Koalisi Besar Anti-Netanyahu Jadi Sejarah Baru bagi Partai Arab
Partai Ra\'am memilih jalan berbeda dari partai-partai Arab lainnya untuk memengaruhi politik Israel. Kini partai Ra\'am menjadi penentu terbentuknya koalisi besar yang berupaya menjungkalkan PM Benjamin Netanyahu.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
TEL AVIV, JUMAT — Upaya pemimpin Partai Yesh Atid, Yair Lapid, menciptakan koalisi besar yang melibatkan partai kanan, tengah dan kiri untuk membentuk pemerintahan baru di Israel terwujud. Koalisi ini menciptakan sejarah baru dengan keterlibatan partai Ra’am, partai dengan basis anggota warga Arab-Palestina yang tinggal di wilayah Israel.
Partai Ra’am atau United Arab List, dengan empat kursi di Knesset, menjadi salah satu faktor penentu terbangunnya pemerintahan koalisi yang berpotensi menjungkalkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dari kursi kekuasaan.
Keputusan bergabungnya Ra’am ke dalam koalisi besar terjadi beberapa saat sebelum tenggat waktu yang ditentukan Presiden Israel Reuven Rivlin berakhir, Rabu (2/6/2021) tengah malam waktu setempat. Bergabungnya Ra’am ke dalam koalisi besar memastikan Lapid mengumpulkan 62 kursi di Knesset dari 61 kursi yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan baru Israel.
”Ini untuk pertama kalinya sebuah partai Arab menjadi bagian dari proses pembentukan pemerintahan. Kami tentu berharap itu berhasil dan pemerintahan akan bangkit setelah empat kali pemilihan,” kata Mansour Abbas, ketua partai Ra\'am, seperti dikutip dari laman Times of Israel.
Berdasarkan kesepakatan koalisi, mantan Menteri Pertahanan dan Ketua Aliansi Yamina, Naftali Bennett (49), akan menjadi perdana menteri terlebih dahulu selama dua tahun, sebelum kemudian menyerahkan jabatan PM pada Lapid (57). Dibutuhkan sidang parlemen, yang menyetujui pemerintahan koalisi dengan suara mayoritas, dalam waktu 10 hari ke depan. Jika disetujui parlemen, koalisi Lapid menggeser Netanyahu, PM dengan masa jabatan terlama di Israel (12 tahun).
Terpinggirkan
Selama beberapa dekade, partai Arab di Israel selalu terpinggirkan dalam proses politik dan pengambilan keputusan di negara tersebut. Kelompok lain, partai Yahudi, menolak keterlibatan mereka dengan tudingan bahwa mereka adalah bagian dari ekstremisme dan gerakan untuk memerdekakan wilayah Palestina dari Israel. Sebaliknya, partai Arab skeptis bergabung dengan pemerintah Israel yang memperlakukan warga Arab di Israel sebagai warga negara kelas dua dan menindas bangsa Palestina.
Tetapi, setelah beberapa dekade terpinggirkan secara politik, banyak warga Arab yang kini berjumlah 20 persen dari populasi Israel, memerlukan pengakuan atas eksistensi mereka dalam peta politik Israel, baik dari pemerintah, partai politik, dan warganya.
Di bawah Abbas, Ra\'am, yang berdiri tahun 1996, merintis jalan berbeda dengan partai Arab lainnya. Mereka meninggalkan koalisi besar partai Arab dan mencari posisi untuk bisa menyuarakan kepentingan warga Arab di Israel, terutama untuk memengaruhi perubahan dari dalam pemerintahan. Mereka dengan terbuka menyatakan keinginan bergabung di pemerintahan agar ada kebijakan nyata bagi konstituennya.
”Selama beberapa dekade, orang Arab Israel tak memiliki pengaruh apa pun. Sekarang, semua orang tahu bahwa kami adalah penentu suara sejauh politik berjalan,” kata Walid Taha, anggota Knesset dari partai ini kepada stasiun televisi berbahasa Arab, Hala TV.
Dalam sejarah politik Israel, tercatat dua kali partai Arab mendukung pemerintah Israel. Di tahun 1950-an, sebuah faksi kecil dengan hanya satu kursi di Knesset mendukung pemerintah saat itu. Kemudian, di tahun 1990-an, kerja sama partai Arab di Israel menopang pemerintahan Israel yang kala itu dipimpin PM Yitzhak Rabin. Rabin membutuhkan bantuan partai-partai Arab untuk mencegah mosi tidak percaya.
Pada 1990-an, ketika pemerintahan yang dijalankan pemimpin partai Buruh sayap kiri, Yitzhak Rabin, berada dalam bahaya runtuh, partai-partai Arab turun tangan untuk mencegah mosi tidak percaya.
Seperti dikutip dari laman The New York Times, Abbas mengatakan dirinya memang berharap keberadaan partainya menjadi sentral dalam pembuatan kebijakan. ”Saya berharap menjadi orang kunci. Di masa lalu, partai-partai arus utama mengecualikan kami dan mengecualikan diri kami sendiri. Hari ini, Ra’am, setidaknya menantang sistem politik. Dengan ini kami menyatakan, ’Kami ada di sini’,” kata Abbas.
Partai-partai Arab pernah menggunakan posisinya di Knesset untuk mendukung penantang Netanyahu, Benny Gantz, ketika dia diberi mandat oleh Rivlin pada Maret 2020. Namun, Gantz dinilai bersikap dingin terhadap dukungan mereka. Keputusan ini di kemudian hari disesali oleh Gantz secara terbuka.
Ra’am bersedia bekerja sama dengan kubu pro dan anti-Netanyahu untuk menggunakan pengaruhnya bagi populasi warga Arab di Israel. Partai tersebut telah menolak untuk berkomitmen pada kesepakatan kecuali mendapat jaminan sumber daya dan hak lebih besar bagi warga Arab, termasuk reformasi undang-undang perumahan.
”Kami telah mencapai kesepakatan massal yang kritis di berbagai bidang yang melayani kepentingan masyarakat Arab dan yang memberikan solusi untuk masalah membara di masyarakat Arab—perencanaan, krisis perumahan, dan tentu saja, memerangi kekerasan dan kejahatan terorganisasi,” kata Abbas.
Partai Ra’am mengklaim bahwa mereka telah memenangi kesepakatan untuk membahas amandemen UU Perumahan tahun 2017 yang kontroversial. UU itu menarget bangunan-bangunan milik warga Arab. UU secara luas dipandang oleh warga Arab sebagai aturan yang diskriminatif.
Para mitra koalisi Netanyahu mengecam koalisi bentukan Lapid. Anggota parlemen sayap kanan, Bezalel Smotrich, Ketua Partai Zionisme Agama, menyerang ketergantungan koalisi pada suara partai Arab. Ia menuduh Naftali Bennett, pemimpin partai Yamina, sebagai orang yang bekerja sama dengan pendukung terorisme.
Penulis biografi Netanyahu, Ben Caspit, memperkirakan petahana akan melawan gigi dan kuku pemerintah baru, melakukan segala yang dia bisa untuk memblokir pembentukannya dan kemudian melawannya dari bangku oposisi jika perlu. ”Dia masih berpikir akan berhasil melawan segala rintangan,” kata Caspit. (AFP)