Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta menyebut Indonesia dan tiga negara Asia Timur sebagai calon mitra potensial dalam eksplorasi ladang minyak dan gas Greater Sunrise.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
CANBERRA, RABU — Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta menyanjung kontribusi Indonesia dan China pada perekonomian negaranya. Di sisi lain, ia mengkritik pendekatan dan kebijakan Australia dan Eropa pada kawasan.
Horta menyebut, hubungan Indonesia-Timor Leste kini amat dekat. ”Indonesia adalah mitra potensial Greater Sunrise,” ujarnya kepada anggota National Press Club Australia, Rabu (7/9/2022), di Canberra, Australia.
Ia merujuk pada ladang minyak dan gas bawah laut yang dimiliki bersama Timor Leste dan Australia. Sejak merdeka 20 tahun lalu, Dili telah berusaha mencari mitra untuk mengelola ladang itu.
Selain Indonesia, ia juga menyebut China, Jepang, dan Korea Selatan sebagai calon mitra potensial untuk pengembangan blok Greater Sunrise. ”Ini cuma masalah pipa, bukan keamanan maritim,” katanya.
Dua ladang minyak dan gas di Greater Sunrise ditemukan pada 1974. Diperkirakan dua ladang itu memiliki cadangan 5,1 triliun kubik kaki gas dan 226 juta barel kondensat, minyak mentah ringan yang biasanya ditemukan bersama gas.
Pengembangan Greater Sunrise awalnya terhambat oleh sengketa perbatasan maritim. Sengketa ini telah diselesaikan pada 2018. Kini perbedaan utama terletak pada apakah gas akan disalurkan dengan jalur pipa ke pusat pengolahan gas alam cair (LNG) yang baru di Timor Leste atau ke hub LNG di Darwin, Australia, dengan operator Woodside Energy Group.
Proyek Greater Sunrise bakal menjadi sumber pendapatan utama Timor Leste ke depan setelah produksi di ladang minyak dan gas Bayu Undan akan berhenti tahun ini. Hal itu membuat Dili praktis hampir bergantung sepenuhnya pada pendapatan minyak yang saat ini senilai 18 miliar dollar AS.
Menurut Horta, bagi dirinya tidak masuk akal menyalurkan gas ke Darwin karena butuh pipa sepanjang 500 kilometer, sedangkan pipa gas ke Timor Leste hanya 200 kilometer.
Sampai kini, Dili dan Woodside tidak kunjung sepakat soal lokasi pengolahan. Woodside menyebut, proyeknya menjadi tak layak jika pengolahan dilakukan di Timor Leste. Namun, Horta dan banyak orang Timor Leste berkeras pengolahan harus dilakukan di Timor Leste.
Horta mengatakan, potensi keterlibatan China di pengembangan blok Greater Sunrise tidak ubahnya seperti Australia menyewakan Pelabuhan Darwin ke perusahaan China. Sewa itu berlaku sampai 92 tahun mendatang. ”Tidak ada satu pun yang terganggu tidurnya (terusik oleh penyewaan Pelabuhan Darwin),” ujarnya.
Tak mau diceramahi
Sebaliknya, Australia dan sekutunya meributkan kehadiran kapal-kapal ikan China di sekitar Kepulauan Solomon atau Timor Leste. Australia juga mempersoalkan kehadiran banyak pedagang dan pebisnis China di Timor Leste.
Horta juga mengkritik pernyataan Canberra dan sekutunya terkait rencana pengembangan blok migas itu. Australia dan sekutu serta mitranya mengajukan alasan perubahan iklim dan pencemaran lingkungan untuk menghambat rencana pengembangan itu.
”Berikan kami 100 miliar dollar AS dan lupakan perselisihan soal jaringan pipa, kami tidak akan pernah membangunnya lagi. Selain dari itu, tolong, jangan ceramahi saya,” katanya.
Dili ditaksir akan mendapatkan 100 miliar dollar AS dari pengembangan blok Greater Sunrise. Hingga separuh dari potensi pendapatan itu akan diperoleh Dili jika pengolahan lanjutan migas dilakukan di Timor Leste.
Kritik lain Horta pada Eropa adalah soal penyediaan dana. Sampai sekarang, kreditor Dili adalah Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Perusahaan Pembiayaan Internasional (IFC) yang merupakan anak usaha Bank Dunia. ”Kami tidak punya pinjaman dari China,” katanya.
Dili juga tidak punya pinjaman dari bank-bank Eropa, Australia, atau Amerika Utara. Sebab, Eropa meminta bunga amat tinggi. ”Tujuh persen,” kata Horta.
Meski tidak meminjam dari Beijing, Timor Leste berdagang dengan China. Kini, ada begitu banyak orang China di Timor Leste dan menjual aneka hal. ”Orang Australia tidak melakukan semua itu,” ujarnya.
Tidak hanya banyak, barang-barang China juga murah. Horta mengaku mengalami sendiri mendapat harga murah. ”Anda bisa membeli sepasang sepatu dengan 2 dollar dan di Australia, 2 dollar, Anda bahkan tidak bisa membeli mangga,” ujarnya.
Berbeda dengan Uni Soviet, China punya banyak modal untuk menjadi adidaya. Dulu, Uni Soviet mengandalkan nuklir. Sementara China, selain nuklir, juga mengandalkan semua perangkat ekonomi dan keuangan untuk menjangkau berbagai penjuru dunia.
”Jangan berpikir China akan menyerang siapa pun dan faktanya, mereka tidak pernah menyerang siapa pun. Justru setiap negara Eropa pernah menyerang mereka. Anda tahu, Inggris dua kali ke sana dalam dua perang terbuka, lalu Perancis dan lainnya,” tuturnya.
Isu pangkalan militer
Di sisi lain, Horta menjamin Dili tidak akan memberi lampu hijau pada Beijing membangun pangkalan militer di Timor Leste. ”Kami bertanggung jawab pada tetangga, pada Australia, Indonesia, dan negara Asia Tenggara lain untuk tidak mengizinkan Timor Leste menjadi pangkalan negara yang bermusuhan atau dianggap berpotensi jadi musuh,” ujarnya.
Horta juga mengingatkan, kekuatan di kawasan bukan hanya China. Di kawasan ada Indonesia yang terus berkembang. Demikian pula negara-negara lain di Asia Tenggara dan Pasifik.
Horta tidak hanya menyebut Indonesia sebagai salah satu mitra potensial pengembangan blok Greater Sunrise. Dili menyebut Jakarta sebagai mitra dekat untuk berbagai aktivitas perekonomian Timor Leste.
Horta mengatakan telah berdiskusi dengan Presiden RI Joko Widodo untuk mengembangkan kawasan industri di perbatasan dua negara. Kawasan industri sepanjang 20 kilometer antara Timor Leste dan Nusa Tenggara Timur disebut akan menguntungkan kedua negara. (AFP/REUTERS)