Tertekan Penutupan Shanghai, Pasar Berharap Kabar Positif Perundingan Rusia-Ukraina
Penutupan wilayah (lockdown) Shanghai selama sembilan hari menjadi sentimen penekan bagi para pelaku pasar. Sentimen ini bersaing dengan harapan akan adanya kemajuan dalam perundingan damai Rusia-Ukraina.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
SYDNEY, SENIN — Pasar saham bergerak variatif pada awal perdagangan pekan ini, Senin (28/3/2022), saat harga minyak turun. Penutupan wilayah (lockdown) Shanghai sebagai pusat keuangan di China selama sembilan hari menjadi sentimen penekan bagi para pelaku pasar. Sentimen positif datang dari berita tentang rencana negosiasi antara Rusia dan Ukraina yang diharapkan memberi kabar baik berupa penyelesaian damai atas krisis di Ukraina.
Shanghai adalah salah satu kota terpenting bagi ekonomi China. Pusat keuangan berpenduduk 26 juta jiwa itu ditutup mulai awal pekan ini selama sembilan hari ke depan. Penguncian itu akan dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama, penduduk di sisi timur kota lebih dulu dikarantina. Pada tahap kedua, penguncian wilayah di bagian barat kota tersebut.
Langkah penguncian wilayah di Shanghai tersebut diambil di tengah penyebaran kasus Covid-19 melalui galur Omicron. Sampai saat ini ini China masih menerapkan kebijakan nol-Covid (zero Covid) yang dilakukan dengan penutupan wilayah guna menggelar tes massal bagi warganya.
Aktivitas warga pun secara umum dibatasi, termasuk pemberlakuan perintah untuk bekerja dari jarak jauh atau bekerja dari rumah. Semua perusahaan manufaktur telah diminta menangguhkan kegiatannya sementara waktu. Pemberlakuan pembatasan kegiatan itu ikut menekan harga minyak pada awal pekan ini.
China adalah negara importir minyak terbesar dunia. Harga minyak Brent tergelincir 3,26 dollar AS per barel menjadi 117,39 dollar AS per barel. Sementara itu, harga minyak mentah WTI juga turun 3,37 dollar AS per barel menjadi 110,53 dollar AS per barel.
Namun, sentimen risiko itu ditekan oleh harapan adanya kemajuan dalam perundingan damai Rusia-Ukraina yang akan diadakan di Turki pada pekan ini. Harapan itu diharapkan berlanjut setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyatakan bahwa Ukraina siap untuk membahas status netral sebagai bagian dari kesepakatan. Zelenskyy berharap kesepakatan itu dapat tercapai tanpa ditunda-tunda lagi.
Beberapa putaran negosiasi antara Rusia dan Ukraina sebelumnya gagal mengatasi sejumlah ketidaksepakatan. Muncul harapan bahwa Moskwa bersedia untuk meredakan ketegangan ketika pasukan Rusia berupaya mematahkan perlawanan militer Ukraina yang jumlah personel dan kekuatan persenjataannya jauh lebih kecil. Zelenskyy sebelumnya telah mengindikasikan bahwa dia bersikap ”hati-hati” mempertimbangkan permintaan Rusia agar Ukraina bersikap netral.
Dari lantai bursa saham terekam bahwa indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,8 persen. Indeks MSCI telah turun 3 persen untuk bulan ini, tetapi masih jauh di atas posisi terendahnya baru-baru ini. Indeks saham unggulan China juga turun 0,8 persen dengan indeks Nikkei Jepang kehilangan 0,4 persen. Meski demikian, indeks Nikkei sepanjang bulan ini masih naik 6 persen. Ini dipengaruhi oleh penurunan nilai tukar yen yang meningkatkan pendapatan eksportir.
Dari bursa Wall Street, indeks saham di AS sejauh ini terbukti sangat tangguh terhadap langkah The Federal Reserve yang secara radikal lebih hawkish. Kalangan pelaku pasar memperkirakan adanya delapan kenaikan tingkat suku bunga acuan atau Fed rate untuk enam pertemuan yang tersisa tahun ini untuk membahas kebijakannya. Jika proyeksi itu benar, suku bunga acuan di AS akan berada di level 2,50-2,75 persen.
Citi pada pekan lalu memperkirakan pengetatan Fed rate sebesar 275 basis poin tahun ini termasuk kenaikan setengah poin pada Mei, Juni, Juli, dan September. ”Kami memperkirakan The Fed akan terus menaikkan suku bunga hingga 2023, mencapai kisaran target suku bunga kebijakan 3,5-3,75 persen,” demikian tim riset Citi dalam analisisnya. ”Risiko terhadap suku bunga kebijakan tetap naik mengingat risiko kenaikan inflasi.”
Data ketenagakerjaan AS akan menjadi perhatian kalangan investor dan pelaku pasar pekan ini. Jumlah tenaga kerja AS diperkirakan bertambah 475.000 dengan tingkat pengangguran mencapai level terendah pascapandemi, yakni sebesar 3,7 persen. ”Data AS akan membantu membentuk ekspektasi, apakah pengetatan dalam kondisi keuangan mulai meluas ke ekonomi yang lebih luas,” kata tim analis di NatWest Markets.
”Tema utama berikutnya adalah meningkatnya kekhawatiran akan resesi karena The Fed menaikkan pertumbuhan yang melambat, berpotensi mendukung puncak imbal hasil di musim panas ini,” lanjut mereka.
Asia tumbuh positif
Krizia Maulana, Investment Specialist Manulife Aset Manajemen Indonesia, menilai bahwa pasar finansial Asia diproyeksikan akan tumbuh positif pada tahun ini. Di tengah volatilitas global, pasar Asia diperkirakan akan menawarkan kinerja yang lebih tangguh. Hal itu didukung oleh sejumlah faktor, yaitu akselerasi pertumbuhan ekonomi Asia, pertumbuhan laba emiten yang solid, dan valuasi pasar pada level yang relatif atraktif.
Asia dianggap memiliki fondasi makroekonomi yang lebih kuat dalam menghadapi pengetatan moneter AS. ”Pengetatan kebijakan The Fed menjadi tantangan yang harus diperhatikan. Namun, Asia masih memiliki ruang kebijakan moneter yang lebih longgar, didukung oleh inflasi yang lebih terjaga dan tingkat suku bunga riil yang tinggi sehingga memberi fleksibilitas bagi bank sentral di kawasan ini,” kata Krizia.
Pasar finansial Indonesia bakal ikut bertumbuh seiring dengan pertumbuhan pasar finansial Asia. Di tengah kondisi saat ini, menurut Krizia, investor dapat mengembangkan dananya dengan memanfaatkan potensi pertumbuhan di pasar itu. Investor dengan pola pikir ke depan dapat memanfaatkan peluang investasi di reksa dana saham, dengan tetap mencermati risiko saat ini dan menangkap peluang dalam jangka panjang. (AFP/REUTERS)