China tetap akan mempertahankan kedaulatan wilayahnya termasuk Taiwan. Namun, Taiwan tetap bertekad memperjuangkan kemerdekaannya dan tidak yakin China akan bisa menghadapi sanksi dan isolasi komunitas internasional.
Oleh
LUKI AULIA dari BEIJING, CHINA
·5 menit baca
BEIJING, KOMPAS – China akan tetap menjaga dan mempertahankan kedaulatan dan keamanan wilayah serta kepentingan pembangunannya. China juga tidak akan tinggal diam terhadap setiap pergerakan ke arah "kemerdekaan Taiwan" dan akan melawan campur tangan kekuatan eksternal darimanapun. Meski tidak menutup kemungkinan penggunaan kekuatan dalam mempertahankan Taiwan, China akan tetap mengutamakan upaya konsolidasi konsensus internasional mengenai prinsip "satu China".
"Kami menentang segala macam sanksi sepihak dan tekanan ekstrem dari pihak luar. Begitu pula jika ada yang menindas atau campur tangan tanpa alasan, kami akan berjuang secara tegas dan kuat," kata Wakil Menteri Luar Negeri China, Ma Zhaoxu, dalam konferensi pers di sela-sela Kongres Nasional Partai Komunis China (PKC) ke-20, Kamis (20/10/2022), di Beijing, China.
Ma Zhaoxu mengatakan, China akan tetap mempraktikkan kebijakan perdamaian luar negeri yang independen. China tidak takut pada kekuatan dari mana pun, akan tetap menegakkan keadilan, dan tegas menentang segala bentuk hegemoni serta politik kekuasaan. ”Diplomasi kami terus mengedepankan semangat perjuangan, meningkatkan daya juang, serta selalu menjaga kepentingan nasional dan martabat bangsa,” ujarnya.
Seiring itu, Wakil Menteri Departemen Internasional Komite Sentral PKC Shen Beili menambahkan, China tidak akan mencampuri urusan internal pihak lain atau negara lain. China juga tidak akan memaksakan pihak lain mempraktikkan model atau sistem dan kebijakan di China. Ma menambahkan, tujuan diplomasi China adalah semata-mata untuk menjaga perdamaian dunia, mempromosikan pembangunan bersama, dan memajukan pembangunan komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia. Ia menolak pandangan bahwa perbedaan yang melebar antara China dan Barat akan membahayakan tatanan internasional.
”Hegemoni dan intimidasi adalah ancaman terbesar bagi dunia. Dunia yang terpecah hanya akan merugikan semua pihak. China selama ini memperjuangkan pembangunan dunia yang terbuka, inklusif, bersih, dan indah yang menikmati perdamaian abadi, keamanan universal, dan kemakmuran bersama,” kata Ma.
Ma kembali menegaskan tujuan diplomasi China adalah semata-mata untuk menjaga perdamaian dunia, mempromosikan pembangunan bersama, dan memajukan pembangunan komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia. Ia menolak pandangan bahwa perbedaan yang melebar antara China dan Barat akan membahayakan tatanan internasional. Seperti halnya Xi, Ma mengecam mereka yang berpegang teguh pada mentalitas Perang Dingin dan pola pikir zero-sum game yang terobsesi membentuk lingkaran kecil, menarik garis berdasarkan perbedaan ideologi, dan memicu konfrontasi blok.
"Hegemoni dan intimidasi adalah ancaman terbesar bagi dunia. Dunia yang terpecah hanya akan merugikan semua pihak. China selama ini memperjuangkan pembangunan dunia yang terbuka, inklusif, bersih dan indah yang menikmati perdamaian abadi, keamanan universal, dan kemakmuran bersama," kata Ma.
Seharusnya, lanjut Ma, negara-negara lain juga mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang sama, menghormati keragaman peradaban, dan bersama-sama mengatasi tantangan global. China telah mengajukan serangkaian inisiatif penting seperti Inisiatif Sabuk dan Jalan yang disambut baik oleh komunitas internasional. Begitu pula dengan Inisiatif Pembangunan Global dan Inisiatif Keamanan Global yang menjadi pendorong baru untuk menegakkan perdamaian dunia dan mendukung pembangunan bersama.
Sebagai bukti komitmen pada pembangunan komunitas internasional, China telah menandatangani 19 perjanjian perdagangan bebas dengan 26 negara dan wilayah, dan mempromosikan implementasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional. Pembangunan bersama Sabuk dan Jalan telah menarik partisipasi aktif dari 149 negara dan 32 organisasi internasional, serta sejumlah besar proyek penting seperti kereta api rute China-Laos dan kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Sikap Taiwan
Menanggapi sikap China, Kepala Biro Keamanan Nasional Taiwan Chen Ming-tong, seperti dikutip kantor berita Reuters, Kamis (20/10), mengatakan, Presiden China Xi Jinping akan menjadi ”pendosa” bagi rakyat China jika ia menyerang Taiwan. Hanya bencana yang akan dihadapi Xi jika menindaklanjuti ancamannya menyerang Taiwan. ”Tidak ada kemungkinan untuk menang jika menggunakan kekuatan untuk menyerang Taiwan,” ujarnya.
Taiwan tidak pernah berada di bawah kendali Republik Rakyat China sehingga klaim kedaulatan China atas Taiwan tidak berlaku. "Kedua belah pihak harus saling menghormati dan berkembang secara terpisah. Ini yang akan membahagiakan rakyat," kata Chen.
Taiwan menegaskan, hanya 23 juta penduduk Taiwan yang boleh menentukan masa depan Taiwan. Taipei menegaskan, mereka tidak pernah berada di bawah kendali Beijing sehingga klaim kedaulatan China atas Taiwan tidak berlaku. Presiden Taiwan Tsai Ing-wen berkali-kali menawarkan untuk melanjutkan pembicaraan dengan China berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dan saling menghormati. Namun, China dikabarkan menolak dan berkeras pada sikap bahwa China mau berunding hanya jika Taiwan mengakui merupakan bagian dari China.
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro, menjelaskan, Taiwan sekarang menjadi isu panas yang sangat krusial bagi masa depan PKC mengingat legitimasi partai (dan Xi Jinping) sangat tergantung pada keberhasilan menjaga integritas wilayah. Amerika Serikat dan Taiwan adalah dua pihak yang menjadi tujuan utama seruan China yang menentang ”kemerdekaan” Taiwan. China tampaknya akan benar-benar menggunakan kekuatan militer jika Taiwan menyatakan ”merdeka”.
”Ini red line yang tidak boleh dilanggar atau Taiwan akan mendapatkan konsekuensinya. Menurut China, ini adalah soal harga diri bangsa yang tidak bisa dikompromikan,” kata Rachmat. Tidak hanya China, Amerika Serikat, dan Taiwan. Indonesia harus terus menekankan, diplomasi multijalur adalah jalan yang lebih baik daripada perang yang membawa kerugian bagi semua.
G20
Terkait kerja sama multilateral dan global, China, lanjut Ma, secara aktif mendukung kepresidenan Indonesia di G20. Beijing berharap pertemuan G20 ke-17 di Bali, Indonesia, pada 15-16 November mendatang, bisa memainkan peran positif dan konstruktif. Hal itu penting terutama untuk memperkuat kerja sama internasional melawan Covid-19, mendorong pemulihan ekonomi dunia, dan menjaga ketahanan pangan serta energi global.
Sebagai anggota G20, China selalu berpartisipasi aktif dalam kerja sama ekonomi internasional dan tata kelola ekonomi global, serta bekerja sama dengan semua pihak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dunia yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif. Untuk kepastian kehadiran Presiden Xi Jinping di pertemuan G20, Ma hanya menjawab pendek, "Kami akan merilis informasi tentang kehadiran pemimpin China di G20 pada waktunya nanti".