Sebut Hitler Berdarah Yahudi, Israel Tuntut Rusia Meminta Maaf
Perkataan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dinilai antisemitis. Israel menuntut permintaan maaf resmi dari Rusia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
TEL AVIV, SELASA – Israel mengecam Rusia dan menuntut permintaan maaf secara formal dari “Negara Beruang Merah”. Kecaman dan tuntutan itu muncul setelah Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengutarakan kalimat yang dianggap menghina orang Yahudi.
“Memiliki pemimpin beragama ataupun beretnis Yahudi tidak ada artinya. Justru, banyak orang Yahudi yang antisemitik. Contohnya ialah Adolf Hitler yang katanya berdarah Yahudi,” tutur Lavrov dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi Italia pada hari Minggu (1/5/2022).
Perkataan tersebut sontak memancing kemarahan Israel dan berisiko mengubah hubungan bilateral Israel-Ukraina yang selama terjadinya konflik Rusia dengan Ukraina, Israel termasuk lunak terhadap Rusia.
Sejumlah pemimpin Israel menyatakan kekecewaan mereka. Apalagi, komunitas Yahudi baru saja memperingati Tragedi Holocaust, peristiwa sepanjang Perang Dunia II yang menewaskan jutaan warga Yahudi di Eropa akibat ideologi Nazi. Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid yang pertama angkat suara.
“Menuduh orang Yahudi sebagai antisemitik adalah penghinaan terendah,” cuit Lapid yang orangtua serta kakek neneknya merupakan penyintas Holocaust di Twitter.
Dilansir dari surat kabar Jerusalem Post hari Senin (2/5/2022), Perdana Menteri Israel Naftali Bennet mengeluarkan pernyataan resmi menuntut Rusia segera meminta maaf secara resmi kepada Israel maupun komunitas Yahudi global. Menggunakan tragedi kemanusiaan Holocaust sebagai alat politik sangat tidak etis. Padahal, di awal penyerangan Rusia ke Ukraina, Bennett justru membujuk Zelenskyy agar menyerah kepada Rusia.
Pernyataan Lavrov itu muncul saat ia ditanya mengenai gagasan “denazifikasi” Ukraina atau upaya pembebasan negara tersebut dari ideologi Nazi dan fasisme. Hal ini karena Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy adalah seorang Yahudi dan ia memenangi pemilihan umum pada tahun 2019. Melihat situasi itu apakah masih tepat memakai alasan denazifikasi.
Menlu Ukraina Dmytro Kuleba turut mendapat angin dari pernyataan kontroversial Lavrov tersebut. Ia mencuit bahwa ini adalah bukti Rusia memandang rendah bangsa-bangsa lain, termasuk negara yang selama ini bersahabat dengan mereka.
Rumor bahwa Hitler keturunan Yahudi sejatinya berasal dari buku yang ditulis oleh pengacaranya, Hans Frank di tahun 1953. Berbagai kajian sejarah membuktikan bahwa kabar itu tidak benar dan Frank menciptakannya untuk memperbaiki citra Hitler.
Kompleks
Di sisi lain, alasan Rusia menginvasi Ukraina demi denazifikasi negara itu bukan tanpa dasar. Hal ini karena Ukraina memiliki latar belakang yang kompleks mengenai politik sayap kanan yang ekstrem dan pandangan antisemitik. Fakta ini kemudian dimanfaatkan Rusia untuk menjadi salah satu dalih pembenaran serangan mereka ke Ukraina.
Ukraina memulai kampanye besar-besaran untuk menggerus ideologi sayap kanan sejak tahun 2015. Sebelumnya, di tahun 2014, wilayah Semenanjung Crimea di Ukraina dicaplok oleh Rusia. Di wilayah ini terdapat kelompok separatis yang merupakan warga negara Ukraina, tetapi memilih bergabung dengan Rusia karena alasan kedekatan budaya.
Salah satu bagian dari tentara garis depan Ukraina yang bertempur melawan pasukan separatis dukungan Rusia adalah Batalyon Azov yang berbasis di kota Mariupol. Batalyon ini terkenal menganut ideologi sayap kanan ekstrem. Bahkan, simbol batalyon adalah wolfsangel. Ini adalah simbol pemburu serigala dari abad pertengahan Eropa yang kemudian identik sebagai simbol salah satu resimen Nazi selama Perang Dunia II.
Pada tahun 2015, surat kabar Amerika Serikat, USA Today, menerbitkan liputan khusus mengenai Batalyon Azov. Secara gamblang, para perwira di batalyon itu mengatakan bahwa lebih dari separuh anggota mereka adalah neo-Nazi maupun penganut ideologi sayap kanan. Akibatnya, Kongres AS sempat menghentikan bantuan untuk mereka.
Selain warga Ukraina, Batalyon Azov juga merekrut orang-orang dari luar negeri yang memercayai ideologi ekstrem kanan. Surat kabar Australia, The Age, pada Agustus 2021 menerbitkan artikel bahwa Pemerintah Federal Australia memblokir paspor salah seorang warganya yang terbukti neo-Nazi. Warga yang merupakan lulusan akademi militer lokal tersebut hendak terbang ke Ukraina untuk bergabung dengan Batalyon Azov.
Pascapencaplokan Crimea oleh Rusia, Batalyon Azov digabung ke dalam Garda Nasional Ukraina. Pemerintah mulai mengampanyekan aparat penegak hukum yang adil dan menganyomi warga, terlepas dari latar belakang agama serta etnis. Akan tetapi, sejak penyerangan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022, sentimen sayap kanan kembali membahana.
“Semangat nasionalisme kini menjadi sangat ekstrem. Setelah semangat anti-Rusia, ada risiko menjalar kepada ideologi kanan yang sangat kuat,” kata Georgiy Kassianov, ahli politik Ukraina yang tengah menjadi dosen tamu di Universitas Lublin, Polandia, ketika diwawancara oleh kantor berita Israel, Haaretz.
Salah satu contohnya ialah derusifikasi jalan-jalan serta gedung-gedung. Pemerintah Ukraina hendak mengganti nama-nama jalan ataupun gedung yang awalnya dinamai sesuai tokoh politik ataupun budaya Rusia dengan tokoh-tokoh asli Ukraina. Permasalahannya, ada beberapa nama tokoh Ukraina yang antisemitik diusulkan sebagai nama jalan. Misalnya Andriy Melnyk dan Yevhen Onatsky dari Organisasi Nasionalis Ukraina (OUN) yang dibentuk tahun 1929.
“OUN berideologi fasis. Mereka berafiliasi dengan Nazi selama Perang Dunia II. Melalui kelompok militernya yang disebut UPA, mereka membantu tentara Jerman membantai 800.000 warga Yahudi Polandia,” papar sejarawan Jerman Grzegorz Rossolinski-Liebe.
Kekhawatiran juga diutarakan oleh Yad Vashem, lembaga pengelola museum maupun pusat kajian peringatan Holocaust global. Direktur Pusat Kajian Holocaust di Wilayah Soviet, Arkadi Zeltser, memahami bahwa Ukraina ingin melepaskan diri dari pengaruh Rusia. Akan tetapi, sebaiknya Pemerintah Ukraina juga memiliki kepekaan agar tokoh-tokoh sejarah kontroversial yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia tidak diabadikan namanya. (AP)