Letupan Bunga Api dalam Sekam Diplomasi di Kepulauan Solomon
Kerusuhan pecah di ibu kota Kepulauan Solomon akibat masalah korupsi di pemerintahan dan pengaruh dari sengketa diplomasi antara Taiwan dan China.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
HONIARA, SABTU — Kerusuhan di ibu kota Kepulauan Solomon yang berlangsung selama tiga hari berakhir dengan penembakan gas air mata dan peluru karet oleh aparat keamanan. Kerusuhan itu merupakan ”ledakan” bom waktu yang dipicu oleh korupsi, masalah pengangguran, dan permasalahan hubungan internasional negara di Kepulauan Pasifik ini.
Unjuk rasa awalnya berlangsung damai, tetapi kemudian massa yang panas menyerbu gedung parlemen di Honiara dan daerah Pecinan. Pada hari Sabtu (27/11/2021), kepolisian Honiara menemukan tiga jasad yang terbakar di salah satu pertokoan di Pecinan. Penyebab kematian masih diselidiki.
Australia dan Papua Niugini mengulurkan tangan untuk membantu mengembalikan keamanan. Australia mengirim 100 personel polisi, sementara Papua Niugini mengirim 50 orang. Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne menekankan bahwa Australia tidak akan ikut campur dengan masalah politik di Kepulauan Solomon, tetapi sebatas membantu aparat penegak hukum lokal.
Masalah terpendam
Menelisik ke belakang, salah satu akar terjadi kerusuhan di Honiara itu mengarah pada kusutnya politik dalam dan luar negeri Kepulauan Solomon.
Pada 2016, surat kabar Solomon Star menerbitkan tajuk yang mengkritisi betapa bergantungnya Kepulauan Solomon pada bantuan dari luar negeri. Sejauh ini, negara donatur terbesar adalah Australia melalui program pemberdayaan negara-negara di Pasifik. Negara lain yang sering mengulurkan tangan adalah Taiwan yang menjalin hubungan diplomasi dengan Kepulauan Solomon selama 36 tahun.
Ketergantungan Kepulauan Solomon pada bantuan asing ini dikhawatirkan menjadi bumerang. Apalagi, dengan mengakui Taiwan sebagai negara yang berdaulat, Solomon berisiko terperangkap di jaring perseteruan Taiwan dengan China. Dewan Keamanan Nasional Taiwan (NCS) sudah memperkirakan hal ini. Mereka mewanti-wanti Presiden Tsai Ing-wen bahwa apabila uang menjadi kadar mutu diplomasi, Taiwan akan kalah dari China.
Hal tersebut terjadi pada 2019 ketika Kepulauan Solomon memutuskan hubungan dengan Taiwan. Tidak berapa lama, Kiribati melakukan hal serupa. NCS mengatakan, Taiwan berisiko kehilangan dua dari 15 negara yang mengakui kedaulatan mereka.
Sejak 2016 sudah enam negara memutuskan hubungan diplomasi dengan Taiwan karena beralih mengakui prinsip Satu China. Umumnya, Taiwan menjalin diplomasi dengan negara-negara kecil yang banyak bergantung pada bantuan asing.
Dalam hubungan dengan Kepulauan Solomon, Beijing menawarkan bantuan 500 juta dollar Amerika Serikat kepada pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Manasseh Sogavare. Wujud bantuan tersebut belum diketahui meskipun dugaannya ialah untuk pembangunan infrastruktur.
Keputusan Sogavare diambil tanpa berkonsultasi dengan masyarakat. Tokoh yang paling keras menentang adalah Menteri Besar Provinsi Malaita Daniel Suidani. ”Kita berisiko jatuh ke jebakan utang dengan China. Politik dalam negeri Kepulauan Solomon nanti bisa dikendalikan oleh pihak asing,” ujarnya kepada media Australia, ABC News.
Sejatinya, para pakar politik setempat dan internasional telah menduga bahwa suatu saat kerusuhan akan pecah. Pakar politik dari negara tersebut, Transform Aqorau, memaparkan dalam laman Devpolicy bahwa faktor korupsi dan ketidakmampuan pemerintah mengelola negara juga sama fatalnya dengan ketergantungan terhadap bantuan asing. Pembangunan lamban sekali di Kepulauan Solomon, bisa dilihat dari tingkat pendidikan masyarakatnya.
Berdasarkan data Bank Dunia, 70 persen dari 652.857 penduduk Kepulauan Solomon berusia di bawah 30 tahun. Sebanyak 40 persen dari jumlah itu berusia di bawah 14 tahun. Angka pengangguran tinggi dan negara ini belum mempunyai program wajib belajar. Hanya 60 persen anak usia sekolah yang menikmati akses ke lembaga pendidikan.
Modal yang masuk ke negara itu umumnya tidak hanya dari Taiwan, tetapi juga dari China, Filipina, dan Malaysia. Perusahaan-perusahaan asing ini jarang mempekerjakan penduduk lokal karena persoalan kompetensi profesional. Mereka mendatangkan orang-orang asing untuk mengambil dan mengolah hasil sumber daya alam, sementara masyarakat Kepulauan Solomon hanya bisa melihat dari pinggiran.
”Benahi dulu diri sendiri, baru kita bisa benahi politik luar negeri kita,” kata Aqorau. (AFP/AP)