Teknologi Pangan dan Digital, Cara Warga Dunia Atasi Makanan Berlebih
Jutaan warga dunia kelaparan. Di sisi lain, dunia juga berlimpah makanan. Teknologi bisa membantu mengurangi kelebihan bahan pangan dan makanan untuk membantu sesama warga yang membutuhkan.
Ranting berduri menjadi pengganti bunga untuk ditabur di dua gundukan tanah, tempat peristirahatan terakhir cucu kembar Halima Hassan Abdullahi. Tubuh mungil Ebla dan Abdiya berada di bawah gundukan tanah itu. Keduanya hanya mampu bertahan hidup selama sehari di dunia.
Lemah karena kelaparan, sang ibu melahirkan dua bayi perempuan kembar sebulan lebih awal. Waktu kelahiran sekitar delapan minggu setelah keluarga besar mereka mengungsi ke Kamp Kaxareey di Kota Dollow, Somalia. Kamp itu kini dihuni sekitar 13.000 orang.
Keluarga Abdullahi bukan keluarga kecil. Kini, dia harus menghidupi 13 anggota keluarganya hanya sebagai pencuci pakaian. Penghasilan 1,5 dollar AS atau sekitar Rp 21.800 per hari tidak cukup untuk memberi makan semuanya. Jika nasibnya sedang baik, banyak orang menggunakan jasanya untuk mencuci pakaian. Paling banyak, segenggam bubur jagung bisa menjadi pengganjal perut mereka selama sehari.
Baca Juga: Bencana Kelaparan Mengancam Dunia di Tengah Perang Rusia-Ukraina
Penghasilan Abdullahi sangat tidak cukup untuk membiayai hidup keluarga besar. Apalagi, ibu dari Ebla dan Abdiya membutuhkan obat-obatan untuk pemulihan. Ebla dan Abdiya tidak mendapatkan cukup makan dan nutrisi untuk bertahan hidup. Menantunya juga tidak berdaya untuk menghasilkan air susu ibu, sumber kehidupan yang dibutuhkan kedua buah hatinya.
”Abdiya,” kata Abdullahi pelan, mencoba membangunkannya. Namun, bayi mungil itu tidak menoleh.
Kontras
Cerita Abdullahi, menantu, dan dua cucunya hanyalah bagian kecil dari kompleksnya situasi di Somalia. Abdullahi termasuk dalam 6 juta warga Somalia yang membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup.
Dalam Laporan Global Krisis Pangan yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Program Pangan Dunia (WFP) dan Uni Eropa, Mei 2022, disebutkan, 193 juta orang di 53 negara tak memiliki cukup bahan pangan untuk dikonsumsi. Tiga faktor yang menyebabkan hal itu adalah konflik, cuaca ekstrem, dan pandemi Covid-19.
Di seluruh Afrika, kerawanan pangan meningkat. Lebih dari 2 juta anak berisiko mati kelaparan di kawasan Tanduk Afrika. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres bercerita, di Sahel, dia bertemu dengan keluarga yang bahkan tidak tahu dari mana bahan makanan bisa mereka dapatkan hari itu.
Baca Juga: ”Melerai” Duet Mematikan: Konflik dan Kelaparan
Pada saat yang sama, warga dunia sebenarnya dalam kondisi berlimpah makanan. Laporan studi oleh World Wild Fund Inggris tahun 2021 menemukan, sebanyak 1,2 miliar ton bahan pangan, terutama yang masih berada di lahan pertanian atau tingkat produsen dan masih laik dikonsumsi, terbuang. Nominalnya diperkirakan mencapai 370 miliar dollar Amerika Serikat.
Sementara menurut Laporan Indeks Limbah Makanan Program Lingkungan PBB (UNEP) tahun 2021, sebanyak 222 juta ton bahan pangan terbuang oleh konsumen di negara-negara kaya. Kalau melihat jenisnya, makanan yang banyak terbuang adalah produk umbi-umbian, sayuran, dan buah-buahan yang mencapai hampir 50 persen; makanan berbasis sereal atau biji-bijian dan ikan mencapai 30 persen; serta minyak sayur, daging, dan susu sebanyak 20 persen. Apabila dikalkulasi, nilai limbah makanan diperkirakan mencapai 990 miliar dollar AS.
Budi Wijanarko, Guru Besar Unika Soegijapranata, Semarang, dalam kolomnya di harian Kompas, 30 Juli 2019, menyebut, salah satu pemicu limbah pangan adalah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat kota. Dia menyatakan, dalam kehidupan sehari-hari, atas nama keramahan, tren, dan gengsi, makanan yang disajikan dalam berbagai acara cenderung berlebih. Begitu pula makanan yang disediakan di berbagai restoran dan hotel selalu berlimpah.
”Jika tuan rumah atau penyedia hidangan cenderung menyediakan dalam jumlah berlebih, di ujung yang lain acap kali atas nama sopan santun atau harga diri para tamu tidak menyantap secara tuntas makanan yang mereka ambil atau pesan,” katanya.
Amal dan teknologi
Agar bahan pangan atau makanan yang masih laik dikonsumsi tidak terbuang percuma, sejumlah lembaga terbiasa mengumpulkan bahan-bahan tersebut dan dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Di Inggris, Hubbub, sebuah badan amal lingkungan, memilih memasang lemari pendingin di ruang-ruang publik, terutama di pusat-pusat komunitas dan gereja. Lemari pendingin itu digunakan restoran, supermarket, atau juru masak menyimpan bahan makanan atau makanan untuk disumbangkan. Sistem pendingin memastikan bahan makanan itu tetap segar dan bisa dikonsumsi. Gratis.
Baca Juga: 193 Juta Orang Tak Punya Cukup Makanan
Stine Wilhemsen, salah satu aktivis di Hubbbub, mengatakan, di tengah pandemi, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mendistribusikan kembali bahan makanan atau makanan olahan yang mudah rusak, seperti roti, buah, dan sayuran, yang paling sering dibuang konsumen di Inggris. Dia menilai, lemari pendingin komunitas ini menjadi solusi bagus.
Pada 2020, organisasi ini baru memasang sekitar 50 lemari pendingin komunitas di seluruh Inggris. Jumlahnya terus bertambah. Dikutip dari laman resminya, mereka kini telah memasang sekitar 530 lemari pendingin di seluruh wilayah Inggris dan membagikan sekitar 3.150 ton kelebihan bahan pangan atau makanan kepada sekitar 250.000 orang yang memanfaatkan lemari pendingin komunitas.
Sementara di Jerman, aplikasi Too Good Go menjadi andalan banyak warga untuk mendapatkan makanan dengan harga diskon hingga 50 persen. Annekathrin Fiesinger, perempuan berusia 34 tahun yang tengah mengejar gelar dalam ilmu lingkungan hidup, memanfaatkan aplikasi yang diluncurkan tahun 2015 ini untuk mencari makanan dengan harga diskon. ”Bagi saya, ini semua tentang lingkungan. Kita tidak bisa melanjutkan semua pemborosan ini,” kata Fiesinger.
Hanya berbekal gawai pintar dan fitur sistem pemosisian global (GPS), Fiesinger memindai lokasi yang dekat dengan tempatnya berada untuk mencari tahu lokasi restoran, supermarket, atau swalayan yang memiliki makanan dengan harga diskon.
”Ini sangat mudah: cukup unduh aplikasinya dan, dalam perjalanan pulang, ambil yang paling Anda sukai,” ujarnya, sambil menelusuri daftar panjang foto yang mengiklankan makanan vegetarian, makanan panggang, dan makan siang spesial yang tidak terjual.
Baca Juga: Harga Pangan Global Capai Rekor Tertinggi Satu Dekade
Aplikasi ini sejatinya dikembangkan di Denmark oleh beberapa pengusaha rintisan tahun 2015. Selain di negara asalnya, aplikasi ini juga bisa digunakan di 10 negara Eropa lainnya, seperti Perancis, Inggris, Polandia, dan Jerman. Menurut Juru Bicara Too Good Go Franziska Lienert, aplikasi ini telah diunduh lebih dari 5.000 orang setiap hari di Jerman. Diperkirakan, 10 juta pengguna telah memanfaatkan aplikasi ini dan 23.300 bisnis makanan ikut berpartisipasi di dalamnya. Lienert mengklaim aplikasi ini telah membantu 14 juta makanan laik santap tak terbuang sia-sia. Bahkan, pengusaha setidaknya bisa balik modal.
Menurut Pemerintah Jerman, rata-rata setiap warganya membuang lebih dari 55 kilogram makanan dalam satu tahun atau setara dengan 11 juta ton makanan per tahun. Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel, Februari lalu, meminta seluruh warga Jerman mendukung inisiatif yang membantu menghindarkan makanan atau bahan pangan laik konsumsi terbuang sia-sia. ”Saya pikir setiap orang dapat berkontribusi untuk tujuan besar ini. Digitalisasi dapat membantu seseorang bisa berbagi makanan,” katanya.
Teknologi tidak hanya bisa digunakan untuk membantu masalah terbuangnya bahan pangan di hilir, tetapi juga di hulu. Dikutip dari laman BBC, Stephanie Walker, ilmuwan tanaman di New Mexico, tengah mengembangkan tanaman cabai yang bisa beradaptasi dengan mesin panen yang dikendalikan robot.
Menurut Walker, cabai dan paprika sering kali sulit dipanen oleh robot karena buahnya tertinggal di dahan. Bahkan, cabai hijau, kata Walker, sulit dipetik apabila belum matang. ”Cabai hijau New Mexico sepenuhnya dipanen dengan tangan karena mesin pemanen terlalu banyak memecahkan buah, terlalu banyak yang tertinggal di batang, dan tanaman sering tumbang,” kata Walker.
Situasi itu membuat Walker menyadari cabailah yang harus diubah, terutama ketika masa panen. Jadi, dia membiakkan tanaman baru, NuMex Odyssey, cabai bertangkai tunggal yang kuat dengan buah yang terletak lebih tinggi di tanaman, yang khusus dikembangkan untuk efisiensi panen mekanis.
Setelah buah dipetik, tanaman yang tersisa mungkin hanya memiliki sedikit nilai bagi petani. Akan tetapi, beberapa kalangan memanfaatkan produk sampingan pertanian yang akan terbuang sia-sia ini, mulai dari produk perawatan kulit hingga tekstil. Di Inggris dan Afrika Timur, serangga yang memakan limbah sayuran menjadi makanan berprotein tinggi untuk hewan dan manusia. Adapun di AS, sisa kedelai dari pembuatan tahu diubah menjadi tepung bebas gluten.
Emma Chow dari lembaga Inisiatif Makanan Yayasan Ellen McArthur mengatakan, pasar produk makanan daur ulang sangat menjanjikan, dengan kapital hingga 46 miliar dollar AS. ”Kita bisa mengubah residu pertanian dan produk sampingan tingkat pertanian menjadi bahan, memanfaatkan apa yang sudah kita hasilkan,” katanya.
Baca Juga: Krisis Energi Berdampak pada Ketersediaan Pangan Dunia
Padi, misalnya. Dari 1 ton beras yang dihasilkan, produk lain yang bisa dihasilkan berupa 1 ton jerami. Ini bisa dimanfaatkan untuk alas tidur, pakan ternak, bahan bangunan, atau kembali sebagai media tanam. Jerami padi dapat diproses untuk menghasilkan biogas, menyediakan energi untuk keperluan rumah tangga dan komersial. Jerami yang dicerna juga menjadi pupuk yang bergizi dan menyediakan substrat yang baik untuk pertumbuhan jamur sehingga petani dapat memperoleh penghasilan tambahan.
”Sekitar 800 juta ton jerami padi diproduksi secara global setiap tahun,” kata Patricia Thornley, profesor teknik dan ilmu terapan di Aston University di Birmingham, Inggris.
Banyak pihak ingin berpartisipasi dalam program amal dan lingkungan, terutama untuk mengurangi makanan terbuang sia-sia. Di antaranya Armin Doetsch, pemilik restoran di Berlin, Jerman. ”Kami sering memiliki sisa dari makan siang spesial kami. Daripada membuangnya, kami lebih suka memberikannya meski hanya dengan sedikit uang,” katanya.
Dia kemudian menumpuk sepiring pasta Spaetzle dengan jamur, yang harganya 3,80 euro, dari harga semula 6,50 euro, ke dalam wadah yang dibawa Fiesinger dan menyerahkannya sambil tersenyum. ”Kami juga ingin menghindari limbah kemasan ekstra. Semua orang yang membawa kotak makan sendiri mendapat es krim gratis sebagai hadiah,” kata Doetsch. (THOMSON REUTERS FOUNDATION/AP)