Waspadai Bangkitnya Terorisme Internasional di Afghanistan
Rakyat Afghanistan butuh bantuan kemanusiaan. Namun Taliban yang masih tercatat sebagai kelompok teroris dicurigai bisa menyalahgunakan bantuan untuk mengembangkan terorisme internasional dari Afghanistan.
Delegasi Taliban, penguasa Afghanistan, telah kembali dari Oslo, Norwegia, pekan lalu untuk meminta dukungan Barat. Seperti halnya Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Kerja Sama Islam, dan lembaga amal internasional, Barat juga mendukung upaya kemanusiaan di Afghanistan.
Para pemimpin Barat menjanjikan bantuan miliaran dollar Amerika Serikat (AS) untuk mengatasi darurat kemanusiaan di Afghanistan. Washington siap memberikan tambahan 308 juta dollar AS. Paris menjanjikan 100 juta euro. Sebelumnya, PBB menaksir Afghanistan membutuhkan dana lebih dari 5 miliar dollar AS untuk mengatasi krisis multidimensinya.
Baca juga: Perlu Kerja Sama dengan Taliban untuk Atasi Krisis Kemanusiaan di Afghanistan
Namun, tidak satu pun dari negara-negara itu, termasuk badan-badan PBB, mau memberikan bantuan lewat Taliban. Bantuan akan diarahkan langsung kepada warga atau kelompok masyarakat rentan. Sementara Taliban dituntut untuk menjamin keamanan misi bantuan kemanusiaan itu.
Komitmen bantuan yang disampaikan saat ini memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang telah dihabiskan AS dan negara-negara lain setiap tahun selama 20 tahun terakhir di Afghanistan, 2001-2021. Namun, uang itu cukup untuk memulihkan sejumlah krisis yang dihadapi saat ini. Hasil penelitian Universitas Brown menyebutkan, AS menghabiskan dana 2,3 triliun dollar AS selama perang di Afghanistan atau rata-rata 300 juta dollar AS per hari selama dua dekade.
Bantuan ke Afghanistan ditujukan untuk meringankan penderitaan rakyat negara itu. Namun bantuan tersebut juga memiliki tujuan strategis yang penting, yakni sebagai benteng untuk mencegah destabilisasi lintas batas, terorisme, perdagangan narkoba, proliferasi senjata, dan migrasi skala besar.
Mengapa bantuan tidak diberikan kepada Taliban? Hal itu karena pemerintahan Taliban, yang berkuasa sejak 15 Agustus 2021, belum juga diakui legitimasinya oleh komunitas internasional. Salah satu catatannya, Taliban belum membentuk pemerintahan inklusif. Beberapa anggota kabinetnya juga masuk daftar hitam terorisme dalam dokumen AS dan PBB sampai hari ini.
Di tengah upaya-upaya internasional meluncurkan bantuan kemanusiaan, ada bahaya yang mengancam dari Afghanistan. Bagai “api di dalam sekam”, bahaya itu sewaktu-waktu bisa membesar, yakni potensi bangkitnya terorisme internasional di Afghanistan.
Bagai “api di dalam sekam”, bahaya itu sewaktu-waktu bisa membesar, yakni potensi bangkitnya terorisme internasional di Afghanistan.
Menurut Melissa Skorka, peneliti ahli Afghanistan di Changing Character of War Centre, pusat penelitian perang University of Oxford, sumber bahaya itu adalah jaringan Haqqani. Dia secara khsus meneliti khusus sepak terjang jaringan Haqqani. Katanya, faksi paling kuat Taliban itu memelihara hubungan dengan Al Qaeda serta Negara Islam di Irak dan Suriah cabang Khorasan (NIIS-Khorasan).
Beberapa serangan baru-baru ini yang diklaim NIIS-Khorasan, termasuk serangan terhadap universitas dan bandara Kabul, bangsal bersalin, dan sekolah perempuan, telah dikaitkan dengan jaringan Haqqani. Jaringan ini juga mendapat sejumlah posisi strategis dalam kabinet Taliban.
Pemimpin kelompok itu, Sirajuddin Haqqani, yang masuk dalam datar hitam AS dan PBB, kini adalah menteri dalam negeri Taliban. Dia mengendalikan operasi keamanan dan intelijen domestik serta mengontrol paspor dan kartu identitas bagi warga Afghanistan yang ingin bepergian ke luar negeri.
Anggota lain dari klan Haqqani memegang posisi kunci dalam pemerintahan Taliban. Misalnya Menteri Pendidikan Tinggi Abdul Baqi Haqqani, Menteri Pendidikan Dasar Noorullah Munir, Menteri Pengungsi dan Repatriasi Khalil ur Rahman Haqqani, dan Menteri Penerangan Mawlavi Najibullah Haqqani.
Dalam artikelnya di Foreign Affairs, 24 Januari 2022, Skorka mengatakan, para pemimpin dunia sampai sekarang gagal mengembangkan strategi yang koheren untuk mencegah jaringan Haqqani. Sebagian disebabkan oleh persaingan kepentingan negara-negara sekitarnya di kawasan, termasuk Pakistan dan Iran, yang secara historis melihat Haqqani sebagai aset strategis.
Media Kompas.id, 19 Januari 2022, telah mengulas hubungan erat Pakistan-Iran dalam “mengelola” Taliban. Situasi di Afghanistan saat ini memaksa keduanya bekerja sama dengan cara yang tidak pernah mereka lakukan di masa lalu ; membutuhkan Taliban untuk kepentingan domestik mereka.
Baca juga: Kala Pakistan-Iran Mesti Bekerja Sama Mengelola Taliban
Sementara itu, persaingan antara AS, China, dan Rusia telah menghalangi kerja sama keamanan yang lebih erat di Afghanistan. Negara-negara kuat itu seperti berjalan sendiri-sendiri untuk kepentingannya masing-masing. Jika ada kerja sama kuat antara tiga itu, niscaya dunia dapat menaruh harapan pada mereka.
Di saat yang sama, buruknya pengetahuan tentang afiliasi jaringan teroris multinegara menyebabkan banyak pihak melabeli Haqqani sebagai masalah keamanan domestik daripada sindikat teroris internasional. “Pada saat uang bantuan baru dari komunitas internasional akan segera mencapai Afghanistan, cara pandang seperti ini sangat berbahaya,” kata Skorka.
Menurut Skorka, tanpa rencana terkoordinasi untuk mencegah dana mengalir ke Haqqani, bantuan apa pun yang diberikan kepada Taliban berisiko memperkuat kelompok teror. Hal itu juga dapat menyebabkan persaingan baru yang lebih berbahaya antara Taliban dan NIIS.
“Hanya dengan mengatasi Haqqani secara langsung, AS dan kekuatan besar lainnya dapat mencegah Afghanistan menjadi, sekali lagi, tempat perlindungan teroris berbahaya di dunia,” tulis Skorka.
Haqqani terbukti sangat banyak akal dan tangguh. Didirikan pada awal 1970-an oleh Jalaluddin Haqqani, ayah kandung Sirajuddin Haqqani, jaringan ini dimulai sebagai kelompok jihad suku relatif kecil yang berbasis di Afghanistan dan Pakistan. Namun, mereka telah menggunakan serangkaian aliansi strategis untuk terus memperoleh kekuasaan dan pengaruh.
Baca juga: Menyusuri Jejak-jejak Jaringan Haqqani
Jaringan tersebut, menurut Skorka, sekarang bekerja dengan hampir setiap organisasi teroris asing yang beroperasi di Afghanistan dan Pakistan. Mereka tidak mungkin bisa bertahan jika bukan karena “perlindungan” yang diberikan Sirajuddin.
Dimulai pada 1990-an, jaringan Haqqani menjadi entitas semi-otonom di dalam Taliban Afghanistan. Sejak 2015, Sirajuddin Haqqani telah mengembangkan posisi sebagai salah satu wakil pemimpin tertinggi Taliban yang merancang dan melaksanakan kebijakan di bidang-bidang strategis.
Jeff Dressler, mantan analis riset untuk Institute for the Study of War, mengatakan, jaringan Haqqani telah memperkuat kampanye infiltrasi selama puluhan tahun di wilayah Afghanistan utara. Pada 1990-an, mereka berhasil menguasai wilayah itu dan membunuh seorang tokoh lokal yang dipandang sebagai saingannya dan membina hubungan dengan para pejuang asing.
Pada saat yang sama, Haqqani telah memupuk hubungan lamanya dengan Al Qaeda. Pada pertengahan 1990-an, pejuang Taliban, Yunus Khalis, yang merupakan pelindung Haqqani, menjabat sebagai tuan rumah dan pendukung Osama bin Laden di Afghanistan. Mulai 2008, sejak mendiang pemimpin Al Qaeda, Abdul Rauf Zakir, menjadi tangan kanan Sirajuddin Haqqani saat mereka bekerja untuk meningkatkan pengaruh kedua kelompok di Afghanistan utara.
Ambisi Haqqani juga tidak terbatas pada negara Afghanistan yang kini diperintah oleh Taliban. Jika dibiarkan, Sirajuddin akan terus melindungi mitranya,Al Qaeda, dari tindakan balasan Barat. Ia berupaya membangun warisan ayahnya dan menjadikan Afghanistan mercusuar jihad internasional.
Baca juga: Taliban Tetap Bersekongkol dengan Al Qaeda
Dalam wawancara langka pada 2010, Sirajuddin menjelaskan bahwa dia bercita-cita membentuk kekhalifahan yang menyatukan dunia Islam. Saat itu, dia memuji kemenangan dan pengorbanan para pejuang di berbagai wilayah mulai dari Afghanistan hingga Irak, dari Somalia hingga Aljazair. Menurut pejabat Barat, dia juga sudah mulai fokus ke Tajikistan, Kashmir, Suriah, dan Yaman. Dengan gagal mempertimbangkan ambisi yang lebih besar ini, AS berisiko membiarkan Haqqani menciptakan gelombang baru ketidakstabilan regional dan terorisme internasional.
Di masa lalu, Haqqani secara langsung menargetkan AS dan sekutunya dalam beberapa kesempatan. Pada 2009, jaringan ini memfasilitasi serangan Al Qaeda dan Taliban Pakistan di pangkalan AS di Khost yang menewaskan tujuh agen CIA. Pada 2011, Haqqani menyerang Kedutaan Besar AS dan markas NATO di Kabul. Pada 2013, Haqqani menyerang konsulat AS di Herat, dekat perbatasan Iran.
Dalam beberapa tahun terakhir, jaringan Haqqani lebih banyak menahan warga AS dibandingkan teroris lainnya. Warga AS yang disandera itu misalnya adalah personel militer AS Bowe Bergdahl, reporter New York Times David Rohde, dan keluarga Coleman-Boyle, warga Kanada Amerika. Seorang insiyur dan mantan penyelam Angkatan Laut AS Mark Frerichs, sampai saat ini masih menjadi sandera di Afghanistan.
Catatan penyanderaan oleh Haqqani ,seringkali bersekutu dengan A Qaeda, terhadap orang Barat sangat meresahkan. Jika sejarah adalah panduan, Haqqani akan terus menggunakan sandera untuk pengaruh politik, berusaha memaksa AS untuk berkompromi, misalnya, pada masalah seperti sanksi keuangan, pembatasan perjalanan, pertukaran tahanan, dan serangan pesawat tak berawak.
Catatan penyanderaan oleh Haqqani ,seringkali bersekutu dengan A Qaeda, terhadap orang Barat sangat meresahkan.
Melalui 20 tahun upaya kontraterorisme pimpinan AS di Afghanistan, jaringan Haqqani juga terbukti sangat adaptif. Alih-alih mencoba membangun institusi pemerintah paralel, seperti yang dilakukan Taliban di Afghanistan selatan, Haqqani meningkatkan jangkauan mereka dengan menyusup ke struktur militer dan politik yang didukung Barat.
Bagi pejabat Barat, menangani Haqqani menjadi lebih rumit. Banyak pejabat dan analis memandang NIIS-K sebagai musuh bersama AS dan Taliban, termasuk jaringan Haqqani. Barat memandang NIIS-K ancaman terorisme internasional utama di Afghanistan sehingga mereka berpikir perlu memberikan bantuan asing kepada Taliban untuk secara efektif melawan NIIS-K. “Ini logika yang sangat cacat,” kata Skorka.
Di Afghanistan, sebenarnya ada dua NIIS-K, yakni NIIS-Khorasan dan NIIS-Kabul. Kelompok pertama, NIIS-Khorasan berafiliasi dengan NIIS dan mereka terdiri dari mantan Taliban Pakistan. NIIS-Kabul, adalah entitas berbeda, terutama terdiri dari mantan anggota Al Qaeda dan dipimpin oleh Shahab al-Muhajir, alumnus jaringan Haqqani. Keduanya sangat berbahaya.
Sirajuddin Haqqani dan sekutunya telah mengeluarkan pernyataan menentang ISIS-Khorasan. Namun, menurut Skorka, Haqqani diam-diam mendukung kegiatan NIIS-Kabul.
Baca juga: Mustahil Taliban Putuskan Hubungan dengan Al Qaeda
Seperti yang dilaporkan Tim Pemantau Dewan Keamanan PBB, NIIS-Khorasan sering “tidak memiliki kemampuan untuk meluncurkan serangan yang kompleks di Kabul,” tetapi sering mengklaim bertanggung jawab atas operasi yang kemungkinan dilakukan oleh Haqqani. Hal itu sangat berbahaya karena dapat menyebabkan bantuan asing tertentu bisa jatuh ke tangan yang salah.
Menyatukan front internasional melawan Haqqani akan menjadi tugas yang berat. Hal itu sama beratnya dengan upaya komunitas internasional mengawal bagaimana bantuan negara-negara tidak sampai jatuh ke tangan kelompok yang salah. (AFP/REUTERS/AP)