Mengapa Kita Membutuhkan Sejarah?
Meski sejarah memiliki keterbatasan ruang dan waktu, kehadirannya dalam alam akal budi bersifat zeitlos. Sebagai resiliensi bangsa, sejarah tetap mendapat ruang guna merawat memori kolektif di segala masa.
Dalam filsafat sejarah modern, sejarah bukanlah narasi subjektif yang berkutat pada dichtung und wahrheit, antara dongeng dan kebenaran belaka. Sejarah juga bukan subjek metafisik yang berfungsi sebagai subtitusi atau komplementer. Sejarah merupakan anasir dalam proses dialektika yang dapat menuntun suatu zaman berbilang masa.
Menghadirkan masa lampau di masa kini memang kerap menimbulkan perdebatan. Sejak era Yunani Kuno hingga periode historiografi kontemporer, perdebatan ini selalu muncul sebagai sebuah proses dialektika dan swa kritik terhadap sejarah sebagai sebuah ilmu.
Sejarah telah hadir sejak awal kehidupan manusia itu sendiri (primum aevum).
Sejarah sebagai suatu obyek pengetahuan bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia. Sejarah telah hadir sejak awal kehidupan manusia itu sendiri (primum aevum).
Namun, kesadaran manusia untuk menggali sejarah dengan memusatkan manusia sebagai objek kajian, baru muncul seiring lahirnya para pemikir di berbagai belahan dunia, seperti Yunani kuno, Romawi, hingga pemikir Islam dari tanah Arab.
Bagi pecinta sejarah, perdebatan klasik yang begitu populer mencuat ke permukaan sebagai pelecut perkembangan sejarah adalah pertanyaan tentang asal mula kehidupan yang diungkapkan oleh beberapa filsuf dari Miletus pada abad ke-7 sebelum Masehi (SM). Perdebatan ini boleh dikata sebagai salah satu gerbang kesadaran pada hakikat sejarah yang berpusat pada kehidupan manusia.
Pada tahap berikutnya, sejarah perang Persia karya Herodotus pada abad ke-5 SM turut memperkuat karya sejarah yang berbasis pada struktur. Melalui karya ini, masa lampau tidak hanya berada dalam kerangka perdebatan antara logos dan mitos belaka, melainkan mulai mengarah pada hal-hal yang lebih mendasar terkait latar belakang, proses, hingga jiwa zaman suatu peristiwa.
Adapula The Peloponnesian War karya Thucydides pada rentang periode yang sama. Karya tentang sejarah perang saudara di Yunani antara wilayah negara-kota, Athena dan Sparta, diulas dengan pendekatan sejarah pragmatis yang bertitik tolak pada kekuatan sumber sejarah.
Dari sini, kita dapat memahami, bahwa sejarah sebagai sebuah ilmu, telah menemukan ruhnya di tengah perbedaan alam pikiran periode Yunani Kuno. Meski bukan menjadi satu-satunya gerbang pembuka, periode ini cukup penting untuk memahami kesadaran manusia terhadap sejarah yang bertitik tolak pada manusia itu sendiri.
Baca juga: Merawat Marwah Demokrasi
Pada masa-masa berikutnya, sejarah selalu hadir untuk memahami situasi masa lampau dengan berbagai sudut pandang. Perkembangannya juga turut melahirkan berbagai pendekatan sejarah dari sisi penulisan mulai dari historiografi Yunani klasik, historiografi barat periode abad pertengahan, hingga historiografi Islam.
Ibnu Khaldun, contohnya, dalam karya magnum opusnya berjudul Muqaddimah, telah memperlakukan sejarah sebagai ilmu pengetahuan, bukan hanya narasi belaka.
Kini, di tengah perkembangan teknologi, eksistensi sejarah sebagai sebuah ilmu pengetahuan seakan menemui suatu realitas baru dalam perkembangannya.
Karya-karya sejarah mulai banyak mendapatkan tempat di berbagai media cetak dan digital. Bahkan, karya sejarah juga diterima banyak masyarakat melalui kanal media sosial seperti Youtube, Instagram, hingga media sosial lainnya.
Di tengah realitas dan bangkitnya eksistensi sejarah, muncul suatu pertanyaan mendasar, mengapa kita membutuhkan sejarah? Pertanyaan ini layak disematkan mengingat semakin banyaknya karya sejarah yang bermunculan.
Sayangnya, ragam karya sejarah yang bertebaran di ruang publik belum seutuhnya menggunakan metodologi penelitian sejarah, baik dari sisi penelitian maupun penulisan. Akibatnya, kerap terjadi kesalahan dalam penyajian karya sejarah yang diterima masyarakat.
Baca juga: Gus Dur, Humor, dan Demokrasi
Dua sisi
Pertama-tama, untuk menjawab pertanyaan tentang kebermanfaatan sejarah, kita perlu memahami kerangka sejarah sebagai sebuah ilmu. Sejarah sebagai sebuah ilmu memang memiliki keunikan tersendiri.
Selain metodologi penelitian, sejarah memiliki pendekatan dari segi penulisan. Dua sisi tahapan ini tak boleh luput dari karya sejarah, baik penyajian sejarah secara akademik maupun penulisan sejarah populer.
Pertama, dalam tahap penelitian, sejarah memiliki metodologi yang meliputi tahap heuristik, kritik intern dan ekstern (verifikasi), interpretasi, sebelum akhirnya mencapai tahap historiografi atau penulisan sejarah.
Setelah melalui tahap pencarian data dan melakukan kritik sumber sejarah, seorang sejarawan harus mampu melakukan interpretasi secara objektif pada sebuah temuan sejarah.
Sementara pada tahap penulisan, pendekatan seorang sejarawan sangat mempengaruhi karya sejarah yang dihasilkan. Sebagai contoh, tindakan militer Belanda pada tahun 1947 dan 1948, jika dimaknai dalam konteks historiografi kolonial, maka tindakan militer ini akan dipahami sebagai sebuah aksi polisionil.
Sementara jika peristiwa itu didekati dari historiografi nasional dengan pendekatan Indonesia-sentris, peristiwa itu akan disebut sebagai agresi militer.
Contoh lainnya adalah Perang Diponegoro tahun 1825-1830 atau yang dikenal dengan sebutan Perang Jawa. Jika merujuk pada pendekatan historiografi kolonial, Diponegoro akan dinilai sebagai pemberontak.
Namun, kesimpulan berbeda jika perang itu kita lihat dari sudut pandang historiografi nasional, Diponegoro tentu dianggap sebagai pahlawan karena melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Baca juga: Ramadhan dan Siasat Politik Pemerintah Kolonial
Sudut pandang yang lebih rumit akan ditemukan jika menggunakan paradigma sejarah kedaerahan. Dalam perspektif sejarah lokal, seorang pahlawan bisa dianggap sebagai pengkhianat bagi daerah lain. Kondisi ini cukup rumit jika dipadukan dengan perspektif historiografi nasional.
Misalnya, sosok Arung Palakka, putra mahkota dari kerajaan Bone. Pada tahun 1666, Arung Palakka bekerja sama dengan VOC untuk melakukan perlawanan terhadap kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin.
Tujuan perlawanan ini salah satunya adalah untuk membebaskan orang-orang kerajaan Bone yang dipekerjakan di Kerajaan Gowa. Pada tahun 1667, Gowa akhirnya menyerah dan Sultan Hasanuddin menyepakati Perjanjian Bongaya yang berdampak pada lepasnya Bone dari wilayah kekuasaan Gowa.
Dari peristiwa ini, tentu Arung Palakka dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat daerah Bone karena mampu melepaskan diri dari Kerajaan Gowa. Namun, dalam perspektif nasional, Arung Palakka belum dianggap sebagai pahlawan karena bekerja sama dengan VOC.
Dua sisi inilah, metodologi penelitian dan penulisan, yang sangat perlu dipahami sebelum menghasilkan karya sejarah. Tanpa memahami metodologi dan prinsip penulisan, maka karya sejarah berpotensi menimbulkan bias.
Baca juga: Penanggulangan Penyakit dan Manifesto Politik Soekarno
Antara dongeng dan kebenaran
Setelah menengok sejarah dari perkembangan ilmu sejarah, dan sejarah dari perspektif metodologi, dapat dipahami bahwa manusia memerlukan sejarah bukan hanya sebatas kerangka dichtung und wahrheit, antara dongeng atau kebenaran belaka. Sejarah memiliki fungsi lebih dari sekadar itu, yakni sebagai penuntun zaman.
Untuk berhasil mencapai tujuan ini, boleh dikata proses menghadirkan sejarah tidak sederhana. Friedrich Hegel, filsuf dari Jerman, misalnya, membedakan tiga jenis penulisan sejarah, yakni penulisan sejarah orisinal, penulisan sejarah reflektif, dan sejarah filsafati. Ketiga jenis penulisan ini dibalut unsur apriori dan aposteriori, baik dalam konteks filsafat sejarah formal maupun material.
Dalam penulisan sejarah orisinal, seorang sejarawan perlu menggunakan sumber-sumber sezaman sebagai kekuatan ruh obyektif dalam penulisan sejarah.
Sementara pada penulisan sejarah reflektif, seorang sejarawan perlu mengambil jarak dari temuan masa silam, guna memberi ruang untuk melakukan interpretasi tanpa mengabaikan fakta sejarah. Dalam tahap ini, penulisan sejarah masuk ke tahap ruh subyektif yang belum dapat dikatakan sebagai karya sejarah yang mumpuni.
Guna mencapai penulisan sejarah yang sesuai kaidah penulisan, maka dibutuhkan penulisan sejarah filsafati, yang memandang sejarah dari sudut pandang akal budi, atau mengembalikan sejarah sesuai fakta setelah melalui proses penelitian ilmiah.
Penulisan sejarah tidak dapat serta-merta diubah tanpa adanya tahapan penelitian secara akademik.
Meski pandangan ini menuai beberapa perdebatan, yang jelas, penulisan sejarah perlu melalui rangkaian tahapan penelitian dan penulisan. Dengan demikian, maka penulisan sejarah tidak dapat serta-merta diubah tanpa adanya tahapan penelitian secara akademik.
Baca juga: Kala Bung Karno Dikritik Lewat Coretan Tembok
Selain akal budi, zeitgeist atau jiwa zaman sebuah peristiwa sejarah juga dapat didalami dengan memahami suasana kebatinan tokoh pelaku sejarah.
George Collingwood, filsuf dan sejarawan Inggris, menegaskan bahwa penelitian sejarah tidak hanya berkaitan dengan obyek lahiriah semata, melainkan juga perlu menggali lebih dalam suasana kebatinan dengan cara menghayati kembali (to re-enact) hidup seorang pelaku sejarah. Dengan begitu, tulisan sejarah dapat memiliki ruh dengan menampilkan jiwa zaman yang lebih konkret.
Pandangan Collingwood sempat disederhanakan oleh filsuf sejarah dari Kanada, William Herbert Dray. Bagi Dray, penulisan sejarah cukup menampilkan bukti tentang alasan suatu tokoh atau latar belakang peristiwa sejarah terjadi. Alasan post factum ini dinilai cukup untuk menjelaskan peristiwa masa lampau mengingat kemungkinan bias suasana kebatinan saat mewawancarai tokoh sejarah di masa kini (Ankersmit, 1987).
Baca juga: Wiji Thukul, Grafiti, dan Nada Kegelisahan di Tembok Kota
Kebermanfaatan
Metodologi dan pandangan filsuf sejarah inilah yang dapat menjadi modal seorang penulis untuk menghadirkan masa lampau di ruang masa kini. Jika tidak, besar kemungkinan karya sejarah gagal menghadirkan masa lampau sebagai cermin, penuntun, dan pembelajaran di masa kini. Akibatnya, sesat pikir dalam menyimpulkan masa lampau sangat mungkin terjadi.
Salah satu kesalahan membaca sejarah, misalnya, menengok fakta masa lalu dengan perspektif masa kini secara menyeluruh. Hal ini pernah ramai didiskusikan di media sosial saat memahami hukum pidana dan perdata pada era Kerajaan Majapahit.
Jika memahami hukum itu dari sudut pandang kekinian, memang terdapat pemisah antara hukum pidana dan perdata. Namun, di masa itu, belum ada pemisahan yang tegas antara hukum pidana dan perdata. Sebelum menyimpulkan, pemahaman jiwa zaman dalam memaknai fakta sejarah sangat dibutuhkan.
Baca juga: Hukum Pidana Era Majapahit: Dari Menebang Pohon hingga Korupsi Menteri
Di samping perdebatan yang terus bermunculan terkait suatu fakta sejarah, yang jelas, karya sejarah kini benar-benar memiliki ruang untuk terus tumbuh dan eksis di ruang publik. Ruang kebermanfaatan ini terbuka lebar, seperti media massa, media sosial, hingga ranah kebijakan publik, tentunya setelah melakukan kajian sejarah berbasis metodologi.
Pada media massa, misalnya, sejarah kerap kali hadir sebagai cermin bagi bangsa dalam melalui berbagai hambatan. Pada saat berhadapan dengan Covid-19, sejarah berfungsi menjadi pembelajaran tentang pengalaman bangsa ini dalam menghadapi berbagai penyakit menular. Catatan sejarah tentang penanggulangan penyakit kolera pada era Hindia Belanda, hingga penanggulangan SARS periode Reformasi, menjadi catatan tersendiri yang ramai ditulis di media massa.
Saat masyarakat menaruh keraguan pada vaksin, sejarah juga bermanfaat untuk memberikan ruang penjelasan bahwa situasi ini juga pernah terjadi pada era Hindia Belanda, tepatnya saat penyelenggaraan vaksin cacar pada tahun 1800-an awal, dan vaksin kolera pada tahun 1900-an awal. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah kolonial saat itu adalah menggunakan pendekatan kultural agar masyarakat bersedia menerima vaksin.
Baca juga: Kisah Vaksin Era Kolonial: Ditolak dan Dihindari
Dalam ranah kebijakan publik, sejarah juga sangat dibutuhkan untuk menerapkan suatu kebijakan. Salah satu contohnya adalah pembangunan jalan tol di Sumatera Barat. Hingga kini, pembangunan tol tersebut masih tersendat karena persoalan pembebasan lahan di tanah adat.
Jika berkaca dari sejarah, pemerintah sebetulnya pernah menerapkan strategi yang cukup baik dalam pemanfaatan lahan pada tanah adat di wilayah Sumatera Barat. Strategi ini diterapkan dalam pelaksanaan proyek transmigrasi bedol desa dari Wonogiri ke Sawahlunto/Sijunjung, atau yang kini telah mekar menjadi Kabupaten Dharmasraya, pada dekade 1970-an.
Saat itu, para ninik mamak dan tokoh adat bertemu langsung dengan pemerintah pusat. Pertemuan ini sekaligus menyiratkan keseriusan pemerintah dalam memanfaatkan sebagian tanah adat dalam proyek transmigrasi. Hasilnya, proyek transmigrasi ini berhasil dilakukan dan hingga kini masyarakat pada desa-desa transmigrasi tetap hidup berdampingan dengan masyarakat setempat.
Jika sebuah kebijakan publik diawali dengan kajian sejarah, tentu kebijakan yang diambil memiliki landasan yang kokoh sebelum diterapkan.
Sayangnya, jika melihat implementasi kebijakan pembangunan di lapangan, belum semua penerapan program pemerintahan dilandasi oleh suatu kajian sejarah, khususnya sejarah lokal. Padahal, kajian sejarah ini penting dilakukan guna meminimalisir konflik yang timbul akibat pembangunan suatu proyek.
Sebagai resiliensi bangsa, sejarah juga tetap perlu mendapat ruang guna merawat memori kolektif.
Pada akhirnya, meski sejarah adalah ilmu yang memanjang dalam waktu dan terbatas dalam ruang (diakronik), atau meluas dalam ruang dan terbatas dengan waktu (sinkronik), kehadirannya dalam alam akal budi bersifat zeitlos, tak terikat waktu.
Sebagai resiliensi bangsa, sejarah juga tetap perlu mendapat ruang guna merawat memori kolektif. Jika tidak, maka kita akan terjebak pada situasi yang sama di alam pikiran yang berbeda, sebagaimana pepatah Perancis, plus ca change, plus c’est la meme chose, semakin berubah, semakin tetap sama. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Demokrasi, Koperasi, dan Politik Kemakmuran Bung Hatta