Tindakan Represif Kontraproduktif dengan Situasi Sri Lanka
Penyerbuan aparat keamanan terhadap tenda-tenda yang didiami para pendemo damai dinilai sebagai tindakan kontraproduktif terhadap upaya pemulihan Sri Lanka. Tindakan itu membuat situasi tidak kondusif berkepanjangan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
COLOMBO, SABTU — Tindakan represif yang dipertontonkan aparat keamanan Pemerintah Sri Lanka terhadap para demonstran yang membantu menggulingkan Gotabaya Rajapaksa dari kursi presiden dikecam banyak pihak. Sejumlah pegiat hak asasi manusia mendesak Presiden Ranil Wickremesinghe memerintahkan aparatnya menghentikan penggunaan kekerasan karena hal itu kontraproduktif bagi upaya pemulihan krisis di negara tersebut.
”Langkah-langkah untuk mengatasi kebutuhan ekonomi rakyat Sri Lanka menuntut pemerintah yang menghormati hak-hak dasar. Presiden baru Sri Lanka harus segera menghentikan serangan dan tindakan kekerasan yang brutal terhadap para demonstran,” kata Meenakshi Ganguly, Direktur Human Rights Watch (HRW) wilayah Asia Selatan dalam pernyataan, Sabtu (23/7/2022).
Ganguly menyatakan, mitra-mitra Pemerintah Sri Lanka, baik entitas negara maupun lembaga internasional, harus mengingatkan dan mengirimkan pesan yang jelas dan tegas bahwa mereka tidak bisa mendukung pemerintahan yang menginjak hak-hak dasar rakyatnya. Dia juga menyatakan, memilih menggunakan kekerasan terhadap para pendemo damai sesaat setelah berkuasa adalah tindakan yang tidak bisa diterima dan memalukan.
Aksi kekerasan diperlihatkan aparat keamanan Sri Lanka tidak lama setelah Wickremesinghe dilantik. Pada Jumat (22/7/2022) dini hari, operasi gabungan yang terdiri dari militer, polisi, dan pasukan khusus menyerbu tenda-tenda yang digunakan para pendemo untuk beristirahat. Mereka memukuli orang-orang yang berada di dalam tenda juga di sekitar lokasi tersebut. Menurut laporan, lebih dari 50 orang terluka dan 9 orang ditangkap.
Bagi para aktivis HAM, tindakan pemerintahan baru Sri Lanka itu memberi sinyal mereka akan memilih melakukan tindakan kekerasan daripada menggunakan aturan hukum. ”Para pengunjuk rasa memiliki hak untuk berdemonstrasi secara damai. Penggunaan kekuatan yang berlebihan, intimidasi, dan penangkapan yang tidak sah tampaknya menjadi pola berulang yang tak henti-hentinya saat pihak berwenang Sri Lanka menanggapi perbedaan pendapat dan pertemuan damai,” kata Kyle Ward, Wakil Sekretaris Jenderal HRW.
Berbicara kepada sejumlah anggota parlemen Sri Lanka agar bersatu untuk membalikkan situasi negara yang kolaps, Wickremesinghe sempat membawa angin segar bagi sejumlah pihak. Apalagi, dia mengingatkan kepada para pejabat dan petinggi pemerintah agar mengubah pola pikirnya, terutama setelah tergulingnya Rajapaksa.
”Orang-orang tidak mengharapkan politik lama dari kami. Mereka mengharapkan kami untuk bekerja sama,” katanya.
Tindakan aparat keamanan mengubah situasi menjadi tidak menguntungkan bagi mantan perdana menteri Sri Lanka itu. Oposisi pemerintah, Perserikatan Bangsa-Bangsa, hingga Pemerintah Amerika Serikat mengecam penggunaan kekerasan kepada para pengunjuk rasa. Kini, para pendemo mulai mengarahkan kembali aksinya untuk membuat Wickremesinghe mundur dari jabatannya.
Kondusif
Deborah Brautigam, profesor bidang politik ekonomi internasional pada Universitas John Hopkins, mengatakan, Sri Lanka harus keluar dari situasi dan kondisi yang kacau apabila lembaga keuangan internasional, seperti Dana Moneter Internasional, ingin dilibatkan dalam upaya pemulihan ekonominya.
”IMF tidak bisa berinteraksi dengan pemerintah ketika keadaan dalam situasi krisis berkelanjutan. Jadi, sampai pemerintah stabil, sampai mereka memiliki menteri keuangan, tidak ada yang bisa diajak bicara oleh IMF,” kata Brautigam kepada Squawk Box Asia di stasiun televisi, Jumat (22/7/2022). Dia menambahkan, IMF tidak akan menggelontorkan dana pinjaman saat tidak ada jaminan dana itu akan dikembalikan.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, dikutip dari Nikkei Asia, berharap bisa mencapai kesepakatan dengan Pemerintah Sri Lanka secepat mungkin. Akan tetapi, penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan membuka kemungkinan semakin panjangnya ketidakpastian politik di negara tersebut, terutama setelah para pendemo yang menggulingkan pemerintahan sebelumnya kini menargetkan mundurnya Wickremesinghe. (AP)