Taiwan Berisiko Terseret dalam Pusaran Konflik dengan China
Taiwan bisa terseret pusaran konflik seiring meruncingnya persaingan AS-China, krisis di Semenanjung Korea, dan sengketa di Laut China Selatan. Taiwan beritikad baik terhadap China, asal aksi intrusif dihentikan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
TAIPEI, SENIN — Taiwan bisa terseret dalam pusaran kepentingan antarnegara di kawasan yang berisiko memicu konflik terbuka dengan China. Namun, Taiwan menegaskan selalu beritikad baik dalam hubungan dengan China dan menghendaki hubungan yang menguntungkan kedua pihak.
Kementerian Pertahanan Taiwan, dilansir dari kantor berita Central News Agency, Senin (13/6/2022), menyatakan, ada tiga faktor yang berisiko memicu konflik terbuka dengan China. Pertama, semakin meruncingnya persaingan geopolitik China dengan AS. Kedua, krisis di Semenanjung Korea, terutama percobaan senjata nuklir dan rudal hipersonik Korea Utara. Ketiga, sengketa di Laut China Selatan. Semua ini bisa menyeret Taiwan ke dalam pusaran konflik.
Pernyataan ini menanggapi lontaran Menteri Pertahanan China Wei Fenghe yang menyatakan, China tidak ragu untuk berperang apabila terus diprovokasi terkait kemerdekaan Taiwan. Wei berbicara pada hari terakhir Dialog Shangri-La di Singapura, Minggu (12/6). Hadir 500 orang yang merupakan delegasi dari 42 negara dan perusahaan-perusahaan senjata. Pejabat yang ada di dialog itu, antara lain, adalah Menteri Pertahanan (Menhan) Singapura Ng Eng Hen selaku tuan rumah, Menhan Indonesia Prabowo Subianto, dan Menhan Australia Richard Marles.
Perkataan itu ia tujukan tidak hanya kepada Taiwan, tetapi juga Amerika Serikat dan negara-negara Barat yang selama ini dituduh China memanas-manasi Taiwan untuk melepaskan diri dari China. Pada saat yang sama, ini juga peringatan terhadap pemerintahan Taiwan saat ini yang dipimpin oleh Presiden Tsai Ing-wen dari Partai Politik Demokratik (DPP).
Perdana Menteri Taiwan Su Tseng-chang menuturkan, Taiwan selalu beritikad baik terhadap China. Taiwan sejatinya menginginkan hubungan yang stabil dan menguntungkan kedua belah pihak. ”Justru China yang selalu membawa segala sesuatu ke urusan politik dan tanpa alasan melakukan kegiatan-kegiatan yang mengancam di Selat Taiwan,” ujarnya.
Kemhan Taiwan, seperti dilaporkan Central News Agency, mengeluarkan laporan yang mengungkapkan China memiliki kekuatan invasi per tahun 2027. Diperkirakan, lima tahun mendatang, China memiliki sistem rudal jarak jauh; senjata pertempuran di laut dan udara; dan sistem pertahanan udara. Mereka juga akan memproduksi secara massal persenjataan, pesawat tempur J-20, pesawat pengangkut tank Y-20, dan kapal-kapal induk kelas Liaoning serta Shandong.
China tidak pernah lagi berbicara dengan Taiwan sejak Tsai memenangi pemilihan umum tahun 2016 dan di masa jabatan kedua yang dimulai pada 2020. Sebelumnya, Taiwan dipimpin Ma Ying-jeou, presiden dari partai Kuomintang (KMT).
KMT cenderung menjaga status quo satu negara dengan dua sistem politik. Artinya, Taiwan bagian dari Satu China, tetapi memiliki otonomi dan pemerintahan tersendiri yang menggunakan sistem demokrasi. Mereka menghindari gesekan dengan China guna memastikan kestabilan kawasan dan yang terpenting adalah pertumbuhan perekonomian Taiwan.
Adapun Tsai dan DPP lebih frontal menyuarakan keinginan Taiwan sepenuhnya lepas dari China. Beijing kemudian mengumumkan bahwa Tsai dan beberapa pejabatnya merupakan separatis yang masuk daftar hitam mereka.
Selama mendinginnya hubungan China-Taiwan, Taiwan semakin menggenjot koneksi dengan negara-negara Barat. Parlemen Uni Eropa dan perwakilan sejumlah negara anggota beberapa kali mengunjungi Taipei. Mereka membangun kerja sama non-diplomatik yang berlandaskan asas demokratis.
China menanggapi hal tersebut bertindak semakin intrusif dengan mengirimkan pesawat-pesawat tempur memasuki wilayah pertahanan udara Taiwan. Hal ini dikritik oleh Menhan AS Lloyd Austin dalam Dialog Shangri-La. ”AS tetap mematuhi prinsip Satu China yang kami akui, tetapi ini tidak berarti China bisa seenaknya merundung Taiwan,” tuturnya.
Austin turut mengingatkan bahwa AS-Taiwan terikat dengan sejumlah perjanjian yang mengatakan bahwa AS akan membantu Taiwan selama mereka mendapat ancaman dari China. Perjanjian itu tidak menyebut AS akan mengirim bantuan persenjataan ataupun pasukan untuk Taiwan. Selama ini, Taiwan selalu membeli persenjataan dari Washington dan pakar-pakar militer AS datang melatih para tentara Taiwan.