PBB Desak Israel Batalkan Rencana Aneksasi Wilayah Tepi Barat
PBB mendesak Israel menghentikan rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat yang didukung Amerika Serikat. Konflik tidak bisa dihindari apabila Israel tetap ngotot melaksanakan rencana perluasan wilayah tersebut.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak pemerintahan Israel yang baru, di bawah dukung Pemerintah Amerika Serikat, membatalkan rencananya untuk merealisasikan pencaplokan wilayah Tepi Barat. Rencana itu merupakan pelanggaran hukum internasional dan membahayakan solusi dua negara serta dapat meningkatkan kembali konflik di kawasan.
Utusan Khusus PBB untuk Timur Tengah Nikolay Mladenov juga meminta AS, Rusia, dan Uni Eropa (UE) bekerja sama memecahkan masalah ini dan mencoba meluncurkan proposal baru yang memungkinkan para pihak yang bersengketa dan negara-negara mediator mencari solusi untuk perdamaian. Apabila kondisi itu diabaikan, Mladenov menilai, akan terjadi pukulan dahsyat bagi stabilitas kawasan Timur Tengah.
”Israel harus meninggalkan rencana pencaplokan itu. Para pemimpin Palestina juga harus terlibat kembali dengan semua negara mediator,” kata Mladenov, Kamis (21/5/2020).
Mladenov menyatakan, dalam beberapa pekan ke depan, Dewan Keamanan PBB harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk tetap menjaga kestabilan di kawasan tersebut dengan tetap berpegang pada opsi solusi dua negara. ”Upaya ini harus segera dimulai. Kita tidak boleh menyerah,” ujarnya.
Mladenov menyatakan, tindakan Israel yang didukung oleh AS untuk mencaplok wilayah Tepi Barat adalah tindakan sepihak yang merusak dan memecah belah. Dan, lebih jauh lagi, tindakan tersebut menyebabkan perdamaian di wilayah itu menjadi sebuah ilusi semata.
”Nasib rakyat Palestina dan Israel tidak boleh ditentukan oleh tindakan sepihak yang merusak yang memecah belah dan mungkin menempatkan perdamaian di luar jangkauan kita di masa hidup kita,” kata Mladenov.
Desakan yang sama disampaikan pemerintah Perancis dan Pemerintah China. Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian menyatakan langkah pencaplokan yang direncanakan Israel dan didukung oleh AS adalah sebuah tindakan pelanggaran hukum internasional yang serius. Perancis dan Uni Eropa akan mengambil langkah bersama untuk mencegah dan mengambil langkah balasan jika Israel tetap melakukan keinginannya itu.
”Beberapa hari terakhir kami telah melakukan pembicaraan dengan kolega-kolega di Eropa dengan sebuah pandangan yang sama untuk melakukan tindakan pencegahan dan melakukan tindakan balasan apabila rencana itu tetap dipaksakan untuk dilaksanakan,” kata Le Drian.
Sementara, melalui pernyataan tertulis, Wakil Tetap Pemerintah China untuk PBB Zhang Jun mengatakan, keberadaan Negara Palestina merdeka dan solusi dua negara adalah sebuah hal yang tidak dapat diperdagangkan. China mendukung Palestina sebagai sebuah negara yang merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota Negara Palestina.
Dia juga mengatakan, sebuah negara tidak boleh melakukan tindakan unilateral yang berbahaya, seperti yang kini tengah direncanakan Israel dan didukung oleh Amerika Serikat.
Keluar dari kesepakatan
Meskipun di lapangan belum terlihat eskalasi konflik, peningkatan ketegangan pada level pemimpin negara sudah terjadi sejak beberapa pekan terakhir. Puncaknya, Otoritas Palestina memutuskan segala bentuk kesepakatan dan bahkan perjanjian yang pernah terjadi antara Palestina, Israel, dan Amerika Serikat.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas, seusai rapat darurat, Selasa (19/5/2020) malam waktu setempat, dikutip dari kantor berita Palestina, Wafa, menyatakan bahwa Negara Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) keluar dari semua bentuk kesepakatan dan kesepahaman dengan Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Israel. Palestina menyatakan keluar dari kewajiban atas kesepakatan dan kesepahaman itu, termasuk soal kerja sama keamanan.
Abbas menyatakan bahwa rencana pencaplokan wilayah itu membuktikan bahwa Israel tidak memiliki niat baik dan tidak menghormati perjanjian damai antara kedua belah pihak. Dengan pengumuman itu, semua komunikasi antara Palestina, Israel, dan AS, kini terputus.
Tekanan untuk penghentian rencana pencaplokan tidak hanya disampaikan negara-negara Barat. Raja Jordania Abdullah II, mewakili pemerintah dan rakyat Jordania, secara tegas memperingatkan Pemerintah Israel bahwa rencana aneksasi itu bisa membuat pemerintah dan rakyat Jordania turut campur di dalamnya.
”Rencana aneksasi itu menempatkan Israel pada sebuah jalur konflik yang besar dengan Jordania,” kata Raja Abdullah II.
Meningkatnya eskalasi ketegangan di kawasan secara psikologis membuat para pengambil kebijakan, khususnya di Palestina, harus mengubah pola pikir dan pendekatan dalam memandang hubungan antara Palestina, Israel, Amerika Serikat, dan dunia internasional. Perubahan pola pikir nantinya diharapkan akan memberikan kebebasan dalam pencarian solusi dalam upaya mewujudkan berdirinya negara Palestina.
Menurut Marwan Bishara, analis politik televisi Al Jazeera, permasalahan utama yang membuat konflik Palestina-Israel terus menyala adalah hasrat Pemerintah Israel untuk melebarkan wilayah kedaulatannya dan anggapan bahwa pencaplokan wilayah Palestina adalah satu-satunya cara agar Israel tetap bisa bertahan. Hal ini harus diubah.
Bishwara mengatakan, kondisi yang dialami oleh Palestina tidak berbeda dengan kondisi rakyat Afrika Selatan ketika politik apartheid masih merajalela. Ia menyamakan gerakan Zionisme dengan politik apartheid di Afrika Selatan yang membuat terjadinya konflik secara terus-menerus, pembersihan etnis, perampasan, hingga pengusiran jutaan warga dari tempat kelahirannya.
Dengan konsepsi seperti ini, menurut Bishwara, rakyat Israel harus didorong untuk mencari sosok, seperti FW de Klerk, yang berani mengakhiri politik apartheid, membebaskan rakyat Israel dari pola pikir paranoid, dan hanya melihat keberadaan negara hanya sebatas pada hegemoni berdasarkan luas wilayah semata.
Bishwara menilai, pemerintah dan rakyat Palestina kini tidak bisa dan tidak boleh lagi menggantungkan diri pada Amerika Serikat untuk menentukan nasib mereka. Berbagai tindakan Israel yang mendapat kecaman dunia internasional tidak berdampak apa pun ketika AS memveto persoalan ini di sidang-sidang Dewan Keamanan PBB.
”Sekarang, rakyat Palestina harus membuka jalur diplomasi yang lebih luas dengan negara-negara Eropa, Afrika, Amerika Latin, dunia Islam, dan gerakan solidaritas lainnya. Hubungan baru ini akan menjadi esensial untuk perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina,” kata Bishwara.
Pada saat yang sama, rakyat Palestina juga harus berusaha meraih dukungan dari warga Yahudi. Sepanjang sejarah, warga Yahudi telah menjadi korban dari tindakan rasialisme, menderita karena gerakan antisemitisme sebagian warga Eropa. Gerakan ini mau tidak mau, kata Bishwara, harus mau menanggalkan slogan anti-Yahudi di dalam setiap pernyataan atau slogan mereka.
”Rakyat dan gerakan sipil Palestina harus menyuburkan semangat baru gerakan antirasisme dan antisemitisme yang selama ini dirasakan warga Yahudi,” kata Bishwara.
Dan yang terpenting adalah pemerintah dan rakyat Palestina harus menyadari bahwa perjuangan ini adalah perjuangan panjang dan melelahkan, dengan tujuan akhir adalah keadilan dan kebebasan. ”Akhir dari semua ini adalah bukan kekalahan atau kehancuran, melainkan keadilan dan kebebasan,” kata Bishwara. (AP/AFP/REUTERS)