Perubahan iklim, pemanasan global, naiknya permukaan air laut, dan bencana hidrometeorologi adalah ancaman sangat serius. ”Untuk mencapai hasil baru, diperlukan pendekatan baru,” kata Antonio Guterres
Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali baru saja usai. Banyak hal dicapai. Selain Deklarasi Bali, ada pula hasil nyata yang diperoleh. Salah satunya adalah Dana Pandemi. Komitmennya mencapai 1,5 miliar dollar AS. Berselang beberapa hari, pada Minggu (20/11/2022) KTT Iklim COP27 di Sharm el-Sheikh menyepakati pembentukan dana ”kerugian dan kerusakan” atau ”loss and damage”. Apabila Dana Pandemi dibentuk untuk membangun ketahanan kesehatan agar dunia lebih siap bila pandemi baru muncul, dana loss and damage dikucurkan untuk membantu negara-negara yang rentan mengatasi dampak merusak pemanasan global.
Sehari menjelang KTT G20 dibuka, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Senin (14/11) mengatakan, target menahan laju pemanasan global hingga di bawah 1,5 derajat celsius tampaknya telah lepas dari genggaman. Dunia, tegasnya, tidak bisa mengharapkan dapat mencapai hasil yang ditargetkan bila tetap bertindak seperti biasanya. dalam konferensi pers di BICC, Nusa Dua, Bali.
Sementara itu, terkait dana loss and damage di COP27, Guterres menilai forum tersebut telah mengambil langkah penting menuju keadilan. Namun, ia menilai, forum itu belum berhasil mendorong pemotongan karbon yang diperlukan untuk mengatasi pemanasan global.
”Planet kita masih berada di ruang gawat darurat,” kata Guterres. ”Kita perlu mengurangi emisi secara drastis sekarang dan ini adalah masalah yang tidak dibahas oleh COP ini,” kata Guterres sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
Tantangan besar
Kembali ke G20, saat para tamu negara diajak Presiden Joko Widodo bertamasya ke Tahura Ngurah Rai di mana terdapat hamparan hutan mangrove seluas lebih dari 1.300 hektar, publik kagum. Narasi lain yang juga turut dibangun menandai isu transisi energi adalah penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan resmi para tamu negara dan delegasi mereka.
Meskipun masih sangat terbatas, langkah awal memang perlu dimulai. Namun, merujuk pernyataan Guterres, perlu langkah baru, bahkan mungkin lebih signifikan.
Angin berpihak. Di sela-sela KTT G20, Indonesia mendapat komitmen pendanaan dari negara maju untuk mempercepat transisi energi dengan memakai skema Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP). Sejumlah pihak pun lantas bersuara. Pemerintah harus serius dan konsisten dalam menyusun skema kebijakan transisi energi. Solusi yang ditawarkan harus benar-benar mendukung pengurangan emisi, bukan solusi palsu yang ”seolah-olah hijau”.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya, Kamis (17/11), mengatakan, dana senilai 20 miliar dollar AS atau Rp 310 triliun yang didapat Indonesia dari kemitraan dengan Amerika Serikat dan Jepang lewat skema JETP itu harus diterjemahkan ke dalam skema investasi yang konsisten dengan target capaian pengurangan emisi.
Menurut Berly, dengan komitmen pendanaan baru berukuran jumbo ini, pemerintah harus membuktikan keseriusannya dalam mempercepat transisi energi. Pasalnya, selama ini belum ada keselarasan antara komitmen target niremisi yang sering digaungkan pemerintah dan realisasi kebijakan serta regulasi yang dimunculkan (Kompas.id, Kamis, 17 November 2022).
Keseriusan untuk mempercepat transisi energi sejatinya bukan semata-mata demi kepentingan Indonesia. Apabila memperhatikan pernyataan Presiden Joko Widodo terkait presidensi G20, Indonesia membawa pula suara negara-negara berkembang dan kepulauan kecil.
Perubahan iklim, pemanasan global, naiknya permukaan air laut, dan bencana hidrometeorologi adalah ancaman sangat serius, terutama bagi negara-negara tersebut. Eksistensi negara-negara kepulauan kecil di Pasifik Selatan terancam. Perlahan-lahan jumlah pengungsi akibat iklim semakin tinggi.
Merujuk pada laporan PBB, Deutsche Welle pada Maret memberitakan bahwa hingga 30 tahun mendatang sekitar 143 juta orang diprakirakan akan mengungsi karena naiknya permukaan air laut, kekeringan, suhu panas ekstrem, dan bencana iklim lainnya. Dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim yang diterbitkan pada Senin (28/2/2022) itu juga disebutkan bahwa satu dari tiga migran di dunia—dipicu oleh bencana iklim—berasal dari Asia. Seperti ditegaskan Guterres, kini tak bisa lagi bertindak seperti biasanya.