Mayoritas Warga Indonesia Tak Minati Informasi Luar Negeri
Postur dan kepentingan nasional menuntut Indonesia lebih proaktif di panggung internasional. Namun, sebuah jajak pendapat baru-baru ini menyebutkan, hanya 17 persen responden domestik mengikuti informasi luar negeri.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penduduk Indonesia menjadikan intervensi asing sebagai isu paling mencemaskan pada tataran hubungan lintas negara. Sementara perang Amerika Serikat-China tidak terlalu mendapat perhatian. Hampir seluruh responden tidak menganggap penting G20, organisasi yang kini sedang dipimpin Indonesia.
Temuan itu muncul dalam jajak pendapat Lowy Institute terhadap 3.000 responden di 33 provinsi di Indonesia pada November-Desember 2021. Salah satu penulis laporan penelitian, Evan Abelard Laksmana, menyebut bahwa riset itu menunjukkan banyak anggapan yang tidak cocok untuk Indonesia.
”Penduduk Indonesia semakin condong melihat ke dalam,” kata peneliti senior Lee Kuan Yew School of Public Policy itu dalam perbincangan khusus dengan Kompas, Selasa (5/4/2022).
Sebanyak 61 persen responden menganggap intervensi asing sebagai masalah paling mencemaskan.
Dalam jajak pendapat oleh lembaga kajian Australia itu ditemukan, 61 persen responden menganggap intervensi asing sebagai masalah paling mencemaskan. Isu intervensi asing memang kerap diberitakan dan menjadi perhatian.
Baru-baru ini, misalnya, diplomat sejumlah negara asing dikabarkan mendekati berbagai kementerian, lembaga, dan tokoh tertentu di Indonesia. Tujuan mereka mendorong Indonesia menjauhi Rusia. Atas hal ini, Kementerian Luar Negeri RI sampai mengeluarkan surat edaran kepada instansi domestik.
Selain intervensi asing, isu internasional yang paling mendapat perhatian adalah ketidakstabilan keuangan global. Hingga 60 persen responden menganggapnya sebagai ancaman. Sebaliknya, hanya 41 persen yang menganggap perang AS-China sebagai ancaman bagi Indonesia.
Isu lain yang konsisten menjadi kecemasan adalah terorisme. Kecemasan pada terorisme setara dengan kekhawatiran pada Covid-19 dan kelangkaan pangan. ”Secara umum, isu-isu dalam negeri masih menempati urutan teratas dalam daftar yang mengkhawatirkan publik,” kata Evan.
Tim peneliti juga menemukan, hanya 17 persen responden rutin mengikuti berita-berita luar negeri. Bahkan, hanya 25 persen responden pernah mendengar istilah ”bebas aktif”. Padahal, konsep itu menjadi jangkar politik luar negeri Indonesia sejak Indonesia merdeka.
Berkaitan dengan G20, hanya 2,5 persen responden yang menganggap forum itu penting. Padahal, Indonesia sedang menjadi ketua bergilir organisasi negara-negara dengan 80 persen produk domestik bruto global itu.
Temuan lain adalah bahwa mayoritas responden menganggap demokrasi sebagai sistem terbaik dan identitas Indonesia di pentas internasional bukanlah negara Islam. Di sisi lain, Pangeran Mohammad bin Salman dari Arab Saudi dan Pangeran Mohammed bin Zayed dari Uni Emirat Arab menjadi pemimpin luar yang paling dipercaya. Padahal, keduanya pemimpin negara nondemokrasi dan penduduknya mayoritas Islam.
Guru Besar Politik Internasional pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bambang Cipto mengatakan, jajak pendapat itu meneguhkan asumsi isu luar negeri tidak menjadi perhatian publik secara luas. Masyarakat cenderung hanya memperhatikan hal-hal yang dekat dengan kehidupannya sehari-hari.
Oleh karena itu, dapat dipahami bila jajak pendapat Lowy Institute menemukan hal-hal kontradiktif. ”Responden mengutamakan demokrasi. Di sisi lain, malah percaya kepada pemimpin Arab Saudi yang jelas tidak demokratis dan berkali-kali diberitakan melanggar hak WNI. Faktanya memang, kedekatan sosial dan kultural Indonesia dengan Timur Tengah lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lain,” tuturnya.
Ia juga menyoroti temuan militer sebagai pihak yang paling dipercaya. Dalam jajak pendapat oleh berbagai lembaga lain, TNI selalu menempati urutan teratas pada daftar pihak yang paling dipercaya.
Evan membenarkan kecenderungan masyarakat Indonesia lebih percaya kepada militer. Dalam riset terpisah bersama tim lain, Evan pernah mencoba menguji kepercayaan publik terhadap mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Publik lebih percaya Terawan yang ditunjukkan mengenakan seragam TNI dibandingkan kala ditunjukkan Terawan mengenakan jas.
Hal yang yang ditemukan tim periset Lowy adalah kepercayaan WNI terhadap negara-negara lain cenderung menurun. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap AS, Australia, China, dan Inggris tergerus drastis. Sebaliknya, persepsi bahwa negara-negara itu mengancam Indonesia naik.
Evan menduga paling tidak ada dua hal penyebab kondisi itu. Pertama, minat pada informasi soal luar negeri terbatas. Kedua, informasi soal luar negeri lebih banyak disampaikan oleh para elite. Padahal, para elite telah menyaring informasi itu menurut persepsi mereka. Sering kali, elite membahas isu luar negeri dari sudut pandang negatif. Kebetulan, negara-negara yang dianggap sebagai ancaman bagi responden Lowy adalah negara-negara yang paling kerap disinggung elite Indonesia.
Ada dua hal penyebab kondisi itu. Pertama, minat pada informasi soal luar negeri terbatas. Kedua, informasi soal luar negeri lebih banyak disampaikan oleh para elite.
Temuan Lowy menunjukkan, upaya diplomasi publik oleh Kementerian Luar Negeri RI perlu diintensifkan. Kemenlu RI perlu merumuskan ulang cara komunikasi publik agar masyarakat bisa memahami isu-isu luar negeri lebih komprehensif dan layak. ”Penting bagi publik Indonesia untuk lebih terpapar pada isu-isu luar negeri,” katanya.
Sebab, Indonesia sedang berusaha menempatkan diri di panggung global. Akan ada peluang ketidakcocokan anggapan publik dengan kenyataan di luar negeri jika penduduk Indonesia semakin menjauhi informasi-informasi luar negeri.