Dunia tengah menghadapi ancaman fragmentasi. Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 di Bali, 7-8 Juli, diharapkan dapat menjadi pintu masuk untuk merajut kembali multilateralisme.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·5 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS – Pemerintah Indonesia melalui Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 di Bali, 7-8 Juli 2022, berikhtiar membendung fragmentasi global yang kian parah dalam beberapa tahun terakhir. Hadirnya para menteri luar negeri G20 diharapkan menjadi pintu masuk untuk kembali merajut multilateralisme atau semangat kerja sama lintas negara yang selama beberapa dekade terakhir terbukti telah meningkatkan kesejahteraan dunia.
Menjawab pertanyaan Kompas, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, Kamis (7/7/2022), menyatakan, ada kecenderungan pelemahan institusi multilateralisme dalam beberapa tahun terakhir. Ini misalnya terjadi pada Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) dan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 di Bali, Faizasyah melanjutkan, menjadi momentum yang baik untuk merajut kembali multilateralisme ketika fragmentasi dunia semakin parah. Kehadiran para menteri luar negeri yang selama beberapa bulan terakhir bersitegang dalam sejumlah perkara, diharapkan menjadi awal positif.
Kompas mencatat, perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung lima bulan telah menjadi lakon utama dalam politik internasional yang mendorong fragmentasi global. Perang itu tidak semata urusan kedua negara di Eropa timur itu saja melainkan juga melibatkan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutunya secara tidak langsung. Bahkan banyak pakar menilai, perang Rusia-Ukraina sejatinya adalah proksi antara AS dan Rusia. Komplikasinya yang meluas ke berbagai negara semakin menambah besar persoalan itu.
Lakon lain adalah kompetisi AS dan China yang semakin intens. Persaingan kedua adidaya ini sudah dan akan semakin memengaruhi politik internasional dalam minimal satu dekade ke depan. Faktor ini memicu sejumlah tantangan geopolitik maupun ekonomi berbagai kawasan, terutama Indo-Pasifik, yang ujung-ujungnya juga mendorong fragmentasi global.
Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 di Bali, 7-8 Juli, akan menjadi forum pertama bagi negara-negara yang selama ini bersitegang untuk duduk dalam satu ruangan yang sama setelah beberapa bulan terakhir nyaris nihil komunikasi. Forum itu sekaligus juga memberi tempat bagi negara-negara berkembang untuk menyampaikan aspirasinya.
Pertemuan Para Menteri Luar Negeri di Bali sekaligus menandai hadirnya Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov untuk pertama kalinya dalam forum multilateral pasca Rusia menyerang Ukraina. Pasca serangan militer per 24 Februari 2022 tersebut, AS dan sekutu berupaya mengucilkan Rusia dari berbagai forum multilateral. Saat ini, hubungan antara AS bersama sekutu dan Rusia berada di level terburuk sejak Perang Dingin.
Lavrov dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, bersama seluruh menteri luar negeri anggota G20 dan pimpinan lembaga internasional yang diundang, akan berada dalam satu ruangan pada pertemuan Jumat ini. Pertemuan terakhir keduanya terjadi di Geneva, Swiss, 21 Januari 2022.
Adapun Menteri Luar Negeri China Wang Yi juga akan bertemu Blinken. Selain akan hadir pada pertemuan G20, keduanya juga akan menggelar pertemuan bilateral di sela-sela agenda G20. Keduanya terakhir bertemu pada Oktober 2021.
Pada sisi lain, Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 di Bali bisa menjadi ajang saling serang negara-negara yang tengah bersitegang. Untuk mengelola risiko itu, Kementerian Luar Negeri telah menyiapkan cara.
”Dalam interaksi forum multilateral, menyampaikan posisi negara itu lazim. Semua negara berhak bicara. Jadi tentunya, Indonesia punya cara sendiri untuk mengatur alur bicara dan slot bicara negara-negara sehingga mau tidak mau semua negara akan tetap fokus pada tema utama,” kata Faizasyah.
Namun hal positif yang setidaknya bisa dipetik, menurut Faizasyah, adalah bahwa semua menteri luar negeri G20 bersedia hadir di Bali dengan segala tantangan yang ada. Ini mengindikasikan bahwa negara-negara G20 menghormati Indonesia selaku tuan rumah dan menganggap G20 sebagai forum penting untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bersama.
”Kami akan mengarahkan diskusi pada topik yang menjadi kepedulian bersama, krisis pangan dan energi misalnya. Memang, masing-masing negara memiliki cara pandang beda pada persoalan ini. Tapi tidak akan ada yang bisa memungkiri bahwa krisis pangan dan energi adalah persoalan global,” kata Faizasyah.
Reuters melaporkan, seorang pejabat yang mendampingi Blinken, saat singgah di Tokyo dalam perjalanan menuju Bali, Kamis, mengatakan, AS akan tetap fokus pada acara G20. AS juga bertekad tidak akan membiarkan adanya gangguan pada agenda G20.
"Tapi saya pikir, kami juga ingin memastikan bahwa tidak ada cara apa pun yang memberikan legitimasi yang dapat memberikan legitimasi atas apa yang dilakukan secara brutal oleh Rusia terhadap Ukraina," katanya.
Sementara itu, resepsi penyambutan telah berlangsung pada Kamis (7/7/2022) petang. Lavrov dan Wang Yi adalah termasuk menteri luar negeri G20 yang hadir pada acara itu. Sementara Blinken dikabarkan tidak hadir karena baru mendarat di Bali, malam. Sampai dengan Kamis sore, 16 pimpinan delegasi sudah tiba di Bali. Sisanya akan tiba Kamis malam sampai Jumat (9/7) pagi.
Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 mengusung tema, ”Membangun dunia yang lebih damai, stabil, dan sejahtera bersama". Pertemuan terdiri atas dua sesi. Penguatan multilateralisme menjadi fokus sesi pertama. Sesi ini akan membahas langkah bersama bagi penguatan kolaborasi global dan membangun rasa saling percaya antar-negara sehingga menjadi lingkungan yang mendorong stabilitas, perdamaian, dan pembangunan dunia.
Sebanyak dua pembicara akan hadir, yaitu Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan ekonom dari Universitas Columbia Jeffrey Sachs. Mereka akan memberikan pandangan mengenai penguatan prinsip-prinsip dan forum multilateral dalam situasi geopolitik saat ini.
Sementara sesi dua mengenai krisis pangan dan energi. Sesi ini akan membahas langkah-langkah strategis untuk menanggulangi krisis kerawanan pangan, kekurangan pupuk, dan kenaikan harga komoditas global.
Sesi ini akan menghadirkan tiga pembicara, yakni Direktur Eksekutif World Food Program David Beasley, Perwakilan Khusus Sekjen PBB Untuk Energi Berkelanjutan Bagi Semua dan Co-Chair UN-Energy Damilola Ogunbiyi, dan Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Pangestu. Mereka akan memberikan pandangan mengenai dampak konflik atas ekonomi dan pembangunan dunia. (LAS)