NATO menyatakan bahwa pasukan Rusia menyusun ulang formasi pasukannya di Ukraina. Ini disampaikan untuk menggugat pernyataan Rusia yang ingin mengurangi eskalasi krisis Ukraina.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
BRUSSEL, KAMIS - Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO, Jens Stoltenberg, Kamis (31/3/2022), mengatakan, alih-alih mengurangi operasi militernya di Ukraina, Rusia malah mengerahkan pasukannya ke wilayah Donbas di timur Ukraina. Pernyataan Stoltenberg itu senada dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Barat yang skeptis dengan janji Mokswa untuk mengurangi eskalasi invasinya ke Ukraina sebagaimana dinyatakan dalam negosiasi damai Rusia-Ukraina di Instanbul dua hari sebelumnya.
Stoltenberg mengatakan kepada para jurnalis, "Rusia telah berulang kali berbohong tentang niatnya". Menurut dia, Rusia harus dinilai berdasarkan tindakannya saja dan bukan dari kata-kata para pemimpinnya. "Menurut intelijen kami, unit Rusia tidak menarik (pasukan) tetapi memosisikan ulang. Rusia sedang mencoba untuk berkumpul kembali, memasok dan memperkuat serangannya di wilayah Donbas," katanya.
Stoltenberg juga mengatakan, tekanan pasukan Rusia terus berlanjut di Kiev dan kota-kota lain di Ukraina. Ia mengingatkan konsekuensi dari tindakan lebih lanjut Rusia itu. “Kita khawatir tindakan ofensif tambahan membawa lebih banyak penderitaan,” kata Stoltenberg merujuk pada masyarakat Ukraina, khususnya warga sipil.
Sebelumnya, otoritas Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa Rusia telah mulai memobilisasi kurang dari 20 persen pasukannya yang telah ditempatkan di sekitar Kiev. Pentagon mengatakan bahwa sebagian besar pasukan Rusia kini bergerak ke utara. Sebagian pasukan militer Rusia menyeberang ke Belarusia. Dari Belarusia mereka dapat dikirim kembali ke Ukraina.
Dalam negosiasi dengan pihak Ukraina pada Selasa (29/3) lalu di Istanbul, Rusia berjanji mengurangi eskalasi operasi di dekat Kiev dan Chernihiv. Mokswa juga mengaku siap untuk "meningkatkan rasa saling percaya dan menciptakan kondisi untuk negosiasi lebih lanjut dengan Ukraina”.
Dalam pernyataan terbarunya, Kremlin telah menyatakan "penyesalan" dan "keprihatinan" atas laporan pejabat AS bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin diinformasikan secara salah oleh para penasihatnya tentang kinerja militer Rusia di Ukraina. Juru bicara Putin, Dmitry Peskov, mengatakan kepada wartawan "baik Departemen Luar Negeri AS maupun Pentagon tidak memiliki informasi sebenarnya tentang apa yang terjadi di Kremlin."
“Mereka sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di Kremlin. Mereka tidak mengerti Presiden Putin. Mereka tidak mengerti mekanisme pengambilan keputusan, mereka tidak mengerti cara kerja kami. Ini bukan hanya disesalkan, tapi juga menimbulkan kekhawatiran, karena kurangnya pemahaman ini mengarah pada keputusan yang salah, keputusan tragis yang bisa memiliki konsekuensi yang sangat buruk,” kata Peskov.
Mereka sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di Kremlin. Mereka tidak mengerti Presiden Putin. Mereka tidak mengerti mekanisme pengambilan keputusan, mereka tidak mengerti cara kerja kami.
Pejabat intelijen AS mengatakan bahwa Putin mendapat informasi yang salah dari para penasihatnya tentang kinerja militernya yang buruk di Ukraina. Para penasihat Mokswa itu menurut intelijen AS takut untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Putin. Direktur komunikasi Gedung Putih Kate Bedingfield mengatakan AS yakin Putin dibohongi bawahannya. Ini bukan saja soal kinerja militer Rusia tetapi juga menyangkut dampak ekonomi negara itu menyusul sanksi dari Barat.
Dari Mokswa dilaporkan Presiden Rusia Vladimir Putin telah menandatangani dekrit rencana militer Rusia selama musim semi. Termasuk di dalamnya adalah penambahan 134.500 wajib militer baru untuk memperkuat militer Rusia. Putin dan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengatakan wajib militer itu tidak akan ambil bagian dalam operasi di Ukraina. Namun, awal bulan ini, militer Rusia mengakui bahwa sejumlah wajib militer berakhir di Ukraina dan bahkan ditangkap di sana.
Sementara itu, dari Anhui dilaporkan Indonesia kembali mengajak semua pihak berupaya menghentikan perang Rusia-Ukraina. Ajakan itu disampaikan kepada Rusia dan sejumlah negara lain yang mempunyai hubungan dengan Rusia-Ukraina. Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno LP Marsudi menyampaikan ajakan itu kepada Menlu China Wang Yi dan Menlu Rusia Sergey Lavrov.
Retno menemui mereka secara bilateral di sela forum negara-negara tetangga Afghanistan yang digelar China pada 30-31 Maret 2022 di Anhui. ”Saya sampaikan pentingnya semua pihak, termasuk China, mendorong perang dapat segera diakhiri agar krisis kemanusiaan tidak semakin memburuk,” ujarnya melalui telekonferensi pada Kamis.
Kepada Lavrov, Retno menekankan bahwa Indonesia teguh pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam piagam itu antara lain ditekankan pentingnya penghormatan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah. ”Indonesia menyampaikan pentingnya segera dihentikan peperangan karena dampaknya terhadap kemanusiaan sangat luar biasa. Belum lagi dampaknya terhadap pemulihan ekonomi global,” katanya.
Retno juga menyinggung perundingan Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung beberapa putaran. Sampai sekarang, para pihak belum kunjung mencapai kesepakatan akhir. ”Indonesia mengharapkan negosiasi yang sedang berjalan sekarang ini terus dapat diteruskan dan mencapai hasil yang baik. Oleh karena itu, diperlukan fleksibilitas agar negosiasi dapat membuahkan hasil yang baik. Semua pihak harus berupaya agar perang segera berakhir dan situasi kemanusiaan tidak semakin memburuk,” tuturnya.
Indonesia berkepentingan dengan keamanan Ukraina. Sebab, sampai sekarang sebagian anggota staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kiev masih dipertahankan di Ukraina. Selain itu, ada 23 warga Indonesia masih bertahan di sana. ”Karena alasan keluarga mereka adalah orang Ukraina,” kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia pada Kemenlu RI Judha Nugraha. (AP/AFP/REUTERS/RAZ)