Kenaikan indeks itu bukan pertanda optimisme. Meski demikian, ekonom ABD, Albert Park, mengatakan, situasi di Asia hingga pada 2023 tetap jauh lebih baik dari kawasan mana pun di dunia.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·3 menit baca
SINGAPURA, JUMAT — Indeks saham pada beberapa bursa Asia pada umumnya mencatatkan angka terbaik dalam sepekan terakhir. Kenaikan itu terjadi menyusul kenaikan indeks di Wall Street, Amerika Serikat.
Akan tetapi, kenaikan indeks itu bukan pertanda optimisme akan perekonomian yang menguat, hanya bersifat siklikal. Meski demikian, kenaikan itu tetap memperlihatkan sinyal kebaikan secara temporer.
Tapas Strickland, seorang analis, mengatakan, data pada Juli 2022 tetap tergolong rapuh walau terjadi penyesuaian musiman. Tiga indeks utama di Bursa Saham New York menunjukkan kenaikan pada penutupan perdagangan, Kamis (21/7/2022).
Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup 32.036,90 poin atau naik 0,51 persen. Indeks gabungan Nasdaq ditutup menjadi 12.059,62 poin atau naik 1,36 persen. Indeks saham Gabungan NYSE ditutup menjadi 14.871,14 poin atau naik 0,63 persen.
Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) Jakarta naik 0,33 persen menjadi 6.886,962 poin. Kenaikan serupa terjadi di bursa saham Tokyo yang ditutup menjadi 27.914,66 poin atau naik 0,40 persen. Indeks Hang Seng (Hong Kong) naik 0,2 persen menjadi 20.609,14 poin dan indeks STI Singapura naik 0,92 persen menjadi 3.181,34 poin. Akan tetapi, kenaikan tidak terjadi di bursa saham Sydney, Wellington, Shenzen, dan Seoul.
Di Eropa, bursa saham juga mencatatkan pekan terbaik dalam dua bulan pada Jumat seiring meredanya kekhawatiran akan suplai energi. Pasokan gas Rusia kembali mengalir setelah sempat terhenti karena perawatan rutin. Investor yang khawatir tentang kenaikan suku bunga tinggi dan krisis politik di Italia sedikit tenang.
Analis dari OANDA, Jeffrey Halley, mengingatkan bahwa pertemuan komite Bank Sentral AS pekan depan menjadi amat penting. Potensi kenaikan suku bunga inti oleh Bank Sentral AS bisa mengubah keadaan. Di samping itu, bayang-bayang inflasi tinggi tetap berpotensi mendera pasar.
Karena ancaman inflasi, misalnya, Bank Sentral Eropa telah menaikkan suku bunga inti sebesar 0,5 persen, lebih tinggi dari yang diperkirakan. Kenaikan ini mengakhiri era suku bunga negatif selama delapan tahun terakhir.
Demikian juga risiko geopolitik tetap menghantui perekonomian, seperti ketidakjelasan kapan invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai pada 24 Februari 2022 akan berakhir. Pertumbuhan melambat secara global dan risiko resesi global juga naik, kata Halley. Isu lainnya masih tetap seputar gangguan pada jaringan produksi global, termasuk akibat sanksi ekonomi Barat kepada Rusia.
Asia tidak luput dari segala bayang-bayang itu. Meski gangguan pandemi mereda, Asia masih belum bisa melepaskan kekhawatiran terhadap efek pandemi yang membuat China melakukan pengetatan sekarang ini. China masih menerapkan kebijakan nihil Covid-19 yang ketat.
Hal inilah yang membuat Bank Pembangunan Asia (ADB) merevisi pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia menjadi 4,6 persen untuk tahun 2022 dari perkiraan 5,2 persen sebelumnya. Meski demikian, ekonom ABD, Albert Park, mengatakan, situasi di Asia hingga pada 2023 tetap jauh lebih baik dari kawasan mana pun di dunia.
Perdagangan intra-Asia tetap menjadi andalan bagi pertumbuhan ekonomi kawasan. Demikian juga aliran investasi asing langsung di Asia memiliki potensi besar dengan keberadaan konsumen yang didorong kenaikan pendapatan dan penduduk muda.