Pertarungan kepentingan, kuasa, dan perebutan pengaruh berdampak serius pada kondisi kemanusiaan global. Jumlah pengungsi di dunia terus meningkat pesat.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Petang, hari merambat malam ketika Marava mengisahkan tentang dirinya, yang telah 3,9 tahun hidup di pengungsian. Setelah memilih mengungsi dari Afghanistan, negerinya karena konflik dan persekusi, hingga saat ini ia hidup dalam ketidakpastian.
Sementara itu, dua rekannya, Girukshy dan Sakshy Hilman, memilih krayon dan pensil warna untuk menceritakan kisah mereka. ”Everything are far, I can’t reach anything. No resettlement, no home, no freedom. I feel my life is in a dark room!!” tulis mereka pada satu fragmen lukisan bergambar seorang gadis yang terduduk, menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan di atas lutut.
Di sebuah kafe kopi di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan, Sabtu (20/8/2022), para pengungsi Afghanistan itu berbagi mimpi mereka. Mimpi pada masa depan yang tampaknya belum memperlihatkan titik terang.
Merujuk laman resmi Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) disebutkan, pada 2022, peluang pemukiman kembali untuk pengungsi kurang dari 1 persen. Padahal, merujuk situs yang sama, jumlah pengungsi global terus bertambah. Tahun 2011, jumlah pengungsi global sebanyak 38,54 juta orang. Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlahnya berlipat, naik lebih dari 100 persen. Pada akhir 2021, tercatat ada lebih dari 89,3 juta pengungsi di seluruh dunia.
Sejak perang Suriah meletus pada 2011, jumlah pengungsi meningkat tajam. Hingga 2015, tercatat ada 65,03 juta pengungsi. Konflik yang tak berkesudahan di beragam wilayah, termasuk di Asia Tenggara—Myanmar—menyumbang lebih banyak lagi pengungsi. Pada 2018, tercatat ada 70,72 juta pengungsi. Lalu berturut-turut sejak 2019 hingga 2021, jumlah pengungsi terus bertambah, yaitu 79,46 juta orang pada 2019, lalu naik menjadi 82,38 juta orang tahun 2020, dan bertambah lagi menjadi 89,32 juta orang pada 2021.
Saat ini dari 89,3 juta pengungsi, 53,2 juta orang di antaranya pengungsi di dalam wilayah negara mereka sendiri, lalu 27,1 juta pengungsi lintas negara, dan sisanya 4,6 juta pengungsi adalah pencari suaka. Hampir separuh atau sekitar 41 persen dari total pengungsi dunia itu adalah anak-anak. Diprakirakan, jumlahnya mencapai 36,5 juta orang. Antara tahun 2018 dan 2021, setiap tahun ada 350.000-400.000 bayi lahir di pengungsian. Fakta tersebut semakin menunjukkan bahwa tidak seorang manusia pun bisa memilih, ia lahir dari rahim perempuan Dane, Jawa, Hazara, Burma, atau Rohingya.
Di sisi lain, fakta tersebut juga menunjukkan betapa rentannya manusia. Para pengungsi tersebut adalah korban persekusi, perang dan konflik, serta korban pelanggaran hak asasi manusia. Marava, Girukshy, dan Sakshy adalah korban kekerasan etnis dan ideologi di Afghanistan. Di belahan lain bumi, ratusan ribu pengungsi Rohingya terusir dari Myanmar, negeri yang tidak pernah mengakui keberadaan mereka. Lalu ada pula jutaan pengungsi Ukraina yang menyelamatkan diri dari perang.
Korban kekuasaan
Bagaikan pepatah, gajah bertarung pelanduk mati di tengah-tengah. Para pengungsi itulah pelanduk-pelanduknya. Perebutan pengaruh, hegemoni, dan kekuasaan membuat para pemimpin pada ujungnya mengambil keputusan yang merugikan rakyat.
Memang ada alasan pembenar untuk berperang. Namun ketika perang dipilih, rakyatlah yang pertama-tama menjadi korban. Hasrat berkuasa pun demikian, junta militer Myanmar yang tidak percaya pada hukum, tidak percaya pada sistem yang lebih egaliter, lantas mengambil alih kekuasaan. Teror pun kembali membayangi Myanmar.
Setali tiga uang ketika para adidaya dunia China, Amerika Serikat, dan Rusia saling berebut pengaruh, situasinya juga tidak menggembirakan. Coba Anda bayangkan jika mereka tidak mampu menahan diri, lalu pecah perang terbuka, tak terbayangkan bagaimana nasib dunia. Meskipun ada begitu banyak perjanjian yang membatasi, bahkan komitmen untuk tidak memicu pertama kali tombol rudal nuklir, entah tak satu pun dapat menjaminnya.
Tanggung jawab manusia pada kelestarian dunia semakin besar.