komoditas ekspor utama Indonesia ke Hong Kong adalah batubara. Sumber daya listrik di Hong Kong masih dari batubara. Perang Ukraina-Rusia, yang mengakibatkan krisis energi global, menyebabkan pembelian batubara dari Indonesia meningkat untuk memenuhi kebutuhan pembangkit tenaga listrik setempat.
Potensi ini ada karena Hong Kong adalah melting pot. Penduduknya ada 7 juta jiwa. soal makanan, penduduk di sini lebih terbuka dibandingkan di China.
Komoditas batubara itu membawa neraca perdagangan Indonesia dengan Hong Kong periode Januari-Oktober 2022 surplus 40 juta dollar AS. Sebelumnya neraca tersebut mengalami defisit.
Ayu mengatakan, ada celah untuk produk makanan di luar mi instan. Hanya, perlu merintis dari nol dan bersaing ketat dengan Jepang dan Korea Selatan. Sebagai wilayah di Asia Timur, selera lidah masyarakat Hong Kong mirip dengan warga Jepang dan Korea Selatan sehingga produk kuliner dari kedua negara itu mudah diterima.
“Potensi ini ada karena Hong Kong adalah melting pot. Penduduknya ada 7 juta jiwa. Diaspora Indonesia ada 150.000 orang dan juga ada diaspora dari negara-negara lain. Untuk soal makanan, penduduk di sini lebih terbuka dibandingkan di China,” tutur Ayu.
Selama ini, ekspor makanan ke Hong Kong masih menyasar diaspora Indonesia. Mayoritas diaspora bekerja di sektor rumah tangga. Sebenarnya, warga Hong Kong sudah lumayan kenal dengan makanan rumahan khas Indonesia karena dimasakkan oleh asisten rumah tangga mereka. Karena itu, masih ada celah untuk mengenalkan kuliner Nusantara yang lebih kompleks asal bisa dicari rumus untuk menggaet pasar setempat.