Sri Lanka Minta Bantuan Rusia untuk Pasokan Bahan Bakar
Sri Lanka berpaling pada Rusia dan India untuk membantu mengatasi krisis terburuk. Kekurangan devisa akibat salah urus perekonomian dan dampak pandemi Covid-19 membuat Sri Lanka nyaris tidak bisa mengimpor apa pun.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·4 menit baca
COLOMBO, KAMIS — Sri Lanka benar-benar membutuhkan uluran tangan di tengah memburuknya krisis ekonomi yang membelit negara itu hingga bangkrut. Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa, Rabu (6/7/2022), meminta kepada Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membantu negara itu agar bisa mengimpor minyak. Sri Lanka juga berupaya mendatangkan turis dari India untuk membantu mendongkrak roda perekonomian.
Kekurangan devisa akibat salah urus perekonomian dan dampak pandemi Covid-19 membuat Sri Lanka nyaris tidak bisa mengimpor apa pun, terutama bahan pokok penunjang kehidupan rakyatnya. Kekurangan bahan makanan, bahan bakar, hingga obat-obatan terjadi di seantero negeri. Kalaupun ada, harga barang-barang itu sangat mahal.
Rajapaksa mengatakan telah berbicara dengan Putin untuk meminta pasokan minyak dalam bentuk pinjaman. ”Kami sepakat bahwa penguatan hubungan bilateral dalam sektor pariwisata, perdagangan, dan kebudayaan penting untuk memperkuat persahabatan kedua negara,” katanya.
Sri Lanka telah membeli minyak dari Rusia untuk mengatasi kelangkaan bahan bakar. Sekitar 90.000 ton minyak mentah Siberia pada Mei tiba di Sri Lanka melalui perantara di Dubai. Pemerintah mengindikasikan bersedia untuk membeli lebih banyak. Namun, kini Sri Lanka kekurangan cadangan devisa untuk membeli minyak lagi.
Stok bensin dan solar di Sri Lanka nyaris habis. Pemerintah memperluas penutupan sekolah di seluruh wilayah dan meminta pegawai sektor publik untuk bekerja dari rumah. Kelangkaan bahan bakar telah memicu protes yang berujung kerusuhan Colombo dan sekitarnya selama beberapa bulan terakhir.
Pariwisata
Dalam pembicaraan dengan Putin, Rajapaksa juga meminta dibukanya kembali penerbangan Moskwa-Colombo. Bulan lalu, Aeroflot menangguhkan penerbangan setelah sebuah pengadilan Sri Lanka menyita pesawat jenis Airbus milik maskapai penerbangan nasional karena perselisihan soal pembayaran.
Sebelum perang Ukraina-Rusia pecah pada Februari 2022, kedua negara merupakan sumber terbesar pariwisata Sri Lanka. Kini sejumlah negara Eropa, Australia, dan Amerika Serikat mengimbau warganya untuk tidak bepergian ke Sri Lanka karena krisis yang makin buruk di negara itu.
Sebelumnya, Kementerian Pariwisata Sri Lanka menyatakan akan menggelar tur ke lima kota di India untuk mencoba menggaet lebih banyak wisatawan dari negara itu. Dengan cara ini, diharapkan ada tambahan devisa yang masuk ke Sri Lanka.
Pada lima bulan pertama tahun ini, sudah 61.951 wisatawan India yang mengalir masuk ke Sri Lanka. Jumlah ini terbanyak dibandingkan wisatawan dari negara mana pun. ”Sri Lanka harus mengembalikan pendapatan dari pariwisata jika ingin bangkit dari krisis. Itu yang paling penting,” kata Menteri Pariwisata Harin Fernando.
Ia berharap Sri Lanka akan menutup tahun ini dengan kunjungan 1 juta turis dibandingkan kurang dari 200.000 turis tahun lalu. Sri Lanka dikenal dengan alam pegunungan yang indah, pantai-pantai yang masih murni, dan kota-kota tepi laut yang santai. Pandemi Covid-19 memukul pariwisata di Sri Lanka, seperti halnya di banyak negara.
”Kami yakin musim dingin nanti akan membaik,” ujar Fernando.
Restrukturisasi
Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak merdeka dari Inggris tahun 1948. Pemerintah gagal melunasi utang luar negeri sebesar 51 miliar dollar AS pada April. Kini Sri Lanka tengah dalam pembicaraan tentang dana talangan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Pemerintah Sri Lanka akan mengajukan rencana restrukturisasi utang kepada IMF pada Agustus. Langkah ini krusial untuk mendapatkan kemungkinan program pemulihan ekonomi senilai 3 miliar dollar AS untuk membawa perekonomian kembali ke jalurnya.
Apa yang terjadi di Sri Lanka menguatkan alarm yang telah berbunyi di banyak negara di dunia, dari Laos dan Pakistan hingga Venezuela dan Guinea. Berdasarkan laporan Kelompok Respons Krisis Global pada Kantor Sekretaris Jenderal PBB bulan lalu, setidaknya 1,6 miliar orang di 94 negara menghadapi satu dimensi krisis. Bisa krisis pangan, energi, atau keuangan. Sebanyak 1,2 miliar orang di antaranya tinggal di negara yang mengalami ”badai sempurna”, yakni krisis pada hampir semua sendi kehidupan.
Penyebabnya bermacam-macam, tetapi semua negara merasakan bertambahnya risiko akibat naiknya harga bahan pangan dan bahan bakar. Kondisi global yang sudah buruk akibat pandemi Covid-19 diperparah dengan perang Ukraina-Rusia. Gangguan terjadi pada aktivitas bisnis hingga pariwisata.
Akibatnya, Bank Dunia memperkirakan pendapatan per kapita di negara-negara berkembang tahun ini akan lebih rendah 5 persen di bawah level sebelum pandemi. Menurut PBB, lebih dari separuh negara miskin terbelit utang atau berisiko terjerat utang, padahal mereka susah payah membayar kewajiban yang sudah ada.
Krisis terburuk juga menimpa negara-negara yang telah lama didera korupsi, perang sipil, kudeta, dan konflik lain. (AFP/REUTERS)