China Gagal Rangkul Kepulauan Pasifik dalam Ikatan Pakta Regional
China gagal merangkul 10 negara di Kepulauan Pasifik dan mengikat mereka dalam pakta regional. Ada yang khawatir, China akan menarik kawasan itu ke ”orbit China”. Namun, ini tak lepas dari upaya Barat mengganjal Beijing.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
SUVA, SENIN — Rencana Pemerintah China untuk menandatangani pakta keamanan regional dengan 10 negara di Kepulauan Pasifik tak sesuai harapan. Ada sebagian dari 10 negara itu yang khawatir China akan menarik kawasan mereka ke ”orbit China”. Salah satu contoh kesepakatan yang gagal adalah antara China dan Fiji.
Hal ini menjadi pukulan bagi China. Tur Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke Kepulauan Pasifik menawarkan peningkatan aktivitas China, khususnya di Pasifik Selatan. Geliat China di kawasan ini segera dicegat Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat yang juga segera mendekati negara-negara Kepulauan Pasifik.
Pakta keamanan yang diusulkan China itu, antara lain, berisi kerja sama dalam pelatihan kepolisian, keamanan siber, perluasan hubungan politik, pemetaan laut, dan akses lebih besar pada sumber daya alam di darat dan di air. Untuk mengambil hati negara-negara Kepulauan Pasifik, China menawarkan bantuan keuangan jutaan dollar AS, prospek perjanjian perdagangan bebas China dan Pasifik, serta akses ke pasar luas China yang berpenduduk 1,4 miliar jiwa.
Namun, para pemimpin Pasifik meragukan tawaran China itu. Sebelum pertemuan para pemimpin negara di Kepulauan Pasifik dan China secara virtual, Presiden China Xi Jinping mengatakan, China akan menjadi ”saudara yang baik” bagi Kepulauan Pasifik. Kedua pihak, ujar Xi, bernasib sama.
Bahkan, Presiden Mikronesia David Panuelo melalui suratnya kepada para pemimpin negara di Pasifik mengingatkan bahwa tawaran China itu ”tidak jujur” dan semakin memperdalam pengaruh China dalam pemerintahan dan mengendalikan perekonomian industri-industri utama. Panuelo tidak mendukung tawaran China karena khawatir hal itu justru akan menambah ketegangan geopolitik dan mengancam stabilitas kawasan regional. Ia menganggap tawaran China ke Pasifik itu menjadi kesepakatan paling berpengaruh di Pasifik dan bisa menyeret kawasan masuk ke era Perang Dingin dan Perang Dunia terburuk.
Tak ada konsensus
Para pemimpin negara Kepulauan Pasifik menyatakan, mereka tidak bisa menyetujui ”Visi Pembangunan Bersama” usulan China karena tidak ada konsensus regional. ”Kami selalu mengutamakan konsensus. Butuh kesepakatan dari semua sebelum tanda tangan perjanjian regional yang baru,” kata Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama seusai pertemuan virtual negara-negara Kepulauan Pasifik dengan China, di Fiji, Senin (30/5/2022).
Papua Niugini, Samoa, Mikronesia, dan Palau disebutkan termasuk negara-negara yang mengkhawatirkan usulan China tersebut. Duta Besar China untuk Fiji Qian Bo mengatakan, 10 negara Kepulauan Pasifik itu secara umum mendukung usulan China, tetapi ada kekhawatiran pada beberapa isu khusus. ”Kami sepakat kedua dokumen akan dibahas lagi nanti,” ujarnya.
Wang membuat pengumuman yang ”menyelamatkan muka” China dari penolakan 10 negara itu dengan mengatakan bahwa mereka menyetujui nota kesepahaman mengenai inisiatif infrastruktur ”Sabuk dan Jalan” China. Kedua belah pihak akan terus berdiskusi dan berkonsultasi lebih mendalam agar tercapai konsensus mengenai kerja sama China dan Pasifik. Wang meminta mereka yang khawatir dengan niat China untuk ”tidak terlalu cemas dan jangan terlalu gugup” karena China juga mendukung negara-negara berkembang di Afrika, Asia, dan Karibia.
”Jangan terlalu cemas dan gugup karena perkembangan dan kemakmuran bersama China dan negara-negara berkembang lainnya akan menghasilkan harmoni, keadilan, dan kemajuan di seluruh dunia,” ujar Wang.
Campur tangan Barat
Penolakan negara-negara di Kepulauan Pasifik itu bisa jadi berkat ”campur tangan” negara-negara Barat yang menentang gerak-gerik China di kawasan tersebut. Amerika Serikat memperingatkan negara-negara Pasifik Selatan untuk mewaspadai kesepakatan China yang tidak jelas dan tidak transparan. Australia juga mengingatkan pasti akan ada konsekuensi dari tawaran China.
Sebenarnya banyak negara di Pasifik merasa tidak nyaman karena seperti didorong ke pusat pergolakan geopolitik antara China dengan negara-negara sekutu AS. Mayoritas dari mereka masih tetap ingin mempertahankan hubungan yang bersahabat dengan China, menyeimbangkan hubungan antara China, AS, Australia, dan Selandia Baru sambil memperhatikan ancaman yang lebih mendesak, seperti perubahan iklim dan persoalan ekonomi. Hampir semua negara di Kepulauan Pasifik berada di dataran rendah dan sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut yang disebabkan perubahan iklim.
Sekretaris Jenderal Forum Kepulauan Pasifik (PIF) Henry Puna pada pertemuan virtual itu mendesak China memprioritaskan isu-isu yang penting bagi kawasan Pasifik, seperti perubahan iklim dan pemulihan Covid-19 melalui mekanisme yang disepakati. PIF beranggotakan 18 negara, termasuk negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan, bukan dengan China.
Dua negara yang bersekutu dengan Taiwan, Palau, dan Tuvalu baru-baru ini mengatakan, mereka khawatir Kepulauan Pasifik akan menjadi pion dalam persaingan negara adidaya. ”Kami menyadari manuver geopolitik di wilayah Pasifik yang kian intensif,” ujar mereka.
Meski geliat China dicurigai, warga Fiji tetap senang jika China bisa membantu negara-negara di Pasifik. Georgina Matilda, warga Fiji yang bekerja di perusahaan China Railway, mengatakan bisa menghidupi anak-anaknya berkat pekerjaan dari China. Miliane Rokolita, warga Fiji lainnya, menilai keberadaan China di kawasan mereka juga selama ini menguntungkan rakyat. ”Mereka orang-orang baik karena berkat mereka kami bisa membeli rumah dan mendapat uang,” ujar Rokolita.
Keterlibatan China di Pasifik juga bukan hal baru. Sejak dulu banyak pendatang dari China hidup dan mencari nafkah di Fiji, salah satunya membuka toko dan usaha-usaha lain. ”Ada sisi baik dan ada sisi buruknya. Harus diakui, China membantu mendorong perekonomian Fiji dan banyak hal baru dari China yang mereka bawa masuk ke budaya Fiji,” kata Nora Nabukete, mahasiswa di University of the South Pacific. (REUTERS/AFP/AP)