Jejak-jejak Militer di Balik Drama Politik Penggulingan PM Pakistan
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan terguling dalam drama politik sejak awal April. Ia lengser melalui prosedur konstitusional di parlemen. Banyak yang meyakini tangan militer bekerja di balik semua drama tersebut.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
Sebenarnya bukan hal yang baru di Pakistan jika perdana menteri terpilih, termasuk belum lama ini PM Imran Khan, terguling dari jabatannya sebelum menyelesaikan masa jabatannya lima tahun. Di negeri itu, sejak merdeka—hasil pemisahan dari British-India—tahun 1947, belum ada satu PM pun yang menuntaskan masa jabatannya. Jika tidak dikudeta militer atau dibunuh, PM negara itu dihentikan lewat putusan pengadilan.
Namun, ada yang baru saat Khan dilengserkan, sepekan lalu, Minggu (10/4/2022). Untuk pertama kali pelengseran PM Pakistan dilakukan melalui prosedur konstitusional, yakni dengan mosi tidak percaya di parlemen. Mosi itu diputuskan lewat pemungutan suara di Majelis Nasional, majelis rendah di parlemen.
Sehari setelah pelengseran Khan, parlemen memilih Shahbaz Sharif, Ketua Partai Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PML-N), sebagai PM baru. Ia adalah adik dari mantan PM Nawaz Sharif, yang menjabat PM sebanyak tiga periode, yaitu 1990-1993, 1997-1999, dan 2013-2017. Tampilnya Shahbaz ke tampuk kursi PM menandai kembalinya Pakistan ke jalur politik dinasti.
Meski pelengseran PM kali ini dilakukan melalui prosedur konstitusional, sejumlah pengamat ragu bahwa proses itu merupakan cermin demokrasi di negara tersebut. Seperti saat tampilnya di kursi PM melalui pemilu tahun 2018, kejatuhan Khan pada akhir pekan lalu tak lepas dari manuver militer.
Ketika Gerakan Pakistan untuk Keadilan (Pakistan Tehreek-e-Insaf/PTI), partai yang didirikan Khan pada 1996, memenangi pemilu tahun 2018, oposisi menuding kemenangan itu tak lepas dari peran militer melalui badan intelijen Pakistan (Inter-Services Intelligence/ISI). Kepala ISI dilaporkan ikut memanipulasi hasil pemilu untuk mengganjal peluang kemenangan PML-N, partai yang didirikan Nawaz Sharif.
Disebutkan, pemerintahan Khan bergantung hampir sepenuhnya pada dukungan militer melalui ISI. Pada momentum-momentum krusial, ISI bisa menekan para politisi oposisi menjaga agar Khan tetap mendapat dukungan mayoritas di parlemen (Foreign Affairs, 15 April 2022).
Menjelang empat tahun pemerintahannya, Khan mulai ditinggalkan di parlemen. Dukungan parlemen, termasuk dari mitra koalisi, terhadap Khan menguap. Di permukaan, kinerja pemerintahan Khan yang buruk menjadi alasan formal. Di bawah pemerintahan Khan, inflasi Pakistan melonjak dari 5,1 persen menjadi 12,7 persen, pengangguran meningkat, dan utang luar negeri bertambah dari 95 miliar dollar AS menjadi 130 miliar dollar AS.
Namun, di balik layar, drama politik di parlemen tersebut tak luput dari retaknya jalinan aliansi Khan dan militer. Keretakan hubungan itu bermula pada awal Oktober 2021 saat Panglima Militer Pakistan Jenderal Qamar Javed Bajwa ingin mengganti Kepala ISI Jenderal Faiz Hameed dengan Letnan Jenderal Nadeem Anjum.
Ada aroma intrik persaingan di tubuh militer. Hameed, mitra dekat Khan yang berjasa besar memuluskan perjalanannya ke kursi PM, berambisi menjadi panglima militer. Masih berharap Hameed memimpin ISI demi kepentingan pada pemilu 2023, Khan berupaya menunda pergantian jabatan Kepala ISI.
Khan belakangan menyerah juga pada tekanan militer dan akhirnya melantik Anjum. Namun, momentum itu jadi awal keretakan hubungannya dengan militer yang diketahui publik. Sejak itu, sulit memulihkan rasa saling percaya di antara mereka. Situasi itu kemudian bergulir menjadi bola panas di parlemen, yang berujung jatuhnya mosi tak percaya terhadap Khan.
Militer ataupun PTI menepis tudingan-tudingan soal campur tangan militer dalam politik tersebut. Dalam konferensi pers di Islamabad, Kamis (14/4/2022), seperti dikutip media Dawn, juru bicara militer Pakistan, Mayor Jenderal Babar Iftikhar, menegaskan, ”Apa pun proses politik yang berjalan, tentara tidak punya peran atau campur tangan sama sekali.”
Isu konspirasi asing
Hal lain yang ramai menjadi perbincangan di Pakistan terkait tergulingnya Khan di panggung politik adalah soal isu konspirasi kekuatan asing. Isu dilontarkan Khan yang secara langsung merujuk pada Amerika Serikat.
Selama memerintah, Khan kerap melontarkan sentimen anti-AS di Pakistan. Dalam sebuah wawancara di televisi, ia ditanya soal kemungkinan memberikan akses kepada AS untuk menggunakan wilayah udara Pakistan dalam menyerang kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Afghanistan setelah tentara AS ditarik dari negara itu. ”Tidak sama sekali,” jawab Khan.
Di banyak kesempatan, Khan secara terbuka mengkritik AS. Salah satunya terkait peristiwa teror 11 September 2001, atau dikenal 9/11. Khan, misalnya, menyebut betapa banyak warga Pakistan—sekitar 80.000 orang akibat serangan kelompok militan dan hampir 5.000 tentara—menjadi korban akibat perang AS terhadap teror pasca-9/11. Padahal, ujarnya, Pakistan tak terlibat 9/11.
Melihat gestur konfrontasi yang diperlihatkan Khan, Presiden AS Joe Biden tak pernah meneleponnya. Alih-alih menjalin hubungan erat dengan AS, Khan memilih menjalin hubungan hangat dengan Rusia dan China. Pada 24 Februari 2022, hari pertama Rusia menyerang Ukraina, Khan bertandang ke Rusia, menemui Presiden Vladimir Putin.
Ketika menghadapi tekanan politik di dalam negeri, Khan mengungkap adanya kabel diplomatik yang dikirim Kedutaan Besar Pakistan untuk AS, berisi tudingan keinginan Washington pada pergantian rezim di Islamabad. Hal ini dijadikan dasar oleh Khan dan pendukungnya bahwa AS berada di balik pelengseran dirinya.
Gedung Putih membantah tudingan itu. Juru bicara militer Pakistan, Babar Iftikhar, juga menepis isu konspirasi asing di balik penggulingan Khan.
Mantan Menlu Pakistan Riaz Mohammad Khan menyebut isu konspirasi asing itu dilontarkan untuk menutupi kegagalan di dalam negeri. ”Di Pakistan, teori-teori konspirasi asing adalah alat perekat politik populer dengan penjelasan paling mudah atas kegagalan-kegagalan kebijakan domestik,” tulisnya di Dawn.
Di luar pernyataan resmi itu, ada perbedaan pandangan antara Khan dan militer dalam sejumlah kebijakan luar negeri Pakistan. Sementara Khan mengkritik keras AS dan India, Jenderal Bajwa menginginkan hubungan baik dengan Washington dan New Delhi.
Khan tampaknya melewati batas yang tidak tertulis di Pakistan bahwa jangan pernah menyisihkan atau berkonfrontasi dengan militer, termasuk dalam urusan luar negeri. Setelah Khan terguling, pemerintahan baru koalisi sipil tampil. Namun, tulis Associate Professor Departemen Internasional dan Studi Area Universitas Oklahoma, AS, Aqil Shah di Foreign Affairs, militerlah yang tetap menjadi penentu akhir. (AP/AFP/REUTERS)