China Ubah Strategi di Kepulauan Pasifik, dari Pendekatan Bilateral ke Multilateral Kawasan
China mengubah strategi diplomasinya di Kepulauan Pasifik dari semula pendekatan bilateral menjadi multilateral kawasan. Strategi ini akan dikonkretkan dalam diplomasi 10 hari non-stop Menlu China Wang Yi ke kawasan itu.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
AP/MARK SCHIEFELBEIN
Presiden China Xi Jinping berjalan dengan Presiden Kiribati, Taneti Maamau (kedua dari kiri) dalam upacara penyambutan di Gedung Balai Agung Rakyat di Beijing, China, 6 Januari 2020.
SYDNEY, RABU — China tengah merancang kesepakatan kawasan dalam pertemuan pekan depan dengan 10 negara Kepulauan Pasifik, yang mencakup kerja sama dalam banyak bidang, mulai dari penanganan kepolisian, keamanan, komunikasi data, hingga penangkapan ikan. Jika terwujud, kesepakatan kawasan ini menandai pergeseran kebijakan dan strategi China di Kepulauan Pasifik, dari semula pendekatan bilateral dengan masing-masing negara menjadi pendekatan multilateral kawasan.
Dalam draf komunike dan rencana aksi lima tahun, yang dikirim Beijing ke 10 negara Kepulauan Pasifik dan diperoleh kantor berita Reuters dan Associated Press, Rabu (25/5/2022), disebutkan bahwa China ingin melatih aparat kepolisian negara-negara Pasifik, bekerja sama dalam ”keamanan tradisional dan non-tradisional”, dan memperluas kerja sama penegakan hukum.
China juga ingin bersama-sama mengembangkan rencana penangkapan ikan, termasuk penangkapan tuna di kawasan perairan yang melimpah seperti di Pasifik. Beijing juga akan meningkatkan kerja sama pengelolaan jaringan internet di kawasan dan mendirikan lembaga-lembaga kebudayaan Institut Konfusius. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan juga kemungkinan pembentukan Area Perdagangan Bebas China-Kepulauan Pasifik.
Untuk keperluan tersebut, Menteri Luar Negeri China Wang Yi akan menggelar pertemuan dengan koleganya dari negara-negara Kepulauan Pasifik di Fiji, 30 Mei mendatang. Wang secara maraton juga akan berkunjung dalam tur 10 hari non-stop ke delapan negara Kepulauan Pasifik mulai 26 Mei hingga 4 Juni mendatang.
Bersama delegasi beranggotakan 20 orang, ia akan mengawali kunjungan itu di Kepulauan Solomon, berlanjut ke Kiribati, Samoa, Fiji, Tonga, Vanuatu, Papua Niugini, dan Timor Leste. Ia juga dijadwalkan menggelar pertemuan virtual dengan tiga negara yang dinilai potensial menjadi tambahan negara penandatangan, yakni Kepulauan Cook, Niue, dan Mikronesia. Di Kepulauan Solomon, Wang akan menandatangani sejumlah kesepakatan, termasuk diperkirakan mencakup detail kesepakatan tentang perjanjian keamanan dengan negara itu.
AP/MARK SCHIEFELBEIN
Menteri Luar Negeri China Wang Yi (kanan) dan Menlu Kepulauan Solomon, berbincang-bincang dalam upacara merayakan hubungan diplomatik antara China dan Kepulauan Solomon di Wisma Negara Diaoyutai di Beijing, China, 21 September 2019.
Pemerintah Kepulauan Solomon pada 31 Maret 2022 mengumumkan telah menandatangani perjanjian keamanan dengan Pemerintah China. Melalui perjanjian itu, China dapat mengirim polisi, personel militer, dan angkatan bersenjata lainnya ke Kepulauan Solomon untuk membantu menjaga ketertiban sosial dan berbagai alasan lainnya. Perjanjian keamanan ini ditentang AS dan sekutunya, seperti Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Negara-negara ini khawatir, perjanjian itu memberikan pijakan awal bagi militer China untuk mengembangkan pengaruh di Pasifik.
Beijing menolak keberatan AS dan para mitranya dengan alasan pakta keamanan China-Kepulauan Solomon difokuskan pada masalah pengaturan kepolisian domestik. Beijing juga menyebut kritik negara-negara Barat dalam masalah itu merupakan bentuk campur tangan dalam urusan kebijakan kedaulatan Kepulauan Solomon.
Kementerian Luar Negeri China tidak segera memberikan komentar saat diminta tanggapan oleh kantor berita Reuters mengenai isi draf komunike kesepakatan dengan 10 negara Kepulauan Pasifik tersebut.
Visi baru China
Rancangan kesepakatan kawasan antara China dan negara-negara Kepulauan Pasifik, bertajuk ”Visi Pembangunan Bersama China-Negara-negara Kepulauan Pasifik”, itu meliputi bidang yang luas. Disebutkan, China dan negara-negara Kepulauan Pasifik akan ”meningkatkan pertukaran dan kerja sama di bidang keamanan tradisional dan non-tradisional”. ”China akan mengadakan pelatihan polisi tingkat menengah dan tingkat tinggi bagi Negara-negara Kepulauan Pasifik melalui sarana bilateral dan multilateral,” sebut draf kesepakatan itu.
Rancangan rencana aksi lima tahun menambahkan, dialog tingkat menteri mengenai kapasitas penegakan hukum dan kerja sama kepolisian akan digelar tahun 2022. Disebutkan pula, China akan memasok laboratorium-laboratorium forensik kepolisian.
AP/MARK SCHIEFELBEIN
Anggota pasukan kehormatan China berbaris dalam formasi sebelum upacara penyambutan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, di Gedung Balai Agung Rakyat di Beijing, China, 9 Oktober 2019.
Draf komunike juga menyatakan rencana kerja sama dalam jaringan data, keamanan siber, sistem bea cukai yang cerdas, dan bagi negara-negara Kepulauan Pasifik ”dapat mengambil pendekatan berimbang terhadap kemajuan teknologi, pembangunan ekonomi, dan perlindungan bagi keamanan nasional”.
Dalam bidang komunikasi, Australia dan AS berulang kali menepis upaya China untuk memasok perlengkapan jaringan 5G perusahaan telekonomunikasi Huawei di negara-negara Kepulauan Pasifik dengan menyitir alasan keamanan nasional.
Disebutkan pula dalam draf komunike bahwa China dan negara-negara Kepulauan Pasifik ”memperluas pertukaran antara pemerintah, legislatif, dan partai-partai politik”. Draf tersebut juga menegaskan bahwa negara-negara Pasifik ”dengan kuat berpegang” pada prinsip satu China, yang menyatakan Taiwan menjadi bagian dari China. Selain itu, ditegaskan pula dalam draf komunike untuk berpegang pada prinsip ”non-interferensi”, yang kerap dikutip China guna menepis tudingan negara-negara luar mengenai catatan hak asasi manusia (HAM).
Dalam rancangan kesepakatan itu, China menjanjikan investasi lebih luas di kawasan Kepulauan Pasifik dengan memobilisasi modal perusahaan swasta dan mendorong ”perusahaan-perusahaan China yang kompetitif dan memiliki reputasi bagus untuk ambil bagian dalam investasi langsung di negara-negara Kepulauan Pasifik”. China juga berjanji mengirim konsultan bahasa China, para guru, dan relawan ke kawasan itu.
AP/MARK SCHIEFELBEIN
Seorang perempuan menyeberang jalan di dekat papan reklame berisi ucapan sambutan atas kunjungan kenegaraan Presiden China Xi Jinping di Port Moresby, Papua Niugini, 15 November 2018.
Adapun dalam draf rencana aksi lima tahun, China akan memberikan 2.500 beasiswa pemerintah hingga 2025. Pada 2022, China bakal menggelar program pelatihan pertama bagi para diplomat muda dari negara-negara Kepulauan Pasifik, tergantung pada situasi pandemi.
Ditambahkan pula, China mengalokasikan tambahan bantuan 2 juta dollar AS dan mengirimkan 200 tenaga medis ke Kepulauan Pasifik guna mengatasi pandemi Covid-19, mempromosikan kesehatan, serta berjanji menanggulangi upaya penanganan perubahan iklim.
Penolakan Mikronesia
Merespons rancangan kesepakatan kawasan tersebut, Presiden Mikronesia David Panuelo menyatakan penolakannya. Dalam surat yang ditujukan pada 21 pemimpin negara Pasifik, ia menyatakan bahwa rancangan tersebut memperlihatkan keinginan China untuk mengontrol kawasan Kepulauan Pasifik dan ”mengancam stabilitas kawasan”.
Menurut Panuelo dalam surat sepanjang delapan halaman tersebut, Mikronesia akan menegaskan, komunike bersama yang telah disusun sebelumnya harus ditolak dengan alasan bisa memicu ”Perang Dingin” baru antara China dan Barat. Ia memperingatkan, di balik kata-kata yang memikat dalam draf komunike dan rencana aksi, seperti ”kesamaan” dan ”keadilan”, terselip hal-hal detail yang mengkhawatirkan.
Panuelo menyebut langkah membuka pintu terhadap China bakal memberi peluang bagi negara itu untuk mengontrol penangkapan ikan, infrastruktur komunikasi, hingga kemungkinan penyadapan surat elektronik dan sambungan telepon. Kesepakatan tersebut, tulis Panuelo, memperlihatkan ”keinginan untuk menggeser hubungan diplomasi dengan China untuk dijadikan orbit Beijing”.
AP/MARK BAKER
Bendera China berkibar di depan kantor Kedutaan Besar China di Nuku'alofa, Tonga, 8 April 2019.
Panuelo menyebut Visi Pembangunan Bersama China-Negara-negara Kepulauan Pasifik sebagai ”kesepakatan tunggal yang paling kuat dalam mengubah permainan di Pasifik dalam rentang kehidupan kita” dan ”bisa memicu Perang Dingin baru dan, dalam kondisi terburuk, Perang Dunia”.
Panuelo tidak bersedia memberikan tanggapan saat diminta komentar mengenai pernyataan dalam suratnya tersebut. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin, Rabu (25/5/2022), mengatakan bahwa dirinya belum tahu mengenai surat Panuelo. ”Tetapi, saya tidak sependapat dengan alasan bahwa kerja sama antara China dan negara-negara Kepulauan Pasifik bakal memicu Perang Dingin baru,” ujar Wang Wenbin.
Ia menambahkan, China memiliki sejarah hubungan yang panjang dengan negara-negara Kepulauan Pasifik dan sudah lama memberikan bantuan ekonomi dan teknis tanpa ikatan politik apa pun, (AP/REUTERS)