Polri Diminta Ambil Alih Kasus 17 Anak Korban TPPO di Sikka
Tindak pidana perdagangan orang perlu mendapat perhatian penegak hukum dan semua pemangku kebijakan, termasuk masyarakat. Sejumlah anak, terutama anak perempuan, hingga kini menjadi korban TPPO dengan berbagai modus.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Markas Besar Kepolisian Negara RI diminta segera mengambil alih dan menuntaskan penanganan kasus tindak pidana perdagangan orang di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, dengan 17 anak menjadi korban. Sebab, hingga kini proses hukum atas kasus yang sudah berjalan hingga sembilan bulan berjalan lambat.
Selain proses hukum yang belum menyentuh para terduga pelaku, sampai saat ini nasib empat dari anak korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menghilang, sejak sembilan bulan lalu, tidak jelas.
Peristiwa tersebut sudah dilaporkan kepada Kepolisian Daerah NTT dan Kepolisian Resor Sikka. Namun hingga saat ini keempat anak tersebut belum juga ditemukan.
Sebelumnya, ke-17 anak korban TPPO dititipkan Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur di shelter Santa Monica TRUK-F (Tim untuk Relawan Kemanusiaan-Flores) di Sikka. Namun, pada 27 Juni 2021 empat anak di antaranya menghilang (diduga melarikan diri setelah berhubungan dengan terduga pelaku).
”Hilangnya empat anak ini secara misterius dari shelter semakin meyakinkan kami tentang adanya jaringan di balik kasus ini,” ujar Suster Fransiska Imakulata SSpS, dari TRUK-F dan Jaringan Hak Asasi Manusia (HAM), Sikka, saat memberikan keterangan pers bersama Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Rabu (30/4/2022).
Fransiska menyatakan hilangnya empat anak tersebut diduga terkait dua pemilik tempat hiburan (Pub Libra dan Pub 999) yang diduga sebagai pelaku. Sejak awal proses pendampingan, TRUK-F dan Jaringan HAM Sikka meyakini jika kasus tersebut adalah TPPO.
Hilangnya empat anak ini secara misterius dari shelter semakin meyakinkan kami tentang adanya jaringan di balik kasus ini.
Selain advokasi pada korban, dan mendorong proses hukum, pihaknya menyampaikan kasus tersebut kepada pemerintah daerah setempat. Sejauh ini, baru satu dari tiga terduga pelaku yang diproses hukum, yakni pemilik Pub Bintang dan Sasari. ”Terduga pelaku lainnya belum tersentuh hukum sama sekali. Bahkan mereka masih dengan leluasa membuka pubnya,” kata Fransiska yang didampingi Sivlan Angi (pendamping korban), dan sejumlah aktivis TRUK-F.
Dari penjelasan kepolisian, proses hukum terhadap terduga lain belum bisa dilakukan karena masih kurang alat bukti sebab empat korban sebagai saksi kunci kasus tersebut hilang. Melihat lambannya proses hukum kasus tersebut, TRUK-F dan Jaringan HAM Sikka meminta Polri turun tangan.
Meminta dukungan pusat
Bahkan, pekan lalu, TRUK-F dan Jaringan HAM Sikka menemui Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), meminta para wakil rakyat ikut mengawasi penegakan hukum atas kasus TPPO. Mereka juga menemui Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan mendapat informasi bahwa 7 dari 17 anak mendapat perlindungan LPSK. Adapun anak-anak yang lainnya menolak karena tidak disetujui kedua orangtua/keluarga.
Selain itu, tim advokasi menemui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Polri. Adapun Polri menyatakan akan melakukan asistensi ke NTT dan akan mengawalkasus tersebut agar kasus ini dapat diselesaikan.
”Kami berharap sindikat kasus TPPO anak dapat dibongkar dan menjadi pintu masuk untuk membongkar kejahatan perdagangan orang di NTT yang selama ini terkesan tidak tuntas dalam penegakan hukumnya,” kata Fransiska seraya mencontohkan bagaimana pihaknya berulang kali mempertanyakan proses hukum kasus TPPO tersebut.
Anak-anak yang menjadi korban TPPO di Sikka, modusnya adalah penjeratan utang. Mereka diiming-imingi bekerja di pub lalu terjerat utang. Pelaku menyasar anak-anak dengan pendidikan rendah, atau anak-anak yang bermasalah dalam keluarga bermasalah.
Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, berharap kasus tersebut mendapat perhatian media sehingga bisa mengawal proses hukum dan mendorong penegak hukum dan pemangku kebijakan untuk melindungi para korban TPPO. Dukungan untuk mengungkapkan kasus TPPO tersebut juga disampaikan Komisioner Komnas Perempuan, Dewi Kanti.
Nahar, Deputi Perlindungan Khusus Anak (PKA) Kementerian PPPA, menyatakan, pihaknya terus mendorong proses hukum kasus tersebut agar ditindaklanjuti Polda NTT. Polisi diharapkan berupaya menemukan empat korban yang melarikan diri. Pendampingan anak-anak korban juga menjadi perhatian.