Di Indonesia masih ada 13.343 pengungsi dari 20 negara yang kurang 60 persennya bisa difasilitasi organisasi migrasi internasional. Meski hanya jadi transit, Indonesia punya tanggung jawab menyelesaikan masalah ini.
Oleh
TEUKU KEMAL FASYA
·5 menit baca
HERYUNANTO
-
Rosid Hossain (55) adalah pengungsi terakhir yang menghuni kamp penampungan eks balai latihan kerja di Gampong Meunasah Blang Mee, Lhokseumawe, pada Agustus 2021. Ia mengungsi ke Indonesia bersama istri, Rosyida (47), dan kedua anaknya, Nobi Hossain (20) dan Tosmin Ara (21).
Mereka menetap di kamp penampungan selama satu tahun enam bulan. Sebelum memasuki wilayah Indonesia, Rosid dan keluarga menjadi penghuni Kamp Cox’s Bazar, Bangladesh, selama tiga tahun di sana.
Tidak seperti para pengungsi yang kemudian dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Medan, Rosid ingin bergabung dengan dua anaknya yang telah berada di Makassar. Alasannya, kehidupan di Makassar lebih baik dibandingkan dengan di Aceh atau Medan. Ketika penulis menggenggamkan sedikit uang kepadanya, air matanya langsung tumpah, seolah tak pernah ada bantuan selain dari lembaga penanganan pengungsi.
Elegi pengungsi
Kasus Rosid tidak lagi lumer sebagai kisah etnografis duka pengungsi Rohingya, tetapi telah tergulung ke dalam dokumen statistik. Indonesia menjadi tujuan transit etnis yang dituduh berasal dari Bangladesh itu.
Etnis Rohingya menjadi satu-satunya pengungsi global yang terdampar di Aceh sejak 2009. Telah ada 17 gelombang yang tiba di Aceh, terakhir pada 6 Maret 2022 di Bireuen sebanyak 114 orang. Sejak 2011 ada 1.802 orang yang mendarat di Aceh (Kompas.id, 6 Maret 2022).
Kisah pendaratan mereka pun kerap berubah dari histeria menjadi disturbia. Awalnya para pengungsi disambut dengan penuh haru oleh masyarakat setempat. Ada situasi ketika pihak TNI-Polri hendak menghalau pengungsi untuk kembali ke laut lepas, para nelayan pasang badan dengan menarik kapal pengungsi yang bocor dan rusak ke darat. Alasannya klasik, membantu sesama Muslim yang dizalimi di negeri lain.
Namun, seperti judul film yang dibintangi Harrison Ford, What Lies Beneath (2000), ada dusta kerap bersembunyi di balik ketulusan, yaitu kasus perdagangan orang (human trafficking). Seperti pada kasus penyelundupan 99 pengungsi Rohingya pada 25 Juni 2020, Pengadilan Negeri Lhoksukon menghukum empat orang, termasuk FA, yang bekerja sebagai nelayan.
Kasus FA hanya gunung es tentang penyelundupan manusia yang menurut PBB dianggap the most persecuted minority in the world. Belum lagi kasus pendaratan terakhir di Bireuen, pengungsi Rohingya sempat diusir warga karena menambah beban dan kerap melarikan diri.
Para nelayan pasang badan dengan menarik kapal pengungsi yang bocor dan rusak ke darat. Alasannya klasik, membantu sesama Muslim yang dizalimi di negeri lain.
Tentang kasus Rohingya kerap melarikan diri dari Aceh bukan cerita baru. Itu karena Indonesia hanya transit untuk memuluskan laluan utama ke Malaysia dan Australia. Bahkan, ada pengungsi yang tidak langsung dari Rakhine (Myanmar) atau Cox’s Bazar (Bangladesh), tetapi telah tinggal di Malaysia. Hanya karena tertangkap bekerja ilegal, mereka diusir dan mendarat ke Indonesia untuk kembali cari peluang masuk ke Malaysia.
Hasil wawancara penulis dengan penghuni salah satu community house rudenim di Medan pada 2021, mereka mengeluarkan uang 1.500-5.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 5 juta-Rp 17 juta per orang untuk bisa keluar dari tempat pengungsian terbesar di dunia itu. Uang mereka dapatkan dari penjualan aset di kampung halaman dan ”utang” dengan kerabat yang telah tinggal di Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Timur Tengah.
Dilema Indonesia
Indonesia memilih jalan ”bijaksana” dengan belum meratifikasi Konvensi PBB 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi Internasional dan Pencari Suaka, apalagi di era resesi ekonomi seperti saat ini. Namun, itu bukan berarti menolak mengambil tanggung jawab kemanusiaan dan bersikap etis atas masalah warga tak berwarga negara itu (stateless citizens).
Sejak 19 Mei 1975 Indonesia menerima ”manusia perahu” Vietnam di kota Tarempa, Kepulauan Riau. Setelah itu, bagai air bah, para pengungsi Indochina itu masuk ke Batam, Natuna, dan Kuku setiap hari (Missbach, 2015). Hingga kini, berdasar data Ditjen Imigrasi, masih ada 13.343 pengungsi dari 20 negara yang kurang 60 persennya bisa difasilitasi organisasi migrasi internasional, IOM.
Seperti falsafah pada pembukaan UUD 1945, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk mengupayakan perdamaian dunia.
Apa yang menyebabkan Indonesia tidak bisa menolak para pengungsi untuk masuk? Seperti falsafah pada pembukaan UUD 1945, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk mengupayakan perdamaian dunia.
Khusus kasus di negara ASEAN, Indonesia terikat konsensus non-intervensi terkait konflik Rohingya, tetapi tetap harus proaktif menangani masalah tsunami pengungsi. Apalagi ”hanya” menangani sekitar 13.000 pengungsi global, Indonesia kurang dramatis dibandingkan dengan Malaysia (163.600) dan Thailand (97.439) yang berkali lipat menampung manusia tanpa teritori itu (Riyanto, 16 Juni 2022).
Meskipun tidak menandatangani Konvensi PBB 1951 dan Protokol 1967, Indonesia tetap memberlakukan prinsip non-refoulement dengan tidak pernah mengusir pengungsi kemanusiaan dan rentan dipersekusi di negara asal.
Pada masa pemerintahan Jokowi, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 dalam penanganan pengungsi. Regulasi ini nama lain dari bentuk penghargaan terhadap konvensi PBB serta kepedulian Indonesia terhadap nilai-nilai kemanusiaan pengungsi. Perpres tersebut memberikan 43 pedoman bagi setiap daerah yang menampung pengungsi untuk sementara, seperti yang terjadi di Aceh.
Namun, di lapangan, implementasi perpres tersebut tidak sepenuhnya lancar. Ada beberapa hambatan akibat belum dipahaminya regulasi tersebut di tingkat daerah atau tidak tersedia anggaran serta fasilitas untuk menangani pengungsi sesuai ketentuan perpres. Jadi, perpres itu baru bertindak sebagai respons darurat, belum menjadi solusi komprehensif untuk mereka yang terhina dan terusir dari negaranya itu.
Pada momentum Hari Pengungsi Sedunia (World Refugee Day) yang jatuh pada 20 Juni, kita harus semakin bersiteguh untuk menyelesaikan masalah pengungsi, terutama Rohingya, sebagai komitmen menyalakan kemanusiaan tanpa meremehkan benteng perlindungan bangsa dari racun non-nasionalisme.
Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Universitas Malikussaleh; Tahun 2021 Menjadi Ketua Tim Riset Dampak Sosial-Ekonomi Pengungsi Rohingya di Aceh dari Pusat Strategi Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri