Koalisi Pemerintah Israel Bubar, Oposisi Netanyahu Siap-siap Berkuasa Lagi
Koalisi pemerintahan di parlemen Israel membubarkan diri karena perbedaan pandangan. Selanjutnya, Israel akan menggelar pemilihan umum lagi pada Oktober. Ini adalah pemilihan umum kelima dalam tiga tahun terakhir.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
YERUSALEM, SELASA — Israel akan menggelar pemilihan umum yang kelima dalam tiga tahun belakangan. Pemilu bakal digelar setelah koalisi pemerintah di parlemen memutuskan membubarkan diri karena sejumlah perbedaan. Benjamin Netanyahu yang selama ini menjadi oposisi pemerintah pun bersiap kembali.
Pada Senin (21/6/2022), Bennet menjelaskan sudah membuat keputusan yang tepat dengan menyelenggarakan pemilihan umum. Keputusan itu ia buat setelah koalisi yang membawa Bennet ke pemerintahan Israel terpecah belah.
Selain pengumuman itu, Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid juga diangkat menjadi Penjabat Perdana Menteri Israel menggantikan Bennet. Lapid menjabat Perdana Menteri Israel sampai pemilihan umum usai.
”Bersama-sama kami mengeluarkan Israel dari masalah, banyak hal yang sudah kami capai tahun ini terutama nilai-nilai keadilan dan kepercayaan,” kata Bennet didampingi Lapid.
Bennet terpilih menjadi perdana menteri setahun lalu setelah ia bersama Lapid memimpin koalisi delapan partai dari sayap kiri dan kanan, termasuk partai Arab, Ra’am. Pertama kali dalam sejarah politik di Israel, politisi menggandeng partai Arab dalam koalisinya.
Saat itu Bennet sadar betul perlu dukungan partai Arab. Apalagi, terdapat setidaknya 20 persen dari penduduk Israel merupakan warga keturunan Arab dan selama ini selalu mengaku mengalami diskriminasi.
Bennet dan koalisinya mampu mengalahkan Benjamin Netanyahu yang lebih kurang 12 tahun berkuasa di Israel dengan Partai Likud. Tak hanya itu, Bennet juga mendorong penegakan hukum terhadap kasus korupsi yang diduga melibatkan Netanyahu. Kasus yang masih bergulir dan tak kunjung tuntas itu disebut-sebut menemui jalan buntu.
Selama kepemimpinan Bennet, jalur Gaza yang biasanya selalu ribut menjadi jauh lebih tenang meskipun ketegangan meningkat di Yerusalem timur dan tepi barat. Selain itu, Bennet juga memberikan anggaran ke Partai Arab untuk memerangi kemiskinan, pengabaian, dan diskriminasi warga Arab. Hal itu yang kemudian dikritik habis-habisan oleh Netanyahu.
Netanyahu menyebut Bennet dengan ”pendukung teror” karena kedekatannya dengan partai Arab. Kritik tersebut tampaknya membuat beberapa anggota garis keras koalisi Bennett merasa tidak nyaman dan memilih meninggalkan koalisi. Pukulan terakhir bagi pemerintahan Bennet adalah berakhirnya undang-undang yang memberikan status hukum khusus kepada penduduk Tepi Barat Israel yang berujung runtuhnya koalisi pemerintah.
Bennet pun menilai keputusannya untuk menggelar pemilu sudah tepat. Yair Lapid yang mengisi jabatan Bennet pun disinyalir bakal menjadi penantang Netanyahu dalam pemilihan berikutnya.
Bennet dan Lapid khawatir jika upaya persatuan yang mereka upayakan selama setahun belakangan akan gagal dengan kembalinya Netanyahu ke pemerintahan. ”Bahkan jika kita akan pemilu lagi, tantangan kita sebagai negara tidak bisa menunggu, yang perlu kita lakukan hari ini adalah kembali ke konsep persatuan Israel. Tidak membiarkan kekuatan gelap memisahkan kita dari dalam,” ungkap Lapid.
Netanyahu menyambut baik pembubaran parlemen dan rencana penyelenggaraan pemilu. Optimistis, ia mulai membangun koalisi antara partainya, Likud, dengan partai nasionalis lainnya. “Ada kebutuhan untuk merehabilitasi negara Israel, dan kami memiliki kemampuan untuk melakukannya,” kata Netanyahu.
Jajak pendapat memperkirakan bahwa Likud bisa kembali menjadi partai tunggal di Israel. Presiden Institut Demokrasi Israel Yohanan Plesner mengatakan, jika pemerintahan baru dilantik, ada indikasi bahwa krisis politik terburuk di Israel tidak berakhir.
”Sementara pemerintah Bennett-Lapid tidak diragukan lagi memainkan peran penting dengan mengeluarkan anggaran dan bergerak maju dengan undang-undang penting lainnya, krisis yang sedang berlangsung ini tidak akan berakhir sampai para pemimpin Israel mengesampingkan perbedaan politik mereka dan memberlakukan reformasi pemilu dan konstitusi yang telah lama tertunda,” ungkapnya. (REUTERS/AP)