Petani Rusia dan Ukraina Bersiasat Hadapi Dampak Perang
Para petani di Ukraina dan Rusia mulai merasakan dampak perang kedua negara. Mereka bersiasat untuk bertahan hidup di tengah ancaman krisis pangan global.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
MOSKWA, KOMPAS — Invasi Rusia ke Ukraina yang sudah berjalan selama hampir empat bulan berdampak besar pada sektor pertanian kedua negara. Di saat para elite saling lempar klaim, para petani di ladangnya harus bertahan hidup dan bersiasat di tengah perang.
Invasi militer yang dilakukan Rusia dikecam banyak negara. Amerika Serikat dan Uni Eropa kemudian menghujani sanksi terhadap Rusia dan menuduh negara itu menjadi penyebab ancaman krisis pangan di dunia.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyebut Rusia memblokir pelabuhan di Ukraina sehingga 22 juta ton gandum tak bisa dikirim ke negara-negara lain. Zelenskyy juga menyebut Rusia menyebabkan krisis pangan dunia. Hal itu langsung dibantah pihak Rusia karena krisis pangan global juga dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 sejak dua tahun lalu.
Dalam pidato pada Jumat (17/6/2022) di Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg, Presiden Rusia Vladimir Putin mengungkapkan, Rusia tidak dapat disalahkan atas kenaikan harga di pasar gandum global. Putin menyerang balik Amerika Serikat dan Uni Eropa yang menaikkan harga pangan dengan mencetak uang dan ”mengambil” makanan di pasar global.
Putin mengatakan, Rusia siap untuk meningkatkan ekspor biji-bijian dan pupuk, termasuk ke Afrika dan Timur Tengah. Walakin, Rusia menghadapi hujan sanksi dari AS ataupun Uni Eropa yang menghambat. Banyak perusahaan di negara Barat yang menolak gandum Rusia ataupun komoditas lainnya. Hal itu menyebabkan petani perlu bersiasat agar bisa bertahan.
Yevgeny Shifanov (42), pemilik salah satu perusahaan pertanian organik, mengatakan, kini bisnisnya baru merasakan dampak dari sanksi yang dijatuhkan atas Rusia. Ia tak dapat menjual gandumnya ke Eropa.
Shifanov memiliki ladang gandum di Desa Khatmanovo, sekitar 150 kilometer dari Moskwa. Lahannya seluas 1.000 hektar kini sudah ditumbuhi gandum menuju panen yang tingginya mencapai sekitar 40 sentimeter.
Shifanov memiliki kerja sama dengan beberapa perusahaan di Eropa dan Israel, tetapi truk-truk pengangkut gandumnya diblokir saat memasuki wilayah Eropa. ”Kami punya pembeli di luar negeri, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami tidak bisa mengantarkan ke sana. Sekarang, kami hanya bisa puas dengan pasar domestik,” katanya.
Shifanov mengungkapkan, gandum dari Rusia dibeli dengan harga murah dibandingkan gandum dari Perancis ataupun negara lainnya. Ia, juga petani gandum lainnya di Rusia, kini mulai mencari pasar baru di sekitar Rusia, seperti Belarus, Armenia, dan Kazakhstan. ”Pertanian secara bertahap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru,” katanya.
Di Ukraina, Olena Avramenko bersama anaknya, Anton Avramenko, yang merupakan peternak siput dan petani gandum, tinggal di Desa Veresnya yang terletak di sebelah barat laut Kyiv, ibu kota Ukraina. Desa itu sempat diserang tentara Rusia dalam operasi militernya. Meski banyak tempat di desanya hancur, Olena dan Anton memilih bertahan di rumahnya.
Ibu dan anak itu berlindung di ruangan bawah tanah rumah mereka bersama delapan warga desa lain. Mereka bertahan hidup dengan memakan siput, memasaknya dengan pelbagai cara.
”Saya tinggal untuk melindungi pertanian dan rumah kami. Jika tidak, tidak akan ada yang tersisa,” kata Anton.
Sebelumnya, Perdana Menteri Ukraina Denys Shmyhal mengatakan, setidaknya terdapat 15 juta ton hasil panen tahun 2022 belum diketahui akan disimpan di mana. Kementerian Kebijakan Agraria sedang mencari solusi penyimpanan gandum, buah kering, jagung, dan sereal itu. ”Kami mempertimbangkan pengadaan lumbung bergerak,” katanya pada Minggu (12/6/2022).
Denys menjelaskan, sebagian lumbung pangan Ukraina hancur dalam invasi Rusia ke Ukraina. Sementara lumbung yang tersisa masih berisi hasil dari panen periode lalu. Blokade dan pendudukan Rusia atas pelabuhan-pelabuhan Ukraina menjadi penyebab utama kondisi tersebut. Laut Hitam juga tidak aman dilayari karena Ukraina dan Rusia sama-sama memasang banyak ranjau laut. Selain itu, Rusia terus membombardir Odesa, satu-satunya pelabuhan Ukraina yang tersisa. (AP/REUTERS)