Terlalu Santai Merespons, Fed Berisiko Roketkan Inflasi
Sejumlah ekonom mengkritik The Fed. Mereka menilai respons Bank Sentral Amerika Serikat itu terlalu santai atas tingginya inflasi. Ini justru berisiko makin meroketkan inflasi.
WASHINGTON, KAMIS - Inflasi di Amerika Serikat sampai dengan Kamis (25/8/2022) melejit terlalu jauh meninggalkan tingkat suku bunga inti Bank Sentral Amerika Serikat. Inflasi juga lebih tinggi dari suku riil di pasar.
Jika The Fed atau Bank Sentral Amerika Serikat (AS) tetap lamban menyadari serta lambat menaikkan suku bunga, inflasi tinggi akan sulit diturunkan bahkan akan bertahan lama. Efeknya adalah dampak inflatoar ke seluruh dunia mengingat dollar AS adalah alat utama transaksi global.
Profesor ekonomi dari Stanford University, John Taylor, Selasa (23/8/2022) kepada televisi Bloomberg mengatakan suku bunga inti di AS minimal harus di level 5 persen. Suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) di level itu diperlukan mengingat inflasi di negara itu sudah mencapai 8,5 persen pada Juli 2022.
“Berisiko jika The Fed menganggap situasi telah terkendalikan.
The Fed sejauh ini masih mematok suku bunga inti pada kisaran 2,25-2,50 persen dan memberi kisaran kenaikan suku bunga hingga level 3,8 persen. Target The Fed itu dianggap tidak cukup kuat untuk menurunkan inflasi.
Para ekonom termasuk mantan Menteri Keuangan AS Lawrence Summer mengatakan, inflasi sudah terlalu tinggi untuk ditanggapi dengan suku bunga serendah itu. “Berisiko jika The Fed menganggap situasi telah terkendalikan,” kata Summers kepada Bloomberg, 6 Agustus.
Gubernur The Fed Jerome Powell menyadari inflasi harus diperangi dan suku bunga harus dinaikkan. Akan tetapi Powell tampak khawatir jika suku bunga dipatok terlalu tinggi maka kehidupan rakyat akan terpukul karena resesi. Ia berharap pasar mengarahkan inflasi pada penurunan.
Kesalahan Burns
Akan tetapi dengan sikap itu, Powell berpotensi meniru kesalahan Arthur Burns, Gubernur The Fed periode 1970-1978. Ketika inflasi tinggi melanda AS saat itu, kata Taylor, Burns menepis ancaman inflasi dan mengatakan hal itu bukan karena kebijakan moneter.
Burns tetap mempertahankan kebijakan suku bunga rendah di tengah inflasi yang meningkat. Akibatnya adalah inflasi tinggi 11,1 persen pada 1974 dan 13,5 persen pada 1980.
Taylor memberi saran pada The Fed. Ia pernah menjadi penasihat ekonomi Presiden Gerald Ford (1974-1977) dan Presiden George HW Bush (1989-1993). Ekonom terkenal AS ini berpengalaman menangani stagnasi dan inflasi (stagflasi) bersama Gubernur The Fed, Paul Volcker (1979–1987). Taylor juga seorang mantan Wakil Menkeu AS periode 2001 - 2005.
Stimulus berlebihan di AS termasuk faktor yang berperan besar mendorong inflasi.
Taylor mengatakan, saat menghadapi stagflasi pada dekade 1970-an yang berlanjut hingga awal dekade 1980-an, ada kepanikan. Akan tetapi ia tetap menekankan agar The Fed tetap fokus pada tugas peredaman inflasi dengan menaikkan suku bunga.
Lewat berbagai artikel yang dia tuliskan di situs The Project Syndicate, Taylor juga mengingatkan agar The Fed jangan terjebak seperti Burns. Sikap lengah hanya akan mengulangi sejarah stagflasi. Taylor mengatakan stimulus berlebihan di AS termasuk faktor yang berperan besar mendorong inflasi.
“Taylor rule”
Taylor menilai suku bunga sekarang terlalu rendah jika dilihat dari rumus “Taylor Rules”, yang dia ciptakan pada 1993. Berdasarkan “Taylor rule” suku bunga harus berada di atas inflasi, agar tidak terjadi suku bunga riil negatif yang justru mendorong inflasi.
Patokan suku bunga berdasarkan “Taylor rule” didapatkan dengan mengombinasikan suku bunga jangka pendek The Fed, ditambah koefisien 0,5 yang dikalikan dengan selisih pertumbuhan produksi domestik bruto (PDB) yang sedang terjadi dengan pertumbuhan PDB yang ditargetkan The Fed.
Ini masih harus ditambahkan lagi dengan koefisien 0,5 dikalikan terhadap selisih inflasi riil (8,5 persen) dan inflasi yang ditargetkan (2 persen). “Taylor rule” ini diterapkan The Fed di era Janet Yellen sebagai Gubernur The Fed periode 2014-2018.
Berdasarkan “Taylor rule” suku bunga harus berada di atas inflasi, agar tidak terjadi suku bunga riil negatif yang justru mendorong inflasi.
Berdasarkan perhitungan The Federal Reserve Bank of Atlanta pada 10 Agustus dengan memakai “Taylor rule”, suku bunga The Fed mestinya sudah mencapai 7,14 persen pada 15 Mei 2022. Faktualnya, suku bunga The Fed masih sekitar 0,77 persen.
Pada 15 Agustus, suku bunga berdasarkan “Taylor rule” mestinya sudah ada di level 7,48 persen. Lagi-lagi suku bunga The Fed saat bersamaan masih di level 2,25–2,50 persen.
Atas dasar itu, Taylor berpendapat, suku bunga The Fed mungkin harus lebih tinggi dari 5 persen. Ini mengingat inflasi di AS sudah berada di atas level 8,5 persen.
Presiden Federal Reserve Bank Minneapolis, Neel Kashkari, Selasa (23/8), kembali bersikukuh bahwa The Fed harus lebih agresif menaikkan suku bunga. Kashkari mengatakan ketakutan terbesarnya sekarang ini adalah The Fed sedang keliru membaca tekanan inflasi.
“Jika kita (The Fed) salah dan pasar juga salah melihat tekanan inflasi, kita akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk menurunkan inflasi,” kata Kashkari. Sekarang ini, kata Kashkari, sangat jelas bahwa The Fed harus mengetatkan kebijakan moneter lebih agresif.
Bermata dua
Bagi dunia, efek gonjang-ganjing inflasi di AS ini bagai pisau bermata dua. Jika inflasi dibiarkan tinggi, hal itu akan menyebabkan inflasi impor bagi negara seperti Indonesia.
AS masih merupakan negara eksportir kedua terbesar di dunia dengan nilai 1,75 triliun dollar AS. Inflasi di AS akan menyebabkan barang ekspornya lebih mahal secara nominal. Ini menambah tekanan inflasi di seluruh dunia yang sama-sama sedang tertekan inflasi tinggi.
Jika kita (The Fed) salah dan pasar juga salah melihat tekanan inflasi, kita akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk menurunkan inflasi,
Di sisi lain inflasi harus diredam untuk mencegah inflasi spiral global. Dunia pernah mengalami efek inflasi spiral AS pada dekade 1970-an berupa kenaikan harga-harga. Untuk itu suku bunga di AS harus diketatkan.
Akan tetapi efek kenaikan suku bunga AS, tidak diragukan lagi akan membawa perekonomian AS pada resesi, entah itu kategori resesi ringan atau berat. Perekonomian dunia juga akan turut terseret resesi AS lewat ekspor dan impor yang menurun.
Maka kata Nouriel Roubini, ekonom dari New York University Stern, efek inflasi AS dan kenaikan suku bunga akan bersifat global. Tidak ada istilah decoupling, dan hal yang membedakan hanya derajat pukulan resesi di setiap negara.
Resesi juga akan muncul dari sektor keuangan berupa rentetan kebangkrutan di AS. Negara-negara berkembang juga berpotensi menghadapi pelarian modal dengan pengetatan suku bunga di AS tersebut. Sejumlah bank sentral di dunia akan direpotkan dengan situasi itu.
Negara-negara berkembang juga berpotensi menghadapi pelarian modal dengan pengetatan suku bunga di AS tersebut. Sejumlah bank sentral di dunia akan direpotkan dengan situasi itu.
Oleh sebab itu, Taylor melanjutkan, pilihan meredam inflasi harus jadi prioritas. Situasi panik pasti ada, tetapi tujuannya adalah stabilisasi perekonomian AS dan global.
Hanya saja, Taylor menambahkan, The Fed harus memberikan kejelasan lewat komunikasi yang baik ke pasar dan seluruh dunia. Komunikasi yang baik tentang rencana pengetatan suku bunga oleh The Fed sangat diperlukan, agar pasar dan seluruh dunia bisa mempersiapkan diri dengan kebijakan di negara masing-masing. (MON)