Pernyataan Biden Timbulkan Ketidakpastian
Pernyataan Presiden AS Joe Biden ketika berbicara di Istana Kerajaan di Warsawa, menimbulkan polemik. Washington berupaya meluruskan, meski tidak mudah.
WASHINGTON, SENIN – Pernyataan Presiden Amerika Serikat Joe Biden saat berpidato di Istana Kerajaan di Kota Warsawa, Sabtu (26/3), yang mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak bisa terus berkuasa, menuai kontroversi. Sembilan kata yang tidak tertera dalam teks pidato Biden itu dinilai bisa menjadi bumerang tidak hanya bagi AS, tapi juga sekutu-sekutunya dalam upaya membantu Ukraina.
Mereka mengkhawatirkan pernyataan Biden bisa mengacaukan arah dan upaya AS yang tengah menggalang kekuatan agar Rusia mundur dan menghentikan agresinya terhadap Ukraina. Pernyataan Biden juga dikhawatirkan bisa meningkatkan konflik.
Sehari setelah pidato kontroversial Biden itu mencuat, Presiden Perancis Emmanuel Macron, Minggu (27/3), mengatakan, dirinya tidak akan pernah menggunakan kata-kata seperti itu karena Peracis ingin menghentikan perang yang telah dimulai oleh Rusia tanpa eskalasi lanjutan.
“Saya tidak akan menggunakan kata-kata itu karena saya terus membuka jalur komunikasi dengan Presiden Putin. Kami ingin menghentikan perang yang dimulai oleh Rusia terhadap Ukraina tanpa eskalasi. Itu tujuannya,” kata Macron, berbicara kepada stasiun televisi France 3.
Baca juga : Biden Tegaskan, Putin Tak Bisa Dibiarkan Terus Berkuasa
Posisi Perancis sebagai jembatan yang menghubungkan Uni Eropa dan bahkan NATO telah berlangsung sebelum agresi Rusia ke Ukraina dimulai, akhir Februari lalu. Tetapi, sejauh ini, upaya Macron untuk menghentikan Putin, belum membuahkan hasil.
Macron mengatakan, dirinya terus mengupayakan pembicaraan lebih banyak dengan orang nomor 1 di Rusia itu mengenai situasi di Ukraina, serta inisiatif untuk membantu warga sipil yang ingin meninggalkan Kota Mariupol atau kota lain yang saat ini tengah dikepung militer Rusia. Macron menegaskan, dirinya menginginkan adanya gencatan senjata dan penarikan pasukan Rusia dari wilayah Ukraina dengan diplomasi.
“Jika hal ini menjadi tujuan kita, hal yang kita inginkan, kita (sebaiknya) tidak membuat (situasi) tereskalasi. Baik itu dengan perkataan ataupun tindakan,” kata Macron.
Sikap Macron yang masih membuka komunikasi dengan Putin dan Kremlin dikritik oleh beberapa pihak. Tapi, Macron bergeming dan menyatakan hal itu penting untuk membatasi kerusakan akibat perang.
Meski begitu, Macron juga tetap mengritik Putin yang dinilainya ingin membawa Eropa kembali ke masa lalu, ketika Eropa berbentuk kekaisaran dengan dominasi serta tidak menghormati integritas perbatasan dan hak negara untuk membuat keputusannya sendiri.
Di Berlin, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Minggu (27/3), mengatakan, baik NATO maupun Biden tidak mencari perubahan rezim di Rusia. Ditanya tentang pernyataan Biden saat tampil di televisi ARD, Scholz juga mengatakan Biden tidak melakukan kesalahan berbahaya. “Kami berdua setuju sepenuhnya bahwa perubahan rezim bukanlah objek dan tujuan kebijakan yang kita kejar bersama,” kata Scholz.
Baca juga : Ukraina Bersedia Jadi Negara Netral
Kekhawatiran juga datang dari salah satu diplomat AS, Richard Haass. Haass, Presiden Dewan Hubungan Luar Negeri (Council of Foreign Relations) mengatakan, pernyataan Biden telah membuat situasi sulit menjadi lebih sulit dan situasi berbahaya menjadi lebih berbahaya.
“Putin akan melihatnya sebagai konfirmasi atas apa yang dia yakini selama ini. Kesalahpahaman yang buruk dalam hal kedisiplinan berisiko memperluas cakupan dan durasi perang,” kata Haass, melalui cuitannya di Twitter.
Senator James Risch, anggota Partai Republik pada Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS mengritik keras pernyataan Biden dengan menyebutknya sebagai kekeliruan yang menyebabkan masalah besar.
Meluruskan
Sesaat setelah Biden melontarkan pernyataannya, seorang pejabat Gedung Putih buru-buru meluruskan hal tersebut.
"Maksud Presiden adalah bahwa Putin tidak dapat diizinkan untuk menjalankan kekuasaan atas tetangganya atau wilayahnya (Ukraina). Dia tidak membahas kekuasaan Putin atau perubahan rezim di Rusia,” kata pejabat tersebut, Sabtu (26/3) waktu setempat.
Akan tetapi, hal itu belum cukup bisa meluruskan situasi yang terlanjur “memanas”. Apalagi, Duta Besar Ukraina untuk AS Oksana Markarova, dalam wawancara dengan NBC "Meet the Press" menyatakan, siapa pun yang adalah penjahat perang, yang menyerang negara tetangga, yang melakukan semua kekejaman ini, pasti tidak bisa tetap berkuasa di dunia yang beradab. Markarova merujuk pada sosok Putin yang telah dinyatakan oleh AS sebagai penjahat perang.
Untuk meredakan situasi, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, yang tengah berada di Israel, menguatkan pernyataan Gedung Putih. "Seperti yang Anda ketahui, dan seperti yang Anda dengar, kami berulang kali menyatakan kami tidak memiliki strategi perubahan rezim di Rusia - atau di mana pun,” kata Blinken.
Michael McFaul, mantan Duta Besar AS untuk Rusia, mengatakan di Twitter bahwa kata-kata Biden perlu dibaca dengan nuansa.
"Biden mengungkapkan apa yang juga diyakini oleh miliaran orang di seluruh dunia dan jutaan orang di dalam Rusia. Dia tidak mengatakan bahwa AS harus menyingkirkannya dari kekuasaan. Ada perbedaan,” tulisnya di Twitter.
Julianne Smith, Utusan AS untuk NATO, mendukung pernyataan Blinken dan McFaul.
“Presiden telah menghabiskan beberapa hari mengunjungi para pengungsi Ukraina. Dia pergi ke stadion nasional di Warsawa dan benar-benar bertemu dengan ratusan orang Ukraina. Dia mendengar cerita heroik mereka saat mereka melarikan diri dari Ukraina setelah perang brutal Rusia di Ukraina. Saat itu, saya pikir itu adalah reaksi manusia yang berprinsip terhadap cerita yang dia dengar hari itu," kata Smith, dalam wawancara dengan CNN. Dia menambahkan bahwa AS tidak memiliki kebijakan perubahan rezim di Rusia.
G20
Bagaimanapun, panasnya perang Rusia-Ukraina berdampak pada dunia, tak terkecuali relasi dalam keanggotaan Group of Twenty atau G20. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi seusai berbicara di Forum Doha mengatakan, Indonesia terus mengingatkan harapan dunia terhadap G20 sebagai katalis bagi pemulihan pandemi dan pemulihan ekonomi.
Semua paham bahwa situasi di Ukraina membawa dampak yang sangat besar bagi semua negara, termasuk semua kegiatan yang dilakukan, termasuk G20. ”Oleh karena itu, presidensi G20 terus melakukan konsultasi, mendengarkan semua pandangan dan saran dari berbagai pihak,” katanya.
Indonesia sebagai presiden G20, tutur Retno, terus berkonsultasi dengan semua negara mengenai berbagai hal. Secara bilateral, Indonesia akan mengirimkan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Ukraina.
”Jika perang terus berlanjut, sudah dapat dipastikan situasi kemanusiaan akan semakin memburuk. Mempertimbangkan adanya kondisi kemanusiaan yang mendesak, Indonesia akan mempertimbangkan secara positif untuk memberikan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Ukraina,” kata Retno.
(AP/AFP/Reuters)