Pilpres Brasil Ketat, Bolsonaro-Lula Bertarung ke Putaran Kedua
Bolsonaro dan Lula. Sama-sama populer dan juga bermasalah. Keduanya menuju putaran kedua pilpres Brasil.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
SAO PAOLO, SENIN — Pemilihan umum presiden Brasil putaran pertama berakhir dengan perolehan suara hampir seimbang di antara dua kandidat terkuat. Presiden petahana Jair Bolsonaro yang beraliran kanan akan maju ke putaran kedua tanggal 30 Oktober 2022 untuk bertarung dengan Luiz Inacio Lula da Silva alias Lula.
Putaran pertama pilpres selesai pada Minggu (2/10/2022) malam waktu setempat atau Senin (3/10/2022) pagi WIB. Sebanyak 98 persen suara dari 156 juta warga yang layak mencoblos telah dikumpulkan. Hasilnya, Lula memperoleh 48,3 persen suara dan Bolsonaro memperoleh 43,5 persen. Mengingat tidak ada kandidat yang menembus 50 persen suara, sesuai peraturan, mereka berdua harus kembali berlaga di putaran kedua.
Baik Bolsonaro maupun Lula sama-sama sensasional dan bombastis. Mereka memiliki basis pendukung yang kuat sehingga pilres tahun ini sangat membelah masyarakat Brasil. Apalagi, keduanya berasal dari kubu yang benar-benar berlawanan.
Bolsonaro (67) menjabat sebagai presiden sejak 2019. Ia terkenal sebagai politikus sayap kanan penganut nilai-nilai konservatif. Ia menentang ideologi pengarusutamaan jender. Kelompok pelestari lingkungan nasional dan global mengkritiknya karena membuka izin perambahan hutan lindung, termasuk rimba Amazon yang merupakan paru-paru dunia.
Ia dinilai tidak cakap menangani pandemi Covid-19, bahkan menampik fakta Covid-19. Selain itu, Bolsonaro juga berjanji akan melonggarkan aturan kepemilikan senjata api. ”Saya tidak akan menerima kekalahan di pilpres nanti. Hanya Tuhan yang bisa mencabut saya dari kursi kepresidenan,” kata Bolsonaro dalam pidato di depan pendukungnya pada September 2021.
Para pengamat politik melihat Bolsonaro ingin meniru langkah kawannya, mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang menggerakkan pendukung agar tidak memercayai hasil pilres. Di AS, peristiwa ini berujung dengan kerusuhan dan penyerangan ke Gedung Capitol pada tanggal 6 Januari 2021.
Sementara itu, Lula (76) adalah tokoh politik dari Partai Buruh yang pernah menjabat sebagai presiden Brasil periode 2003-2010. Masa kepemimpinannya penuh dengan skandal kasus korupsi. Bahkan, Lula pernah dipenjara pada 2018 akibat kasus penerimaan suap.
Namun, pada 2019 ia dibebaskan setelah Mahkamah Agung Brasil dan juga penyelidikan mandiri dari Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan bahwa hakim yang memvonis Lula, Sergio Moro, bertindak berdasarkan bias pribadi sebagai orang dekat dan pendukung Bolsonaro.
Dalam kampanye kali ini, Lula berjanji untuk mempersempit kesenjangan sosial, meningkatkan layanan masyarakat yang inklusif, dan mengembalikan perekonomian Brasil seperti periode 2003-2010 yang memiliki peningkatan signifikan, bahkan bisa membayar utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Lula juga mengingatkan kepada masyarakat bahwa ia adalah presiden paling populer di negara itu.
Jajak pendapat seusai berakhirnya masa jabatan Lula menunjukkan 80 persen rakyat Brasil puas dengan kepemimpinannya. ”Saya ingin melakukan yang lebih baik untuk rakyat karena saya bisa,” ujar Lula kepada majalah Time edisi Maret 2022.
Pilpres kali ini membuat rakyat Brasil tegang. Lembaga survei Datafolha pada 1 Oktober 2022 mengeluarkan hasil jajak pendapat yang mengungkapkan 46 persen responden menolak membicarakan politik secara terbuka. Hal ini karena perbedaan politik mengakibatkan permusuhan di masyarakat.
Surat kabar Folha de Sao Paolo melaporkan, setidaknya ada tiga kasus pembunuhan gara-gara perbedaan politik. Kasus terakhir terjadi pada awal September di Mato Grasso ketika seorang pendukung Lula ditikam oleh pendukung Bolsonaro setelah dilaporkan berdebat soal politik. Bahkan, jajak pendapat Datafolha itu menyebutkan bahwa 14 persen responden, baik pendukung Lula maupun Bolsonaro menerima ancaman fisik ataupun verbal dari orang yang berlawanan secara politik.
Ketegangan juga merembes ke simbol nasional Brasil, yakni kaus sepak bola kesebelasan nasional yang berwana kuning hijau. Masyarakat terpaksa menghindari memakai kaus khas ”Tim Samba” itu karena kini terlalu sarat dipolitisasi.
”Awalnya, rakyat berunjuk rasa memakai kaus itu pada 2014 untuk memakzulkan presiden Dilma Roussef yang korup. Setelah itu, Bolsonaro dan pendukungnya selalu memakai kaus kuning-hijau di setiap kegiatan mereka sehingga sekarang kaus itu diasosiasikan dengan kelompok sayap kanan,” kata sejarawan Universitas Brasilia, Mateus Gamba Torres, kepada BBC Sport.
Akibatnya, lanjut Torres, sebagian masyarakat Brasil tidak mengidentifikasi diri mereka lagi dengan kaus yang dulunya kebanggaan negara. Salah satunya ialah Joao Vitor Goncalves (20). Ia bergegas membeli kaus kuning sebagai tanda dukungan negaranya yang akan bertanding di Piala Dunia 2022 di Qatar. Namun, semua orang mengira ia adalah pendukung Bolsonaro.
”Saya bukan pendukung Bolsonaro. Namun, karena memegang kaus itu, semua orang berpikiran demikian. Akhirnya, kaus itu saya simpan saja,” ujarnya. (AP/REUTERS)