Pembekuan Posisi Ra’am di Kabinet dan Knesset Goyahkan Pemerintahan Bennet
Partai Ra'am, partai Arab Palestina di dalam koalisi pemerintah Israel saat ini, menangguhkan keanggotaannya di Knesset dan kabinet. Brutalitas aparat keamanan terhadap warga Palestina jadi pemicu. Kekerasan berlanjut.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
TEL AVIV, SENIN – Koalisi besar Pemerintah Israel goyah setelah Partai Ra’am atau United Arab List memutuskan menangguhkan posisinya, tidak hanya di kabinet tapi juga di Knesset (parlemen Israel). Ra’am menuntut Perdana Menteri Naftali Bennet bersikap tegas, mengakhiri sikap brutal aparat keamanan Israel terhadap warga Palestina usai bentrokan di Mesjid Al Aqsa.
Penangguhan sementara keanggotaan partai itu tidak akan berdampak signifikan terhadap Knesset karena parlemen tengah reses selama dua pekan. Akan tetapi, koalisi besar pemerintahan Bennet, mulai bersikap hati-hati karena Ra’am menyatakan akan bersikap lebih keras jika tidak ada perubahan kebijakan.
Apalagi, mengutip laman The Jerussalem Post, pemerintahan koalisi Bennet baru saja kehilangan satu kursi mereka di Knesset, dari 61 kursi menjadi 60. “Jika pemerintah meneruskan tindakannya, kami akan mengundurkan diri dari koalisi,” kata Ra’am dalam pernyataannya, Minggu (17/4).
Keputusan penangguhan ini diambil oleh setidaknya empat petinggi Ra’am, termasuk pemimpin partai Mansour Abbas. Keputusan ini tidak terlepas dari tekanan yang dikeluarkan oleh Dewan Syura partai yang menginginkan agar pemimpin partai bersikap tegas terhadap kekerasan dan brutalitas aparat keamanan Israel terhadap warga Palestina, tidak sebatas pada kekerasan yang terjadi di Mesjid Al Aqsa tapi juga kekerasan yang lebih luas dan telah berlangsung sejak pertengahan Maret lalu.
Sikap Ra’am sendiri telah dikoordinasikan dengan Bennet dan Menteri Luar Negeri Yair Lapid. Tapi, sejauh ini, tidak ada perubahan sikap pemerintah, terutama Bennet, menyikapi brutalitas aparat keamanan Israel terhadap warga Palestina.
Dikutip dari laman Times of Israel, Bennet mengatakan, aparat keamanan Israel memiliki kebebasan untuk melanjutkan operasi keamanan sambil menekankan bahwa pemerintah tengah bekerja untuk memulihkan ketenangan. Dia berpandangan, operasi pemulihan situasi keamanan perlu tetap dilaksanakan agar setiap pemeluk agama bisa melaksanakan ibadah mereka di Jerussalem. Pada saat yang sama, warga yang terindikasi melakukan pelanggaran hukum dan merusak ketertiban umum, harus berurusan dengan aparat keamanan. “Pasukan keamanan siap untuk skenario apapun,” katanya.
Sikap Ra’am yang berbeda dengan mayoritas anggota koalisi, terutama karena menekan Bennet untuk mengubah kebijakan aparat keamanan terhadap warga Palestina, mendapat tentangan dari salah satu anggota koalisi, Partai Hadash. Setelah Ra’am mengeluarkan sikap, menangguhkan keanggotaannya di Knesset, lebih jauh mendesak agar partai itu mundur dari koalisi pemerintah Israel. Dalam pandangan mereka, koordinasi yang dilakukan Ra’am dengan Bennet dan Yapid sebelum mengeluarkan pernyataanya, sebagai sebuah langkah yang tidak memiliki signifikansi. “Tuntutan saat ini adalah penggulingan pemerintah,” kata para pemimpin Hadash, dikutip dari Jerussalem Post.
Kekerasan
Pernyataan Ra’am tidak terlepas dari situasi terakhir yang terjadi di Mesjid Al Aqsa. Beberapa jam sebelum pernyataan Ra’am keluar, bentrokan terjadi setelah aparat keamanan Israel kembali memasuk kompleks Mesjid Al Aqsa untuk mengamankan jalan bagi warga Yahudi untuk berkunjung. Bentrokan itu mengakibatkan belasan warga Palestina terluka.
Polisi mengatakan mereka telah menangkap 18 warga Palestina, dan Menteri Keamanan Publik Omer Bar-Lev mengatakan Israel akan "bertindak tegas terhadap siapa pun yang berani menggunakan terorisme terhadap warga Israel".
Aparat keamanan Israel menuding warga Palestina telah menodai situs suci bagi warga Yahudi. Walau begitu, sejumlah video yang diunggah oleh beberapa media Palestina memperlihatkan brutalitas aparat keamanan Israel tidak terbatas bagi warga yang terlibat dalam kerusuhan, akan tetapi pada warga Palestina yang tengah beribadah di kompleks mesjid.
“Apa yang terjadi di Masjid Al Aqsa adalah eskalasi yang berbahaya, akibatnya ditanggung oleh pemerintah Israel saja,” kata Nabil Abu Rdeneh, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Tindakan aparat keamanan Israel tersebut mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Raja Abdullah II dari Yordania meminta Israel untuk menghentikan semua tindakan ilegal dan provokatif yang mendorong kemarahan lebih besar.
Kecaman juga datang dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan usai menelepon Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Erdogan mengatakan akan melakukan kontak dengan semua pihak untuk mengakhiri tindakan Israel.
Harapan untuk meredanya situasi disampaikan pemimpin umat Katholik dunia, Paus Fransiskus.
"Semoga warga Israel, Palestina dan semua yang tinggal di Kota Suci, bersama dengan para peziarah, tinggal dalam persaudaraan dan menikmati akses gratis ke Tempat Suci dengan saling menghormati hak masing-masing," katanya dalam pidato Paskahnya. (AP/AFP)