Akselerasi Transisi Energi Indonesia Paling Tertinggal dari Negara G20
Indonesia perlu lebih memacu upaya transisi energi. Sebab, sampai saat ini Indonesia masih bertumpu terhadap energi kotor dan sangat tertinggal dalam akselerasi energi terbarukan dibandingkan negara anggota G20 lainnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu lebih memacu upaya transisi energi guna mengatasi krisis iklim melalui berbagai agenda dan kebijakan. Hal ini penting mengingat Indonesia sampai sekarang masih bertumpu terhadap energi kotor dan paling tertinggal dalam akselerasi energi terbarukan dibandingkan negara anggota G20 lainnya.
Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Indonesia Tata Mustasya mengemukakan, salah satu kunci dalam mengatasi krisis iklim, yaitu melakukan transisi energi yang berkeadilan secara tepat waktu. Transisi energi juga perlu segera dilakukan karena bahan bakar fosil memiliki daya rusak lingkungan yang tinggi dan harganya cenderung terus meningkat.
”Akselerasi transisi energi ini bicara mengenai tiga kepentingan, yakni menghentikan krisis iklim, menjamin ketahanan energi, dan menjamin akses kepada energi yang inklusif. Jadi, ini akan menjadi agenda utama kebijakan publik dan ekonomi,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk ”Urgensi dan Tantangan Transisi Energi G20” secara daring, Kamis (17/11/2022).
Kita bisa melakukan transformasi pada saat dukungan politik sudah sejalan dengan upaya kita menghadapi krisis iklim termasuk yang berakar pada energi fosil.
Menurut Tata, upaya setiap negara melakukan transisi energi akan mencakup dua aspek. Di satu sisi, negara tersebut harus menghentikan penggunaan energi kotor seperti batubara. Kemudian di sisi lain, diperlukan juga upaya akselerasi penggunaan energi baru terbarukan.
Data Ember Climate 2022 menyebutkan, secara umum negara-negara G20 sudah mengalami pertumbuhan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang negatif. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kapasitas PLTU yang masih tumbuh positif. Bahkan, pertumbuhan kapasitas PLTU di Indonesia tertinggi dibandingkan negara G20 lainnya, seperti Turki, China, India, dan Rusia.
Berdasarkan data International Renewable Energy Agency (Irena) 2022, Indonesia kembali menjadi negara yang paling tertinggal dalam akselerasi energi dari semua negara G20. Padahal, mayoritas negara G20 lainnya telah mengalami peningkatan rasio kapasitas energi terbarukan yang signifikan dibandingkan total kapasitas energi.
Data Irena menyebutkan, perubahan kapasitas energi terbarukan terhadap total kapasitas energi sepanjang 2017-2021 di Indonesia memiliki persentase minus 0,1 persen. Persentase ini mencapai minus karena sumber energi dari PLTU batubara di Indonesia masih tinggi meskipun kapasitas energi baru terbarukan mengalami peningkatan.
”Secara tren, sebenarnya memang sudah terjadi perubahan dengan penurunan kapasitas batubara dan peningkatan rasio kapasitas energi terbarukan. Namun, khusus untuk Indonesia, masih banyak pekerjaan rumah dan tantangannya,” tutur Tata.
Meski demikian, Tata memandang bahwa kemajuan dalam upaya transisi energi ini juga masih belum bisa mencegah kenaikan suhu global tidak melampaui 1,5 derajat celsius. Maka negara-negara penghasil emisi karbon perlu komitmen lebih kuat untuk mengakselerasi transisi energi dan mengatasi krisis iklim.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menyatakan, aspek pendanaan menjadi salah satu tantangan lain untuk transisi energi di Indonesia. Transisi energi membutuhkan pendanaan yang sangat besar, khususnya untuk menghentikan pengoperasian PLTU batubara sebesar 37 miliar dollar AS.
Berly mengingatkan agar komitmen pendanaan sebesar 20 miliar dollar AS yang diterima dari hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali dapat dimanfaatkan dengan optimal untuk akselerasi transisi energi. Optimalisasi pendanaan ini juga perlu diiringi dengan dukungan dan penerapan kerangka kebijakan yang konsisten.
Aspek transformasi
Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia Mahawan Karuniasa menyampaikan, berbagai laporan ilmiah telah menunjukkan bahwa upaya dari negara-negara di dunia saat ini sudah tidak dapat membendung kenaikan suhu. Akan tetapi, upaya transisi energi tetap perlu segera dilakukan untuk mencegah terjadinya dampak terburuk.
Agar transisi energi dan penanganan krisis iklim berjalan maksimal, Mahawan juga menekankan pentingnya transformasi dari aspek etika, ekonomi, dan politik. Dari ketiga aspek tersebut, Mahawan memandang aspek politik dari konvensional menuju ramah lingkungan masih menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi Indonesia.
”Kita bisa melakukan transformasi pada saat dukungan politik sudah sejalan dengan upaya kita menghadapi krisis iklim termasuk yang berakar pada energi fosil. Tanpa transformasi ini, transisi energi akan berjalan tidak seperti yang kita harapkan,” ucapnya.