Trump yang Kontroversial, Trump yang Mungkin Akan Kembali
Lengser dari kekuasaan setelah kalah dalam pemilu dan peristiwa yang memalukan, penyerbuan Gedung Capitol, tak membuat Donald Trump menjadi paria dalam politik Amerika Serikat. Kini, dia bangkit kembali.
Beberapa pekan terakhir, Donald Trump kembali disebut-sebut sebagai “salah satu aktor utama” penyerbuan Gedung Capitol, 6 Januari 2021. Peristiwa itu terjadi saat anggota Kongres Amerika Serikat tengah mengumumkan hasil pemilihan presiden November 2020.
Sejumlah pegawai dan pejabat Gedung Putih yang bekerja dengan Trump semasa dia menjabat, dalam keterangannya di depan komite penyelidik, menyatakan, meski memiliki kekuasaan – tidak hanya sebagai seorang presiden tapi juga sebagai tokoh Partai Republik – untuk menghentikan amuk massa, Trump enggan menggunakannya. Tindakan ini oleh petinggi dan pendukung Partai Demokrat dianggap sebagai pembiaran yang patut dikenai sanksi atau hukuman.
Belum selesai dengan persoalan itu, sebuah kejutan disampaikan sendiri oleh Trump, yang menyebut bahwa agen-agen Biro Penyelidik Federal, menggeledah rumah peristirahatannya di Mar-a-Lago, Palm Beach, Florida, Senin (8/8/2022). Mereka mencari dokumen nuklir AS. Ini merupakan bagian dari penyelidikan kasus dugaan Trump dan para pembantunya memindahkan dokumen rahasia negara dari Gedung Putih secara ilegal.
Baca juga : Trump Diperiksa di New York, Rumahnya di Florida Digeledah FBI, Suhu Politik AS Memanas
Hampir bersamaan, Trump juga tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung New York terkait dugaan tindakan ilegal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan miliknya. Trump diduga sengaja melipatgandakan nilai aset kerajaan real estatenya agar bisa memperoleh pinjaman yang diinginkan. Pada saat yang bersamaan, ia melaporkan penurunan nilai asetnya agar mendapatkan keringanan pajak. (Kompas.id, 11 Agustus 2022)
Banyak pihak, termasuk media arus utama, memerkirakan bahwa karir politik Trump akan pudar setelah kekalahannya dalam pemilu November 2020. Apalagi, kasus hukum yang menjeratnya seabreg, mulai dari penyerbuan Gedung Capitol hingga yang terakhir adalah dugaan kepemilikan tidak sah atas dokumen berisi rahasia negara.
Akan tetapi, di luar dugaan, yang terjadi adalah sebaliknya. Trump semakin menguat dalam peta politik AS. Peristiwa politik hukum yang terkait dengan namanya, tidak terlalu berpengaruh pada “leverage” atau pengaruhnya dalam peta politik Negeri Paman Sam itu, terutama di kalangan tokoh politik Partai Republik dan pendukung partai konservatif ini.
Kemenangan sederetan tokoh politik dari Partai Republik yang mendapatkan dukungan Trump pada pemilihan pendahuluan menjadi buktinya. Mengutip data PBS.org, dari sekitar 180 orang yang didukungnya, hanya kurang dari 20 orang yang gagal dalam pemilihan pendahuluan.
Salah satu yang mengagetkan adalah tumbangnya politisi Partai Republik, Liz Cheney, pada pemilihan di Negara Bagian Wyoming, Selasa (16/8/2022). Putri mantan Wakil Presiden AS Dick Cheney itu kalah dari Harriet Hageman, calon yang didukung oleh Trump. Kekalahan itu membuat Cheney gagal melaju ke arena pertarungan pemilu sela, November mendatang. Ia sekaligus bakal kehilangan jabatan sebagai anggota DPR dari Partai Republik.
Cheney adalah penentang keras Trump. Dia adalah satu dari 10 orang Senator asal Partai Republik yang mendukung usulan dan langkah Partai Demokrat untuk memakzulkan Trump.
Baca juga : Tumbangnya Penjaga Konservatisme Partai Republik, Alarm Kebangkitan Trump
Akan tetapi, dari 10 orang itu, delapan orang dipastikan tidak akan bisa duduk di kursi DPR AS kembali, termasuk Cheney. Satu per satu musuh politik Trump di internal partai, tersingkir. Adapun dua orang yang tersisa adalah Senator Dan Newhouse dan David Valadao. Mereka masih bisa bertarung pada pemilu sela nanti.
Mitt Romney dan Josh Hawley, dua orang senator Republikan yang sering memiliki pandangan berbeda dengan partainya menyepakati satu hal soal Trump saat ini, yakni bahwa Donald Trump adalah kingmaker dari Partai Republik. Hawley, dikutip dari laman Politico, mengatakan bahwa dia (Trump) dalah pemimpin partai. “Itu jelas. Jika dia memutuskan untuk mencalonkan diri (sebagai presiden AS pada pemilu 2024), dia akan menjadi kandidat kuat,” katanya.
Romney, yang dua kali berupaya memakzulkan Trump, mengatakan, siapapun yang melihat bahwa pengaruh Trump telah pudar, tidak melihat dengan kacamata yang jelas. “Sulit membayangkan apa pun yang akan menggagalkan dukungannya. Jadi jika dia ingin dinominasikan pada 2024, saya pikir dia sangat mungkin untuk mencapainya,” kata Romney.
Usaha sebagian kalangan Republikan untuk menggembosi pengaruh Trump di internal partai terus berjalan. Proyek Akuntabilitas Republik atau Republican Accountability Project (RAP), sebuah organisasi yang berangotakan politisi Partai Republik dan para pendukung partai, meluncurkan kampanye anti-Trump dengan anggaran jutaan dollar AS. Salah satu isu yang santer dicuatkan adalah penyerbuan Gedung Capitol pada 6 Januari 2021.
Kampanye itu antara lain dilancarkan melalui iklan televisi dan digital berisi rekaman pendukung Trump memukuli aparat keamanan saat menyerbu Gedung Capitol. Salah satu tokoh terkemuka yang tampil dalam kampanye itu tidak lain adalah Cheney.
Baca juga : Pemakzulan Trump Didukung Lima Anggota DPR dari Republik
“Sebagai orang Amerika, kita semua memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang terjadi pada 6 Januari tidak pernah terjadi lagi,” kata Cheney dalam salah satu iklan, dikutip dari laman Politico. Iklan ini akan muncul selama beberapa pekan ke depan di basis utama pendukung Partai Repubik, seperti Arizona, Georgia, Michigan, Nevada, North Carolina, Pennsylvania, hingga Wisconsin.
“Kami benar-benar berusaha untuk membuat temuan 6 Januari tetap dengan pemilih tetap,” kata Sarah Longwell, Direktur Eksekutif RAP. Pendukung utama kelompok ini, selain Cheney, adalah Bill Kristol, inisiator gerakan “Never Trump”.
Sosiolog UC Berkeley Arlie Russel Hoschchild (Derek Thompson, The Atlantic, 2020) mengatakan, menguatnya posisi Trump di kalangan Republikan dan pendukungnya harus diakui di luar logika. “Jika ada satu hal yang menurut saya pers arus utama masih salah tentang Trump adalah bahwa mereka nyaman berbicara tentang ekonomi dan kepribadian. Akan tetapi, mereka tidak mengutamakan perasaan (pendukung Trump),” kata Hochschild.
Hoschild menggambarkannya perasaan keterikatan pendukung Trump dengan Trump seperti ini. "Anda adalah pria dewasa, berkulit putih tanpa gelar sarjana, berdiri di tengah antrean jutaan rakyat AS, mengantre menuju ke sebuah tempat yang nyaman dan indah di atas bukit, The American Dream. Akan tetapi, Anda melihat di belakang Anda barisan warga AS kulit berwarna dalam kondisi yang menyedihkan dan bersiap-siap menyerobot posisi Anda di antrean".
Baca juga : Pemakzulan Trump dan Ancaman Ultra-kanan Amerika
“Pada prinsipnya Anda berharap mereka baik-baik saja. Tapi, Anda terjebak dalam antrean karena ekonomi tidak berfungsi. Dan lebih buruk daripada terjebak, Anda distigmatisasi oleh media liberal bahwa pandangan Anda sebagai orang tradisional adalah rasis dan seksis. Ditambah lagi, orang-orang kulit berwarna menyerobot posisi Anda di dalam antrean,” kata Hoschild.
Hoschild menilai, dalam berbagai kesempatan, Trump berhasil meyakinkan para pendukungnya bahwa dirinya juga merasakan hal yang sama. Trump berhasil memerankan dirinya sebagai orang yang menderita karena kritikan-kritikan dari partai oposisi.
"Saya menderita untuk Anda. Penderitaan mengkonsolidasikan dan memperkuat keyakinan. Ini menempatkan sebuah isme pada kata Trump dan mengarahkannya menjadi seperti gerakan keagamaan,” kata Hoschild.
Konsultan politik Partai Republik, Liam Donovan, mengamini studi Horschild. “Salah satu hal yang paling mengesankan yang telah dilakukan Trump sejak awal dan bermanfaat secara politis adalah membuat para penggemarnya menginternalisasi dukungan mereka. Bahkan, teguran ringan terhadap Trump dianggap sebagai serangan pribadi terhadap mereka (para pendukung Partai Republik, warga AS yang konservatif). Trump juga tidak malu-malu menyatakan dukungannya terhadap politik kebencian,” kata Donovan, dikutip dari The Atlantic.
Faktor perasaan dan internalisasi dukungan tersebut tercermin dari sejumlah dukungan simpatisan Trump yang militan. Sejumlah simpatisan misalnya dikabarkan memiliki nyali lebih seperti mengancam Bruce Reinhart, hakim yang mengeluarkan surat izin penggeledahan Mar-a-lago, rumah peristirahatan Trump.
Seorang pendukung Trump tewas setelah mendatangani kantor kehakiman di Cincinnati dan mengancam para agen. Di Washington, seorang pendukung Trump nekat menerobos barikade polisi di Gedung Capitol dan sempat baku tembak dengan aparat, sebelum akhirnya tewas bunuh diri.
Satu lagi pendukung Trump ditangkap setelah mengunggah ancaman terhadap agen federal. Ia mendorong perlawanan sipil terhadap pemerintah federal.
Menguatnya Trump dibaca sebagai tanda bahaya bagi Partai Demokrat dan Presiden Joe Biden. Pemilu sela atau paruh waktu pada 2022 sangat penting bagi Biden dan Partai Demokrat, terutama untuk memuluskan agenda kebijakan maupun tugas kepresidenan tanpa gangguan dari partai oposisi, Partai Republik. Kebijakan yang dijanjikannya saat kampanye membutuhkan suara mayoritas di DPR agar bisa menjadi kenyataan bagi para pendukugnnya, dan juga seluruh rakyat AS.
Tanpa posisi mayoritas, baik di DPR maupun Senat, sulit bagi Biden dan juga Partai Demokrat untuk mewujudkan janji-janjinya. Bahkan, dikutip dari laman The New York Times, Partai Republik telah bertekad untuk menggunakan kekuasaannya untuk melakukan penyelidikan terhadap Hunter Biden (putra tertua Biden), persoalan penanganan para migran dan pencari suaka, sampai keputusan untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan. Persoalan melonjaknya harga minyak, serta inflasi yang mencapai 9,1 persen dan bisa berujung pada resesi pun, bisa menjadi makanan empuk bagi Partai Republik saat ini.
Baca juga : AS Mau Trump Mundur
“Hari ini, setiap Republikan di setiap negara bagian di negara ini harus berbicara tentang betapa buruknya Joe Biden, seberapa buruk inflasi, betapa sulitnya menjalankan bisnis dan menjalankan rumah tangga,” kata Geoff Duncan, Letnan Gubernur Negara Bagian Georgia.
Tingkat persetujuan publik terhadap pemerintahan Biden masih di bawah 50 persen alias lemah. Hasil jajak pendapat Reuters dan Ipsos yang diumumkan Selasa pekan lalu, menunjukkan persetujuan publik terhadap Biden hanya 40 persen, naik dari 37 persen pada Mei.
Semua itu membuat Trump diyakini akan maju kembali sebagai kandidat calon presiden dari Partai Republik pada 2024. ”Akan sangat sulit bagi orang lain untuk mengambil posisinya sebagai kandidat utama calon presiden pada 2024. Dia akan maju kembali. Itu adalah sebuah hal yang pasti,” kata Stephen Moore, mantan penasihat ekonomi Trump, dikutip dari laman PBS.org. (AP/REUTERS)