Turki dan Mesir tengah menginisiasi sejumlah langkah untuk menormalisasi hubungan kedua negara setelah sembilan tahun dipenuhi ketegangan. Ada hitung-hitungan politik dan ekonomi di sana.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
AFP PHOTO / HO - PRESS OFFICE OF THE PRESIDENCY OF TURKEY
Foto yang dirilis Biro Pers Kepresidenan Turki pada 20 November 2022 menunjukkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kanan) berjabat tangan dengan Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi saat disambut Emir Qatar Tamim Hamad al-Thani (kedua dari kanan) dalam upacara pembukaan Piala Dunia 2022 di Doha, Qatar.
ANKARA, SENIN — Hampir satu dekade terakhir hubungan bilateral Turki-Mesir bergejolak, bahkan hampir berujung pada konflik terbuka. Kini kedua negara melakukan sejumlah langkah untuk mulai menormalisasi hubungan. Untuk mempertegas komitmen normalisasi hubungan, dalam waktu dekat Pemerintah Turki akan segera menunjuk seorang duta besar untuk Mesir.
”Tidak ada ruang untuk sakit hati dalam politik,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan saat menghadiri sebuah acara di Provinsi Konya, Minggu (27/11/2022), seperti dikutip dari laman kantor berita Turki, Anadolu.
Pintu menuju normalisasi semakin terbuka lebar setelah Erdogan bertemu Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi di sela-sela pembukaan Piala Dunia di Doha, Qatar, pekan lalu. Erdogan mengungkap, ia dan Sisi sempat mengadakan pembicaraan tertutup selama lebih kurang 40 menit. Dalam kesempatan itu, keduanya menyatakan keinginan untuk memperbaiki hubungan yang sudah lama retak.
”Kami (Turki dan Mesir) memiliki masalah hampir sembilan tahun terakhir. Malam itu, kami, dengan bantuan Emir Qatar, memutuskan untuk melangkah lebih jauh guna mengatasi kesulitan itu,” kata Erdogan.
Hubungan Turki dan Mesir retak setelah Muhammad Mursi, Presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis, digulingkan pada tahun 2013. Turki menganggap langkah itu tidak demokratis. Ankara juga mengecam perlakuan Mesir terhadap para anggota dan pemimpin gerakan Ikhwanul Muslimin yang mendukung Mursi.
Memburuknya hubungan kedua negara ditandai salah satunya dengan saling mengusir duta besar dan membekukan hubungan mereka. Tak hanya itu, ketegangan antara Ankara dan Kairo juga terkait dengan keberadaan mereka di Libya yang berseberangan satu sama lain. Kairo di satu sisi mendukung pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Khalifa Haftar. Di sisi seberang, Turki mendukung Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) yang dipimpin Perdana Menteri Fayez al-Sarraj.
Massa pendukung turut bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menghadiri pemakaman bagi mantan Presiden Mesir Muhammad Mursi di Masjid Fatih di Istanbul, Turki, 18 Juni 2019.
Ketegangan antara kedua negara di Libya pada periode Juni-Juli 2020 hampir menjadi konflik terbuka. Hal itu menyusul pernyataan Sisi yang menyebut bahwa kota Sirte di Libya utara dan Al Jufra di Libya tengah adalah garis merah yang tidak boleh dimasuki oleh GNA pimpinan Sarraj. Sarraj menilai pernyataan Sisi itu sebagai sebuah deklarasi perang (Kompas.id, 23 Juni 2020).
Untuk mencegah ketegangan menjadi konflik terbuka atau perang, sebuah perundingan rahasia digelar di Sirte, Juli 2020. Perundingan itu melibatkan Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Italia, dan Turki. Perundingan itu berhasil meredam potensi perang kedua negara di wilayah negara lain.
Front lain
Ketegangan antara kedua negara tidak hanya terjadi dalam masalah keamanan. Perseteruan keduanya pada area lain terjadi setelah Mesir menginisiasi pembentukan Forum Gas Laut Tengah Bagian Timur (Eastern Mediterranian Gas Forum). Forum itu beranggotakan tujuh negara, yaitu Mesir, Israel, Yunani, Siprus, Jordania, Italia, dan Otoritas Palestina dengan kantor di Kairo.
Ankara menuding pembentukan forum itu adalah konspirasi untuk mencegah Turki mendapat jatah kekayaan gas di Laut Tengah bagian timur. Turki merasa berhak atas kekayaan gas di wilayah itu karena Ankara mengontrol wilayah Siprus utara yang bertepi ke Laut Tengah bagian timur. Laut Tengah bagian timur diprediksi menyimpan kekayaan 120 triliun kubik gas (Kompas.id, 24 Juli 2020).
Seperti dilansir laman Middleeasteye, para pejabat kedua negara telah bertemu sejak awal tahun 2022 untuk membahas peluang normalisasi hubungan. Sejumlah pejabat Mesir mengatakan, pembahasan terpusat pada penyebab retaknya hubungan kedua negara dan cara mengatasinya.
Kombinasi foto pada 22 Juni 2020 ini memperlihatkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kiri) berbicara dalam pertemuan di Ankara, 23 Oktober 2018, dan Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi berbicara dalam konferensi pers di Kairo, 28 Januari 2019.
Pada Oktober 2021, Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry mengatakan, Pemerintah Mesir melihat ada beberapa kemajuan dalam hubungan dengan Ankara yang mendorong mereka melanjutkan upaya untuk menormalisasi hubungan. ”Kairo sedang menunggu solusi yang memuaskan untuk menyelesaikan masalah luar biasa dengan Ankara. Kami akan memantau dan mengevaluasi masalah ini berdasarkan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Turki di tingkat bilateral dan regional,” katanya kepada saluran televisi MBC Masr.
Tarek Fahmi, profesor ilmu politik di Universitas Kairo, mengatakan, upaya normalisasi hubungan coba didorong karena Erdogan ingin mengakhiri konfliknya dengan negara-negara di kawasan sebelum pemilihan umum berlangsung. Keputusan ini harus diambil karena kemerosotan ekonomi Turki yang terus terjadi hingga saat ini dan menggerus kepercayaan rakyat terhadap Erdogan.
”Memperbaiki hubungan dengan negara-negara kawasan diharapkan akan memberikan keuntungan ekonomi bagi Turki,” kata Fahmi.
Salah satu indikator lain yang bisa dilihat adalah saat kunjungan Presiden Israel Isaac Herzog yang membahas kemungkinan kerja sama pengiriman gas alam ke Eropa. Turki berharap bisa menjadi hub (pusat penghubung) gas alam cair dari wilayah Laut Tengah bagian timur ke Eropa.
Di Ankara, Menlu Turki Mevlut Cavusoglu menyatakan optimistis soal normalisasi hubungan ini. ”Konsultasi politik antara wakil menteri dapat segera dijadwalkan ulang. Seorang duta besar mungkin akan ditunjuk dalam beberapa bulan mendatang,” ujarnya, seperti dikutip dari Anadolu. (AFP)