Peredaman inflasi kini menjadi tugas utama bank sentral AS atau The Fed. Kegagalan meredam inflasi, menurut Gubernur The Fed Jerome Powell, akan menjadi kesalahan lebih besar.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·3 menit baca
SINGAPURA, SENIN — Hingga beberapa bulan ke depan, pasar uang dan pasar modal global akan tetap dihantui perkembangan suku bunga inti di Amerika Serikat. Meski sesekali terjadi kenaikan indeks saham global, hal itu hanya merupakan reaksi musiman yang berlangsung sementara.
Setelah sempat meningkat berhari-hari pekan lalu, indeks saham di Asia kembali berjatuhan. Pola serupa terjadi di AS dan Eropa. Pada perdagangan Senin (25/7/2022), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Jakarta turun 0,41 persen atau 28,55 poin ke 6.858,41. Indeks Nikkei anjlok 0,9 persen menjadi 27.676,97 poin, indeks Kospi (Seoul) anjlok 0,6 persen menjadi 2.406.98 poin. Indeks Hang Seng (Hong Kong) dan Shanghai juga mengalami penurunan.
Pekan lalu, Steve Sosnick, analis dari Interactive Brokers, mengatakan, ”Jangan tertipu dengan kenaikan temporer indeks.” Gejolak pasar masih akan jadi warna pasar beberapa waktu ke depan. Jika indeks saham naik, bukan serta-merta pertanda perbaikan fundamental ekonomi global.
Gambaran ke depan secara global cenderung suram, terutama di AS dan Eropa. Bahkan, diperkirakan resesi berpotensi terjadi. ”Penurunan besar indeks dimungkinkan,” kata Robert Kiyosaki, penulis buku Rich Dad Poor Dad. Kenaikan inflasi, kenaikan suku bunga, dan perlambatan pertumbuhan sektor perumahan di AS terus memberikan kegamangan di seantero pasar global.
Pasar AS menjadi inti persoalan dan hampir selalu menghantui bursa dunia. Situasi sedang pelik. Pada saat perekonomian global sedang anjlok, stimulus ekonomi dari pemerintah biasanya menjadi andalan untuk mencegah resesi. Namun, hal itu kini tidak dimungkinkan seiring dengan melejitnya angka inflasi secara global, khususnya di AS dan Eropa.
Inflasi merebak
Inflasi di AS pada Juni naik 9,1 persen dibandingkan dengan Juni 2021. ”Inflasi merebak dan meluas,” kata mantan Wakil Gubernur Bank Sentral AS Donald Kohn, kini pemikir senior di Brookings Institution, Minggu (24/7/2022).
Inflasi di zona euro pada Juni 8,6 persen dibandingkan dengan Juni 2021. Oleh sebab itu, Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde memutuskan kenaikan suku bunga inti ECB 0,5 persen. Tujuannya mencegah inflasi spiral yang bisa semakin mengacaukan pasar.
Hal yang terjadi sekarang adalah potensi kenaikan suku bunga untuk meredam inflasi, termasuk di AS. Gubernur Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell juga sudah mengatakan, peredaman inflasi kini menjadi tugas utama. ”Kegagalan meredam inflasi akan menjadi kesalahan lebih besar,” kata Powell pada 4 Juli.
Ini menandakan bank sentral AS akan menaikkan lagi suku bunga 0,75 persen setelah kenaikan serupa pada Juni lalu. Kenaikan lanjutan suku bunga inti oleh The Fed juga dipastikan berlanjut demi peredaman inflasi. Bahkan, suku bunga inti di AS diperkirakan bisa naik hingga 5 persen pada 2023, menurut Vincent Reinhart, ekonom dari Dreyfus and Mellon, Minggu.
Persoalan yang muncul akibat kenaikan suku bunga adalah efeknya pada pertumbuhan ekonomi yang bisa merembet ke seluruh dunia. Persoalan lain adalah efek kenaikan suku bunga yang turut menggoyang negara-negara berkembang. Penelitian yang dilakukan oleh National Bureu of Economic Research (NBER) AS pada 2014 menunjukan kenaikan suku bunga AS mendera bursa saham, kurs valuta asing, dan pasar obligasi negara berkembang. Efek yang terjadi akibat pelarian modal dari negara-negara berkembang itu, meski sementara, tetap menggoyang tiga pasar tersebut dan secara empiris mendera negara-negara berkembang.
Hal itu ironisnya terjadi di tengah kenaikan harga komoditas global dan gangguan produksi global, termasuk efek invasi Rusia ke Ukraina. Inilah isu yang masih akan terus menghantui pasar global ke depan. (AP/AFP/REUTERS)