Abaya di tempat umum mencerminkan perubahan besar di Arab Saudi. Semakin banyak abaya warna-warni. Bahkan, ada abaya untuk pakaian olahraga.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Sebagian memandang abaya sebagai lambang penindasan sebagai perempuan. Sebagian lagi melihat baju khas para perempuan Timur Tengah itu sebagai penyambung kebudayaan masa lalu dengan kreativitas masa kini. Bersama model busana lain, abaya terus berkembang dan menjadi salah satu andalan industri busana di Arab Saudi dan Timur Tengah.
Dengan nilai hingga 50 miliar dollar AS per tahun, industri busana Timur Tengah memang menggiurkan. Para konsumen Timur Tengah dikenal sebagai salah satu pembeli royal. Baju berharga 500 dollar AS per potong amat mudah laku di Arab Saudi. Sayangnya, jenama lokal timteng baru mendapat porsi lima persen dari pasar sebesar itu. Negara-negara di kawasan mencoba meraih porsi lebih besar.
Arab Saudi, motor utama ekonomi kawasan, tidak mau ketinggalan mendapat manfaat dari industri itu. Riyadh punya sejumlah program untuk memajukan industri busananya.
Duta Besar Arab Saudi di Amerika Serikat Reema Binti Bandar menyebut, pengembangan industri busana salah satu perwujudan Visi 2030. Bentuk pengembangan itu antara lain program 100 Jenama Saudi. “Seiring Arab Saudi semakin terbuka, kami ingin industri busana membantu menyeritakan perubahan dan dampaknya Visi 2030,” kata anggota Dewan Pembina Komisi Busana Arab Saudi sekaligus keponakan Raja Salman bin Abdul Aziz al Saud itu.
Pada 12 Oktober 2022, Komisi Busana Arab Saudi mengumumkan pembuatan studio terpadu. Studio di pinggiran Riyadh itu akan menjadi pusat kolaborasi perancang dan pelajar tata busana. Dilengkapi aneka fasilitas latihan perancangan dan pembuatan baju, studio diharapkan membantu Arab Saudi semakin mendapat tempat di industri busana global. “Melalui program 100 Jenama Saudi, kami mencoba membantu menempatkan perancang Arab Saudi di panggung global,” kata Ketua Komisi Busana Arab Saudi Burak Çakmak sebagaimana dikutip Arab News.
Perancang Arab Saudi Tima Abid menyebut, orang muda seperti dirinya senang dengan inisiatif-inisiatif kerajaan. Perhatian pada pengembangan industri busana menunjukkan kerajaan telah sangat jauh berkembang dan berubah. “Bagi kami, ini bukan sekadar mencari pasar. Ini juga menunjukkan tentang wajah kami di panggung global,” kata dia.
Abaya dan Visi 2030
Di Arab Saudi dan negara lain di kawasan, perubahan tatanan sosial antara lain membuat semakin banyak perempuan bekerja. Karena itu, mereka membutuhkan baju untuk kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, para pembeli juga tidak ingin terlepas dari akar identitas mereka sebagai bangsa Timur Tengah. “Banyak orang muda mencari busana yang mencerminkan kebaruan sekaligus identitas budaya mereka,” kata Sharmila Mura, pengelola salah satu jaringan toko busana di Kuwait.
Di Arab Saudi, wujud pencarian itu adalah abaya dengan beragam warna dan model. Sampai satu dekade lalu, abaya identik dengan baju hitam yang menutupi seluruh tubuh perempuan.
Sejak pembaruan didorong Pangeran Mohammed bin Salman, semakin banyak abaya warna-warni. Bahkan, ada abaya untuk pakaian olahraga. Bagi orang yang hidup di Arab Saudi 30 tahun terakhir, abaya-abaya di tempat umum saat ini jelas mencerminkan perubahan besar negara itu.
Sebenarnya, pakaian tradisional untuk perempuan Arab Saudi amat beragam sampai 1980. Penerapan tafsir keagamaan yang kaku selepas insiden 1979 membuat busana perempuan tidak lagi meriah oleh aneka warna. Hanya abaya hitam.
Model dan warna itu membuat abaya dianggap lambang penindasan pada perempuan Arab Saudi. Perempuan yang masih memakai abaya dianggap belum bebas dari pengekangan. “Sekarang, pandangan itu sudah tidak tepat lagi. Abaya adalah lambang pelestarian budaya,” kata Marriam Mossalli yang menulis buku “Under the Abaya”.
Karena itu, menurut pengamat mode Arab Saudi tersebut, perempuan Arab Saudi kini tetap memakai abaya. Apalagi, kini model dan warna abaya amat beragam.
Pengamat mode lainnya, Hafsa Lodi, abaya masa kini bukan lagi lambang kepatuhan pada perintah agama. Abaya masa kini tidak ubahnya seperti model baju lainnya. “Meski tidak lagi dipaksakan, perempuan Arab Saudi tetap memakai abaya. Tidak ada bahasan soal pembebasan atau hal sejenisnya. Perempuan Arab Saudi memandangnya sebagai salah satu pilihan busana masa ini,” tuturnya.
Perancang busana Arab Saudi, Arwa Alammari, menyebut abaya kini menjadi salah satu pilihan busana resmi di Arab Saudi. Modelnya kini beragam seiring semakin banyak profesi dilakoni perempuan.“Di era ibu saya, perempuan hanya menjadi tenaga kesehatan atau pendidikan. Sekarang, perempuan bekerja di berbagai sektor dan karena itu butuh pilihan busana beragam. Bersama dengan perubahan itu, abaya juga berkembang,” kata dia.
Sejarawan Arab Saudi Reem El Mutwalli mengatakan, abaya akan sulit dilepaskan dari industri busana Arab Saudi dan Timur Tengah. Selain karena beradaptasi, abaya telah menjadi bagian kebudayaan Timur Tengah sejak lama.
Di masa lalu, abaya warna-warni pernah menjadi penanda status sosial. Hanya orang kaya bisa membeli abaya warna warni yang menggunakan kain impor.
Di masa kini, abaya kembali warna warni karena jadi ekspresi kebebasan berkarya. Isu lain yang perlu diperhatikan adalah, pembeli di kawasan cenderung berkembang menjadi konsumen yang menghargai nilai dan norma. “Seiring peningkatan daya beli, orang tidak lagi sekadar membeli baju. Bagi mereka, apa yang dikonsumsi akan mencerminkan identitas. Mereka mau identitas, termasuk akar budaya mereka, tecermin dari busana hingga makanan,” tuturnya.