Setelah sekitar 6,5 bulan dipimpin Presiden Joe Biden, Amerika Serikat terus menunjukkan betapa kurang pentingnya Indonesia bagi negara itu. Kondisi ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
Arah kebijakan luar negeri Biden pertama kali terlihat pada Maret 2021 kala Washington mengeluarkan Panduan Strategis Sementara (ISG). Dalam dokumen setebal 24 halaman itu, tidak ada negara ASEAN yang disebut selain Singapura dan Vietnam. Dokumen itu juga hanya sekali menyebut ASEAN. Sementara China disebut 15 kali, Afghanistan 2 kali.
Dokumen tersebut membuat sejumlah peneliti keamanan dan kebijakan luar negeri serta-merta mempertanyakan komitmen AS kepada ASEAN dan Asia Tenggara. Pertanyaan itu sudah mengemuka sejak AS dipimpin Presiden Donald Trump. Trump tidak menghadiri konferensi tingkat tinggi ASEAN selama tiga tahun berturut-turut sejak 2018.
Bagi Indonesia, pertanyaan soal komitmen AS masih terus bertahan. Dalam dua bulan terakhir, sejumlah pejabat AS bertandang ke Asia Tenggara. Lawatan terbaru dilakukan Wakil Presiden AS Kamala Harris ke Singapura dan Vietnam, dua negara yang disebut dalam Panduan Strategis Sementara, pada 22-26 Agustus ini.
Sebelum Harris, kedua negara itu disambangi Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin pada Juli. Bahkan, Austin awalnya dijadwalkan menyinggahi Singapura pada bulan Mei. Dengan Menhan Indonesia Prabowo Subianto, Austin hanya menelepon dua kali pada April 2021. Sementara Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken bolak-balik menelepon Menlu RI Retno LP Marsudi. Bahkan, mereka bersua di Washington pada awal Agustus.
Sejumlah menteri dan pejabat lain di pemerintahan AS juga bolak-balik menelepon kolega mereka di Indonesia. Walakin, hanya Wakil Menlu AS Wendy Sherman yang benar-benar datang ke Indonesia.
Sherman bertandang setelah para menlu ASEAN marah gara-gara Blinken gagal mengikuti pertemuan virtual pada awal Mei 2021. Sejumlah diplomat ASEAN sampai menyebut, jika mengurus sambungan internet untuk telekonferensi saja tidak becus, bagaimana mungkin kawasan akan yakin pada komitmen AS.
Pragmatisme
Direktur Program Keamanan Internasional pada Lowy Institute Sam Roggeveen mengatakan, pemerintahan Biden sangat pragmatis. Hal itu tengah diperlihatkan di Afghanistan. Bagi Washington, hubungan dengan negara lain akan dipertahankan jika memang layak. AS akan serta-merta meninggalkan suatu negara jika menganggap sudah tidak layak untuk terus di sana.
Perkembangan di Afghanistan, menurut Roggeveen, seharusnya membuat negara-negara Asia, yang tengah diajak AS menantang China, bertanya: sampai kapan akan terus dianggap layak oleh AS?
Perkembangan di Afghanistan, menurut Roggeveen, seharusnya membuat negara-negara Asia, yang tengah diajak AS menantang China, bertanya: sampai kapan akan terus dianggap layak oleh AS?
Dalam berbagai kesempatan, kepentingan AS di Asia Tenggara jelas untuk menentang China. Austin dan Harris sama-sama memanfaatkan lawatannya ke Singapura dan Vietnam untuk membahas isu tersebut.
Bagi pemerintahan Biden, ASEAN dan sejumlah anggotanya tidak benar-benar relevan apabila terkait menentang China di kawasan. Dokumen ISG, rangkaian lawatan pejabat AS di kawasan, hingga pernyataan Harris di Singapura menunjukkan hal itu.
Di Singapura, Harris dua kali membuat pernyataan kepada publik. Dalam dua kesempatan tersebut, ia mengucapkan total 3.852 kata. Indonesia tentu tidak ada di antara 3.852 kata itu. Ini jelas tidak terlalu mengejutkan.
Sebaliknya, Indo-Pasifik disebut 15 kali dan China 2 kali. Soal China, Austin dan Harris sama-sama menunjukkan ambiguitas. Mereka sama-sama menyatakan tidak mengajak negara-negara di kawasan untuk memihak kepada AS atau China. Pada kesempatan yang sama, mereka juga mengajak kawasan untuk menentang China. Dalam konteks Asia Tenggara, ajakan itu terkait klaim di Laut China Selatan.
Soal ajakan tersebut, Singapura dan Vietnam sama-sama secara terbuka tidak berminat berpihak pada salah satu kubu. Sebelum Harris mendarat di Hanoi, Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh menegaskan bahwa Vietnam akan terus netral, tidak bergantung kepada satu pihak dan akan berhubungan dengan semua.
”Vietnam tidak akan bersekutu dengan satu negara untuk melawan negara lain,” kata Chinh seraya menekankan ASEAN harus dilibatkan dalam penyelesaian masalah Laut China Selatan.
Sikap Singapura-Vietnam sebenarnya selaras dengan Indonesia. Lewat politik luar negeri bebas aktif, Indonesia jelas menolak bergabung dengan kubu mana pun. Sikap itu sudah dipertahankan selama puluhan tahun. Meski demikian, AS jelas tetap menganggap Vietnam dan Singapura penting. Sebaliknya, Indonesia tidak dianggap terlalu strategis bagi AS.
Posisi strategis
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri RI Siswo Pramono menyebut kondisi itu sebenarnya menguntungkan Indonesia. Sebab, Indonesia tidak perlu sibuk menenangkan pihak lain yang menganggap Indonesia terlalu dekat dengan pesaingnya.
Fenomena itu tidak perlu dirisaukan karena nilai strategis Indonesia di kawasan sudah jelas. Selama bertahun-tahun, Indonesia menjadi pemimpin tradisional ASEAN. Dalam krisis Myanmar yang sedang berlangsung, Indonesia terus mendorong ASEAN bertindak. Kala berbagai negara menawarkan visi Indo-Pasifik yang cenderung kompetitif, Indonesia mengajak ASEAN menawarkan versi yang menekankan kerja sama.
Secara geografis, Indonesia juga penting karena menguasai tiga jalur utama untuk menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik. Tidak ada pilihan rasional untuk berlayar ke kedua samudra itu selain melewati Indonesia. Ada tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dapat dipilih untuk berlayar di antara kedua samudra itu. ALKI I yang membentang dari Selat Sunda sampai Selat Malaka paling ramai dilayari aneka kapal.
Selanjutnya, secara historis, tidak ada negara di kawasan yang pernah menunjukkan ketegasan kepada AS dan China. Hanya Indonesia pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan China. Hanya Indonesia pula yang memaksa perusahaan besar AS ikut aturan nasional, seperti dalam kasus Freeport.
Pernyataan Siswo soal netralitas terbukti berguna dalam situasi sekarang. Dalam berbagai kesempatan, AS selalu mengajak kawasan untuk menentang China. Walakin, perkembangan di Afghanistan seharusnya membuat negara-negara di Indo-Pasifik berpikir ulang.
”Perkembangan di Afghanistan mengecewakan dan membuat marah banyak negara. Pokok masalahnya, (dugaan) jika suatu saat AS menganggap Anda tak penting, mereka akan meninggalkan Anda dan Anda tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Yun Sun, Direktur Program Asia Timur pada Stimson Center, AS.
Pendapat Yun Sun senada dengan Roggeveen. Jika demikian pragmatis di Afghanistan, tidak ada jaminan AS tidak akan bersikap sama dengan negara lain. Karena itu, sudah tepat apsbila Indonesia tetap netral di antara AS-China. Memang, harganya bisa jadi mahal, dianggap tidak penting. (AP/AFP/REUTERS)