Tertutup, Sidang Aung San Suu Kyi Dipindah ke Kompleks Penjara
Aung San Suu Kyi akan menghadapi proses hukum yang dinilai tidak independen. Tak hanya tertutup, ruang sidang juga bakal dipindah dan akses yang sangat terbatas.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
NAYPYIDAW, RABU – Aung San Suu Kyi bakal menghadapi pengadilan tertutup di penjara setelah Junta Militer Myanmar memindah lokasi persidangan dari pengadilan umum ke penjara. PBB menilai cara Junta Militer mengeksekusi lawan politiknya merupakan kejahatan perang.
Aung San Suu Kyi, peraih nobel yang kini berusia 77 tahun, ditangkap dan ditahan sejak kudeta oleh Junta Militer pada Februari 2021. Ia didakwa setidaknya atas 20 pelanggaran pidana, mulai dari pelanggaran administrasi hingga korupsi.
Salah satu sumber yang tak mau disebut namanya menjelaskan kepada wartawan, Rabu (22/6/2022), penguasa militer Myanmar memerintahkan semua proses persidangan terhadap Aung Suu Kyi dipindah dari ruang sidang di pengadilan Myanmar ke ruang sidang khusus di penjara Naypyidaw. ”Hakim menyatakan gedung baru untuk pengadilan sudah selesai,” ujar sumber tersebut.
Rangkaian proses pengadilan Suu Kyi berlangsung tertutup dari media. Bahkan, tim pengacara Suu Kyi yang memiliki akses ke pengadilan pun juga dilarang berbicara ke media. Informasi terbatas hanya akan diberikan melalui kanal berita pemerintah.
Banyak pihak meragukan pengadilan memberikan rasa adil untuk Suu Kyi. Namun, pemerintah menyebut pengadilan itu merupakan pengadilan independen. Pemimpin Junta Militer Myanmar Min Aung Hlaing sebelumnya mengumumkan Suu Kyi tetap ditahan. Ia juga merahasiakan lokasi penahanannya.
Suu Kyi sejak ditangkap oleh aparat militer didakwa berbagai kasus mulai dari pelanggaran kecil hingga korupsi. Sebelumnya, pengadilan di Myanmar memutuskan menjatuhkan hukuman penjara dua tahun terkait kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang dianggap melanggar Undang-undang Manajemen Bencana Alam.
Jika dinyatakan bersalah untuk belasan kasus yang ditimpakan kepadanya, Suu Kyi bakal bisa mendekam di penjara sampai lebih dari 100 tahun (Kompas, 11 Januari 2022). Namun, Suu Kyi melalui pengacara menyangkal semua tuduhan tersebut.
Negara-negara Barat bahkan menyebut hukuman atas Suu Kyi itu palsu dan menuntut pembebasan tokoh tersebut. Rencana junta militer untuk mengeksekusi lawan-lawan politiknya juga dinilai sebagai kejahatan perang atau kejahatan manusia.
Junta militer mengatakan akan mengeksekusi empat tokoh dari partai yang dipimpin Suu Kyi. Mereka dihukum karena dituduh melakukan kejahatan terorisme dan bakal dihukum mati, sebuah hukuman yang sejak 1990 belum pernah dilakukan lagi.
Keempat orang itu, antara lain, mantan anggota parlemen Phyo Zeya Thaw dan aktivis demokrasi Ko Jimmy. Adapun dua orang lainnya merupakan anggota partai. ”Mereka yang dijatuhi hukuman mati akan digantung sesuai prosedur penjara,” kata juru bicara junta militer, Zaw Min Tun.
PBB melalui badan Mekanisme Investigasi untuk Myanmar yang dibentuk pada 2018 meragukan pengadilan tertutup itu akan memberikan rasa adil. Lembaga yang menjalankan mekanisme investigasi ini bertujuan mengumpulkan bukti kejahatan internasional dan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar serta mendokumentasikannya untuk memfasilitasi proses pidana.
Kepala Mekanisme Investigasi Independen PBB untuk Myanmar Nicholas Koumjian mengatakan, dirinya terus mengikuti perkembangan kasus tersebut dengan cermat. Menurutnya, dalam kasus itu hak-hak dasar orang-orang yang dihukum secara terang-terangan dilanggar dalam proses hukum.
”Dari informasi yang tersedia, mereka yang dihukum dilanggar haknya di bawah Hukum Internasional,” kata Koumjian.
Selain itu, Koumjian menilai, pemerintah militer Myanmar tidak memenuhi persyaratan dasar pengadilan yang adil saat menahan dan menjatuhkan hukuman mati. ”ini kejahatan kemanusiaan atau kejahatan perang,” ujarnya.
Junta militer telah menjatuhi hukuman mati puluhan aktivis yang selama ini menentang kudeta. Kegiatan para aktivis itu disebut junta militer sebagai tindakan keras atas perbedaan pendapat. Menurut Koumjian, persidangan yang adil harus dilaksanakan semaksimal mungkin terbuka di hadapan umum. Pengecualian hanya bisa diberikan jika menyangkut keamanan nasional atau pertimbangan lainnya.
Sayangnya, dalam kasus tersebut, pengadilan dilakukan tertutup dan bahkan tidak ada akses untuk publik. Koumjian meragukan pengadilan itu tidak memihak dan independen. (AFP/REUTERS)