Taliban Bawa Afghanistan Kembali Mundur, Takkan Ikuti Saran Asing
Taliban yang menguasai Afghanistan sejak 15 Agustus 2021 tampaknya membawa kembali negara itu ke masa lalu yang sulit, keras, dan eksklusif. Harapan rakyat untuk hidup damai setelah 20 tahun konflik menguap.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·4 menit baca
Hampir setahun setelah meraih kekuasaan sejak 15 Agustus 2021, pemerintahan Taliban Afghanistan hingga kini belum juga mendapat pengakuan internasional. Alih-alih membentuk pemerintahan yang inklusif, terbuka, dan stabil dibandingkan dengan pemerintahan Taliban jilid I (1996-2001), kelompok itu justru semakin eksklusif dan menghadapi berbagai tantangan keamanan yang tidak mudah. Taliban seperti ”menggiring” Afghanistan kembali ke masa lalu yang sulit dan keras.
Kekerasan demi kekerasan muncul kembali. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti masalah keamanan yang tak kunjung stabil setelah menerima laporan bahwa ratusan orang tewas sejak Taliban kembali berkuasa. Misi PBB juga menyoroti situasi buruk perempuan dan anak perempuan serta bagaimana hak-hak asasi mereka diabaikan Taliban.
Menurut Markus Potzel, Wakil Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Afghanistan, harapan warga Afghanistan untuk hidup damai dan membangun kehidupan baru setelah 20 tahun konflik telah menguap. ”Meski situasi keamanan relatif membaik sejak 15 Agustus, orang-orang Afghanistan, khususnya perempuan dan anak perempuan, tidak dapat sepenuhnya menikmati hak-hak dasar mereka,” katanya.
Dilaporkan, sedikitnya 700 orang tewas dan 1.400 orang terluka sejak pertengahan Agustus 2021, seusai Taliban merebut Kabul. Saat itu, Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sedang bersiap mengakhiri penarikan penuh pasukannya dari perang panjang Afghanistan.
Para korban umumnya akibat serangan sayap Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang disebut NIIS-Khorasan (NIIS-K). Kelompok saingan utama Taliban ini sering menargetkan masyarakat etnis dan agama minoritas yang sedang pergi ke sekolah, pasar, beribadah, dan menjalani rutinitas harian lainnya.
Pengeboman dan penembakan terjadi terus-menerus dan serangan mematikan lainnya sering menyasar warga sipil. Minoritas etnis Hazara yang sebagian besar menganut Syiah dan minoritas agama lainnya menjadi sasaran empuk serangan sektarian di luar kelompok Taliban. Sebagian besar serangan diklaim NIIS-K.
Selain itu, Taliban juga telah memperjelas posisi mereka tentang hak atas kebebasan berkumpul secara damai, kebebasan berekspresi, dan berpendapat. Mereka mengekang perbedaan pendapat dengan menindak protes dan membatasi kebebasan media. Mereka menangkap jurnalis, pengunjuk rasa, dan aktivis masyarakat sipil.
Hingga sejauh ini terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap 173 jurnalis dan pekerja media. Enam jurnalis terbunuh sejak Agustus 2021. Fiona Frazer, perwakilan HAM PBB di Kabul, mengatakan, hak atas kebebasan berkumpul, berekspresi, dan berpendapat secara damai diperlukan untuk perkembangan dan kemajuan suatu bangsa.
Misi PBB di Afghanistan (UNAMA) mengatakan, Taliban harus bertanggung jawab atas pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan hukuman tidak manusiawi, sejak mereka kembali berkuasa. ”UNAMA prihatin dengan impunitas anggota otoritas de facto yang melakukan pelanggaran HAM,” kata misi PBB yang menyebut ”otoritas de facto” untuk merujuk Taliban.
PBB juga mengatakan pengampunan (amnesti) terhadap mantan pejabat pemerintah yang diumumkan Taliban tahun lalu belum ditegakkan secara konsisten. Frazer mengatakan, PBB mencatat 160 pembunuhan di luar proses hukum dan 178 penangkapan terhadap mantan pejabat pemerintah dan militer oleh Taliban.
Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, menyebut laporan PBB tidak berdasar dan propaganda serta temuannya tidak benar. Ia mengatakan, penangkapan dan pembunuhan sewenang-wenang sangat dilarang. ”Siapa saja yang terbukti melanggar akan dianggap sebagai penjahat dan ditangani sesuai hukum syariah,” cuitnya di Twitter.
China, Pakistan, Uzbekistan, dan negara tetangga lainnya di Asia Tengah kini semakin khawatir akan kebangkitan jaringan teroris internasional yang berpusat di Afghanistan. Tashkent baru-baru ini melaporkan penembakan lima roket ke wilayah Uzbekistan dari Afghanistan. Tidak ada korban luka. Pada April lalu, NIIS-K mengklaim menembakkan roket ke Uzbekistan, tetapi Tashkent menepis klaim itu.
Komunitas internasional terus meminta Taliban untuk lebih terbuka, membentuk pemerintahan yang inklusif, dan lebih moderat. Namun, pemimpin tertinggi Taliban, Mawlawi Haibatullah Akhundzada, memperingatkan pihak asing untuk tidak mencampuri urusan Afghanistan. ”Afghanistan tidak dapat berkembang tanpa kemerdekaan,” kata kantor berita Akhtar, milik Taliban.
“Kita sekarang negara merdeka. (Orang asing) tidak boleh memberi perintah kepada kita. Itu sistem kita. Kita punya keputusan sendiri,” katanya sambil memuji pengambil alihan kekuasaan dari pemerintahan yang didukung Barat. Taliban takkan mengikuti berbagai saran pemerintahan asing yang menginginkan pemerintahan yang inklusif di Afghanistan. (AFP/REUTERS/AP)