Mosaik Bersejarah Era Bizantium Ditemukan di ”Wilayah Panas Konflik” Jalur Gaza
Peninggalan arkeologis era Bizantium ditemukan di Jalur Gaza. Persoalannya, di tengah konflik Palestina-Israel yang terus mencengkeram, bisakah otoritas setempat memastikan penelitian dan pelestarian yang berkelanjutan?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
GAZA, SABTU — Jalur Gaza di Palestina berada di wilayah yang terjepit antara Israel dan Mesir. Sejak zaman dulu, wilayah ini merupakan jalur perdagangan antara Mesir dan kawasan Levant, yang menjadikan bumi Gaza kaya akan peninggalan arkeologi. Akan tetapi, situasi politik yang tidak stabil, rawannya konflik, serta kurang aktifnya pemerintah membuat pelestarian artefak-artefak bersejarah ini sukar dilaksanakan.
Hamas, kelompok bersenjata penguasa de facto Gaza, berencana mengumumkan penemuan arkeologis terbaru itu. Pada pertengahan tahun 2022 ini, seorang petani zaitun menemukan mosaik di perkebunan miliknya.
Bersama dengan anggota keluarganya, petani itu menggali lahan seluas 500 meter persegi. Mereka membuat tiga lubang dengan ukuran masing-masing 2 meter x 3 meter. Dari sana tampak mosaik seukuran 23 meter persegi. Dugaannya, ukuran mosaik itu lebih besar daripada yang terlihat sekarang.
”Indah sekali. Ini peninggalan mosaik terpenting di Gaza karena luar biasa dari kerumitan desain dan konteks gambarnya,” kata Rene Elter, arkeolog Sekolah Kajian Alkitab dan Arkeologi Perancis di Jerusalem, Sabtu (17/9/2022).
Ia menjelaskan, dari penggalian sementara, sudah ditemukan 17 mosaik gambar berbagai jenis hewan, mayoritas adalah mamalia dan burung. Warna tegel mosaiknya masih cerah. Ini adalah fenomena luar biasa karena biasanya mosaik kuno yang ditemukan sudah memudar. Dugaan para arkeolog, mosaik itu berasal dari abad ke-5 Masehi sampai dengan abad ke-17 Masehi.
”Tentu saja harus dilakukan penelitian mendalam. Kami juga ingin mencari tahu mosaik ini merupakan peninggalan keagamaan atau sekadar karya seni,” kata Elter.
Permasalahannya, para ahli arkeologi dan sejarah mengkhawatirkan lemahnya pelestarian situs-situs bersejarah. Wilayah Gaza memiliki persoalan sosial yang kompleks. Luas wilayah ini hanya 300 kilometer persegi, sementara jumlah penduduknya mencapai 2,3 juta jiwa. Praktis, otoritas setempat mengutamakan kepentingan penduduk dibandingkan dengan perawatan artefak kuno.
Selain itu, juga ada masalah keamanan. Konflik antara Hamas dan Israel masih kerap pecah di Gaza. Bahkan, mosaik ini hanya berjarak 1 kilometer dari perbatasan dengan Israel.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, situs-situs bersejarah banyak yang rusak terkena hantaman peluru ataupun rudal. Ada pula situs yang dijarah, seperti Biara Santo Hilarion dan beberapa makam era Romawi Kuno, Bizantium, dan Kekhalifahan Utsmani.
Pada tahun 2017, Hamas membumiratakan sebuah situs peninggalan zaman perunggu berusia 4.500 tahun di Tel Es-Sakan. Situs itu diekskavasi pada tahun 1997 dan terpaksa dihentikan pada tahun 2002 karena isu keamanan. Usia permukiman zaman perunggu itu diperkirakan 1.000 tahun lebih tua daripada piramida di Mesir.
”Setelah itu, pada tahun 2017, situs seluas 100 hektar itu digusur demi membuat kompleks perumahan,” kata Mouin Sadeq, arkeolog Palestina yang terlibat dalam ekskavasi 1997-2002. Komunitas pelestarian cagar budaya dibuat patah hati oleh peristiwa ini.
Dilansir dari media Al-Monitor, pada tahun 2013, Asosiasi Warisan Kebudayaan Al-Qala Palestina mengajukan kepada pengadilan di Gaza agar situs-situs bersejarah dijadikan lokasi cagar budaya. Harapannya, situs ini mendapat perlindungan dan pelestarian yang pantas.
Namun, permohonan itu ditolak oleh pengadilan. Menteri Pariwisata dan Artefak Bersejarah Gaza saat itu, Mohammed Khalla, menjelaskan bahwa semua situs itu berada di lahan milik pribadi. ”Pemerintah harus membayar ganti rugi kepada pemilik lahan dan kami tidak punya anggaran,” ujarnya. (AP)