Lawatan khusus Paus Fransiskus ke Kanada diharapkan berkontribusi pada proses penyembuhan luka batin dan rekonsiliasi dengan masyarakat adat negara itu.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·4 menit baca
Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus, Sabtu (30/7/2022), mengonfirmasi ”kejahatan” yang dilakukan orang-orang Katolik ketika menjalankan sekolah-sekolah berbasis asrama di Kanada pada masa lalu. Dia bahkan menyebutkan, terjadi genosida terhadap anak-anak pribumi di sekolah-sekolah itu tahun 1800-an hingga 1990-an.
Konfirmasi Paus Fransiskus itu disampaikan ketika menjawab wartawan di dalam pesawat yang membawanya dari Iqaluit, ibu kota Nunavut, teritori Kanada di Arktik, pulang ke Roma, Italia, setelah enam hari di Kanada. Di sana, Paus meminta maaf dan pengampunan dari para penyintas dan anggota masyarakat adat First Nations, Métis, dan Inuit.
Lawatan Paus itu didorong oleh penemuan 215 kuburan di bekas sekolah Katolik berbasis asrama, Kamloops Indian Residential School, di Kamloops, British Columbia, Kanada, Juni 2021. Fakta serupa kemudian juga ditemukan di banyak lokasi bekas sekolah Katolik lainnya di Kanada. Gereja Katolik dikecam dan hubungannya dengan warga asli Kanada terluka.
Perjalanan Paus ke Kanada sebenarnya terjadi pada saat kesehatannya sedang tidak mendukung setelah dokter memvonis dia menderita radang ligamen pada lutut kanannya, April 2022. Publik baru mengetahui setelah dia muncul dengan duduk di kursi roda pada pertemuan dengan rombongan peziarah Katolik dari Slowakia pada 30 April di Vatikan.
Atas alasan kesehatan itu Paus membatalkan perjalanannya ke Kongo dan Sudan Selatan, Afrika, yang sedianya dilakukan awal Juli 2022. Namun, dalam kondisi kesehatan yang rentan di usia 85 tahun, Paus lebih terdorong melawan rasa sakit untuk pergi ke Kanada. Dia memprioritaskan pemulihan hubungan yang terluka akibat ”kejahatan” besar Gereja Katolik di masa lalu.
Setelah mendengar dari penyintas dan masyarakat asli Kanada, Paus mengetahui lebih dari 150.000 anak pribumi dipisahkan dari keluarganya. Mereka ditempatkan di 139 sekolah berasrama. Selain dibawa ke sekolah-sekolah Katolik, anak-anak juga dimasukkan ke sekolah negeri berasrama yang dijalankan di bawah kebijakan asimilasi yang diterapkan pemerintah.
Ribuan anak dilaporkan meninggal karena penyakit, kekurangan gizi, atau penelantaran. Banyak anak pribumi dilecehkan secara fisik dan seksual. Sekolah berasrama dimaksudkan untuk mengisolasi kaum muda pribumi Kanada dari pengaruh adat dan budaya asli mereka. Adat dan kebudayaan pada masanya dianggap lebih rendah oleh para pendatang.
Siswa-siswi dipukuli karena mereka berbicara dalam bahasa ibu, bukannya bahasa Inggris atau Perancis, dua bahasa resmi Kanada hingga kini. Pemerintah Kanada telah mengakui adanya pelecehan fisik dan seksual di sekolah-sekolah itu. Situasi itu oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Kanada disebut sebagai genosida budaya.
Di Iqaluit, Paus meminta maaf dan pengampunan di depan sekitar 2.000 warga pribumi Inuit. ”Saya sangat menyesal dan meminta pengampunan atas kejahatan yang dilakukan oleh tidak sedikit orang Katolik yang berkontribusi pada kebijakan asimilasi budaya di sekolah-sekolah itu,” katanya. Hal serupa juga sudah lebih awal disampaikan Paus saat dia bertemu komunitas pribumi Métis dan First Nations.
Paus mengakui tidak terlintas sedikit pun dalam pikirannya terjadi kejahatan terhadap anak-anak pribumi Kanada. ”Saya memang menggambarkan genosida. Saya memohon pengampunan untuk proses itu, yang merupakan genosida,” katanya dalam wawancara dengan wartawan di dalam penerbangan pulang.
Pemimpin 1,3 miliar penganut Katolik Roma di dunia itu menggunakan kata ”genosida” untuk menggambarkan perlakuan terhadap anak-anak pribumi yang direnggut dari keluarga dan budaya mereka untuk bersekolah di sekolah negeri dan Katolik. ”Mengambil anak-anak, mengubah budaya, mengubah mentalitas, mengubah tradisi, mengubah ras, katakanlah seperti itu, mengubah seluruh budaya,” katanya.
Lawatan khusus Paus ke Kanada diharapkan berkontribusi pada proses penyembuhan luka batin dan rekonsiliasi dengan masyarakat adat negara itu. Paus memberi pesan kuat tentang penghormatan terhadap kemanusiaan universal, pemulihan hubungan antarmanusia, dan pemuliaan hidup manusia sesama ciptaan Tuhan tanpa pandang bulu.
Meskipun permintaan maaf Paus Fransiskus disambut sebagian besar masyarakat Kanada, banyak penyintas mengatakan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk rekonsiliasi. Beberapa orang meminta Paus membatalkan Doctrine of Discovery, sebuah konsep hukum publik internasional yang diumumkan Gereja Katolik pada abad ke-15 untuk melegitimasi kolonisasi oleh negara-negara kuat Eropa.
”Doktrin penjajahan ini buruk, tidak adil,” kata penduduk Iqaluit, Evie Kunuk (47). ”Selalu ada bahaya, mentalitas ’kita superior dan penduduk asli tidak penting’. Itu (masalah) serius.” Menurut dia, perlu untuk ”kembali dan membersihkan semua yang salah. Namun, disadari, hari ini masih ada kolonialisme serupa,” katanya, merujuk kasus Rohingya di Myanmar.