Coba Jual Tujuh Warga Filipina ke Timur Tengah, Empat WNI Ditangkap
Dua warga Sulawesi Utara dan dua warga Jawa Barat diduga terlibat dalam sindikat internasional perdagangan orang. Korbannya adalah tujuh perempuan berkewarganegaraan Filipina.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Petugas imigrasi berjaga di meja resepsionis Kantor Imigrasi Kelas I TPI Manado, Sulawesi Utara, Rabu (12/2/2020). Sebanyak 27 warga negara China telah mengajukan permohonan untuk memperpanjang masa tinggal.
MANADO, KOMPAS — Dua warga Sulawesi Utara dan dua warga Jawa Barat diduga terlibat dalam sindikat internasional perdagangan orang. Korbannya adalah tujuh perempuan berkewarganegaraan Filipina yang kini telah berada dalam perlindungan kepolisian di Kepulauan Sangihe.
Dua tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang berasal dari Sulut adalah MBM (51), warga Kepulauan Sangihe, dan MA (29), warga Manado. Keduanya ditangkap pada Februari 2022 di Sangihe. Adapun SAM (42) dan AN (47), warga Subang, Jawa Barat, ditangkap pada akhir April 2022 di Subang. Semua tersangka adalah laki-laki.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Kepolisian Resor (Polres) Kepulauan Sangihe Inspektur Satu Revianto Anriz, Jumat (6/5/2022), mengatakan, berkas penyidikan MBM dan MA telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Sangihe, sedangkan penyidikan SAM dan AN masih berlangsung.
”Mereka semua dikenai pasal penyelundupan manusia yang diatur Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan UU No 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO. Intinya sama, berkasnya saja yang berbeda karena dua kelompok itu ditangkap pada waktu yang berbeda,” kata Revianto ketika dihubungi dari Manado.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Ilustrasi: Polisi khusus imigrasi mengawasi warga negara Filipina yang akan dideportasi dari Pelabuhan Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (12/12/2020). Sebagian dari 29 orang yang dideportasi adalah nelayan tradisional dan anak buah kapal yang diduga pelaku perikanan ilegal.
Ketujuh korban adalah perempuan Filipina yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka pun terdorong untuk mencari pekerjaan di luar negeri. ”Karena faktor ekonomi, mereka berniat menjadi asisten rumah tangga di Timur Tengah,” lanjut Revianto.
Revianto mengatakan, MBM dan MA bertugas membawa ketujuh korban dari Kota General Santos di selatan Filipina masuk ke teritori Indonesia dengan perahu motor sederhana (pump boat). Mereka tidak melewati pos lintas batas di Pulau Marore maupun Miangas dan tidak memiliki dokumen keimigrasian resmi.
Setelah sempat singgah di Pulau Sangihe, ketujuh korban kemudian menginap di sebuah hotel di Manado selama satu malam sebelum bertolak ke Subang. Namun, kepolisian lebih dulu menahan ketujuh perempuan itu sebelum mereka berangkat ke negara tujuan. Ketujuh wanita itu pun dibawa ke Tahuna, Sangihe, untuk pemeriksaan.
Revianto mengatakan, penggagalan itu dimungkinkan berkat informasi dari pelapor yang identitasnya dirahasiakan. ”Pembuat laporan adalah masyarakat setempat, hanya saja tidak bisa kami ungkap identitasnya. Intinya, dia punya hubungan baik dengan Polri,” ujarnya.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Ilustrasi: Warga negara Filipina yang akan dideportasi menuju kapal di Pelabuhan Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (12/12/2020). Sebagian dari 29 orang yang dideportasi adalah nelayan tradisional dan anak buah kapal yang diduga pelaku perikanan ilegal.
Pemeriksaan kepolisian kemudian mengungkap, keempat tersangka adalah anggota dari sebuah sindikat yang berpusat di Lebanon. Pengendali komplotan tersebut sempat mengirimkan uang Rp 80 juta untuk keperluan operasional di Indonesia. Uang itu digunakan untuk membayar hotel hingga membeli tiket pesawat. Polisi menyita Rp 26 juta yang masih tersisa.
Pengendali komplotan tersebut sempat mengirimkan uang Rp 80 juta untuk keperluan operasional di Indonesia.
Keempat tersangka terancam hukuman penjara paling lama 15 tahun dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar karena melanggar UU Keimigrasian serta penjara paling lama 15 tahun dengan denda Rp 600 juta karena melanggar UU Pemberantasan TPPO. ”Proses hukum masih berjalan. Kami juga menggelar investigasi gabungan dengan Divisi Keimigrasian Kantor Kementerian Hukum dan HAM Sulut,” kata Revianto.
Kini, tujuh korban masih tinggal di Kantor Polres Sangihe. Mereka dalam keadaan baik dan sehat. Menurut Revianto, mereka tidak mengalami kekerasan fisik dalam bentuk apa pun selama proses pemberangkatan.
Kepala Divisi Keimigrasian Kantor Kemenkumham Sulut Friece Sumolang mengatakan, mereka akan segera dideportasi ketika penyidikan oleh Polres Sangihe selesai. Proses sedikit tersendat seiring libur dan cuti bersama Idul Fitri 1443 Hijriah.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Ilustrasi: Mobil Konsulat Jenderal Filipina di Manado memimpin dua bus yang membawa 29 warga negara Filipina ke Pelabuhan Manado, Sulawesi Utara, untuk dideportasi, Sabtu (12/12/2020). Sebagian yang dideportasi adalah nelayan tradisional dan anak buah kapal yang diduga pelaku perikanan ilegal.
”Kami akan pulangkan sesuai prosedur. Tentunya akan bekerja sama dengan Konsulat Jenderal Filipina di Manado,” katanya.
Menurut Friece, ketujuh korban masuk ke Indonesia secara ilegal tanpa melalui pos lintas batas di pulau-pulau terluar Sangihe maupun Talaud. Ia pun memastikan tidak ada petugas yang terlibat persekongkolan dengan para pelaku TPPO.
”Tidak ada (petugas imigrasi yang terlibat). Kalaupun ada, ya, pasti sudah kami amankan saat ini. Korban dan pelaku juga melakukan ini tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau ada petugas yang tahu, pemberangkatan mereka pasti akan digagalkan,” papar Friece.
Konsulat Jenderal Filipina di Manado telah dihubungi untuk dimintai komentar. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan.