Peran Warga RI di Balik Upaya Perusahaan Jepang Racik Produk Pangan Halal
Perusahaan Jepang, Kamada Soy Sauce Inc, berupaya mendapat sertifikat halal untuk produk pangannya. Seorang WNI lulusan Kagawa University berperan besar dalam upaya itu. Targetnya, sertifikasi halal diperoleh pada 2023.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
TOKYO, KAMIS — Jepang semakin gencar mengejar status halal untuk produk pangan. Perkembangan jumlah pasar menjadi alasan utama pebisnis Jepang mengejar status halal untuk produk mereka. Ada keterlibatan warga Indonesia dalam upaya itu.
Upaya tersebut, antara lain, dilakukan Kamada Soy Sauce Inc. Seperti dilaporkan kantor berita Kyodo pada Kamis (28/7/2022), perusahaan asal Kagawa itu berusaha membuat versi halal untuk salah satu makanan populer Jepang, Udon.
Warga Indonesia, Arum Tiyas Suminar, berada di balik upaya perusahaan tersebut. Arum lulus kuliah di Kagawa University dan menjadi karyawan Kamada. Ia meneliti Sanuki Udon di sejumlah kedai.
Setiap kali akan makan, ia harus bertanya, apakah Sanuki Udon yang disajikan mengandung mirin? Mirin merupakan salah satu bumbu dasar udon, yakni sejenis kecap manis yang dicampur dengan anggur. Setiap kali ada mirin, Arum terpaksa batal mengonsumsi udon. Sebab, mirin mengandung alkohol dan otomatis menjadi haram dikonsumsi menurut Islam.
Saat diterima kerja di Kamada selepas lulus pada 2019, Arum mulai meyakinkan rekan kerjanya tentang perlunya membuat mirin halal. Upaya itu menghasilkan tantangan balik: manajemen memintanya membuat mirin halal tanpa mengubah rasanya.
Tantangan itu tidak mudah sebab alkohol menjadi bagian tidak terpisahkan dari mirin. Kamada Soy Sauce Inc sudah memakai resep yang sama sejak perusahaan itu berdiri pada 1789. Jika alkohol dibuang, ada peluang rasa mirin buatan Kamada berubah.
Tantangannya semakin kompleks karena Arum diminta pula membuang unsur-unsur lain yang dianggap tidak halal dalam resep mirin. Unsur itu termasuk produk yang mungkin dihasilkan dari hewan-hewan yang haram dimakan oleh Muslim.
Atasan Arum, Toshinobu Naito, menyebut, perempuan asal Indonesia itu amat gigih memperjuangkan mimpinya. ”Hal terbaik adalah saat seseorang tidak menyerah kala mencoba mewujudkan mimpinya,” kata Naito.
Mirin buatan Arum mulai dipasarkan bertahap pada 2020. Kamada memasarkannya dengan promosi ”bumbu udon halal”.
Sertifikat halal
Kini, Kamada sedang berusaha mendapatkan sertifikat halal untuk mirin itu. Sertifikat ditargetkan diperoleh pada 2023. ”Mudah-mudahan bisa didapatkan sehingga konsumen Muslim tidak ragu mengonsumsinya,” kata Arum.
Jika sertifikat didapat, salah lokasi tujuan pemasarannya jelas adalah Indonesia. Dengan lebih dari 200 juta Muslim, Indonesia adalah pasar produk halal terbesar di dunia. Pasar ini begitu gurih dan membuat produsen tua, seperti Kamada, rela memodifikasi resep berusia ratusan tahun.
Tidak hanya Indonesia, Kamada juga membidik negara-negara lain berpenduduk mayoritas Muslim. ”Jika kami bisa mendapat pengesahannya, kami bisa memasarkan produk ini ke negara berpenduduk mayoritas Muslim,” kata Naito.
DinarStandard, perusahaan riset pasar yang berbasis di Dubai dan New York, bersama kantor berita Reuters mencatat, nilai pasar halal global mencapai 2,1 triliun dollar AS pada 2017. Pada 2023, nilainya diprakirakan melonjak menjadi 3 triliun dollar AS.
Jika ditambahkan dengan sektor keuangan syariah, nilainya diprakirakan 6,8 triliun dollar AS atau sekitar Rp 95.200 triliun (dengan kurs Rp 14.000 per 1 dollar AS). Nilai pasar halal yang terdiri dari sektor keuangan, makanan, perjalanan, hiburan, busana, serta obat-obatan dan kosmetik itu setara 35 kali APBN Indonesia tahun 2019 yang bernilai Rp 2.400 triliun.
Lembaga kajian demografi AS, Pew Research Center, memprediksi jumlah penduduk kelas menengah Muslim mencapai 900 juta jiwa pada 2030. Seperti di banyak tempat, kelas menengah adalah orang-orang yang siap berbelanja sekaligus penuntut. Hal ini tak terlepas dari fenomena terus meningkatnya kesejahteraan sebagian negara-negara berpopulasi mayoritas Muslim.
Kombinasi peningkatan kesejahteraan, populasi usia muda yang cenderung menjadi konsumen antusias. Jumlah populasi total yang diprediksi mendekati 3 miliar jiwa dalam 41 tahun ke depan menjadi pembentuk pasar dan tren yang tak bisa diabaikan. Produsen di banyak negara mengikuti keinginan mereka.
SGS, perusahaan riset pasar, menyebutkan, standar halal tidak hanya akan laku ke konsumen Muslim. Peningkatan kesadaran para Muslim muda membuat standar halal tidak hanya soal produk yang tidak mengandung alkohol dan unsur dari babi semata.
Konsumen Muslim juga menuntut rantai proses produksinya tidak menggunakan hasil modifikasi genetika (GMO) dari hewan terlarang. Mereka juga menolak produk yang menggunakan hewan-hewan dalam daftar terancam punah. Hal itu sebagai bentuk penerapan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin), salah satu nilai dasar Islam. (AFP)