Dihantam Krisis Ekonomi Terburuk, Sri Lanka Kian Bergantung pada Bantuan Asing
Sri Lanka tengah dilanda krisis uang tunai, cadangan devisa sekarat, utang menggunung, dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Negara itu kini terancam gagal bayar.
Sri Lanka, negara kepulauan di Samudra Hindia yang pernah berambisi menjadi Singapura kedua itu, kini didera krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun terakhir. Selama berbulan-bulan negara berpenduduk 22 juta jiwa itu mengalami pemadaman listrik bergilir di seluruh negeri, termasuk di ibu kota Kolombo.
Di samping itu, lonjakan harga dan kelangkaan bahan bakar minyak, gas, dan sembako mengimpit sebagian besar warga Sri Lanka. Proyek infrastruktur pemerintah dan konstruksi rumah warga di berbagai pelosok kampung terhenti karena ketiadaan dana. Harga bahan bangunan yang meroket telah menyulitkan semua. Obat-obatan yang umumnya diimpor semakin langka.
Krisis ekonomi dan keuangan membuat Kementerian Luar Negeri Sri Lanka harus menutup dua kedutaan besar dan satu kantor konsulat jenderal di luar negeri. Sri Lanka kesulitan dana segar dollar AS untuk biaya operasional sehari-hari. Mulai 31 Maret, Kedubes Sri Lanka di Baghdad (Irak) dan Oslo (Norwegia) serta kantor konsul jenderal di Sydney, Australia, terpaksa ditutup karena persoalan tersebut. Pada Desember 2021, Sri Lanka juga telah menutup tiga misi diplomatiknya di luar negeri.
”Terlalu banyak kesulitan dan penderitaan,” kata Seetha Gunasekera (36), ibu dua anak, warga Kolombo, kepada kantor berita Reuters, 22 Maret lalu. ”Membangun rumah itu sulit,” kata Sandamali Purnima, ibu empat anak di Kolombo. ”Namun, makan lebih susah lagi,” kata Purnima, seperti dikutip The New York Times, 25 Maret 2022.
Baca juga : Kelangkaan BBM Picu Unjuk Rasa dan Kekacauan di Sri Lanka
Masalah Sri Lanka ialah anggaran pendapatan belanja negara, yang selama ini diketahui memang lemah, semakin tidak stabil lagi. Ditambah pemotongan pajak yang tidak tepat waktu dan pandemi Covid-19, yang menghancurkan pariwisata, serta merosotnya transaksi pengiriman uang asing, telah mendatangkan malapetaka pada ekonomi negara tersebut.
Cadangan mata uang asing merosot 70 persen dalam dua tahun terakhir. Pada Minggu (27/3/2022) malam, bank sentral Sri Lanka menetapkan nilai tukar rupee yang fleksibel, yang membuatnya bergerak bebas tanpa intervensi. Namun, hal itu memicu devaluasi sekitar 30 persen dan kenaikan harga berbagai barang kebutuhan pokok.
Negara pulau di selatan India itu tengah dilanda krisis uang tunai, cadangan devisa sekarat, utang menggunung, dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sri Lanka terancam menjadi negara yang gagal bayar. Sebagian besar kehidupan negara itu bergantung pada uang pinjaman atau kredit dari negara lain, seperti China, India, Jepang, dan lembaga keuangan internasional, terutama Dana Moneter Internasional (IMF).
Siklus pinjaman luar negeri yang berulang sejak 2017 menyebabkan utang Sri Lanka menumpuk 12,55 miliar dollar AS atau Rp 180,2 triliun melalui obligasi negara (ISB), porsi terbesar utang luar negerinya. Tahun ini Sri Lanka harus menebus 4 miliar dollar AS, termasuk 1 miliar dollar untuk ISB yang jatuh tempo pada Juli. Tahun lalu, utang Sri Lanka kepada China itu mencapai 6,9 miliar dollar AS. Citigroup menyebut, ada risiko ”masa depan yang berpotensi gagal bayar”.
”Kami benar-benar mencapai titik terendah,” kata Paikiasothy Saravanamuttu, Pendiri dan Direktur Eksekutif Center for Policy Alternatives, yang berbasis di Kolombo kepada The Times, 25 Maret 2022. Dia mengakui, mayoritas masyarakat yakin bahwa situasi saat ini bisa menjadi jauh lebih buruk lagi.
Baca juga: Sri Lanka Terjepit China dan India
Pekan lalu, demonstrasi massa melanda Sri Lanka untuk menuntut pergantian rezim. Militer dikerahkan untuk menenangkan massa yang memenuhi sejumlah jalan utama di Kolombo. Mereka menunjukkan kemarahan dengan memblokade jalan-jalan utama di Kolombo sehingga mengakibatkan kemacetan lalu lintas.
Juru bicara pemerintah, Ramesh Pathirana, mengatakan bahwa massa marah karena tidak mendapatkan minyak tanah sebagai bahan bakar utama untuk memasak. Selain dikerahkan untuk membubarkan massa, Angkatan Bersenjata Sri Lanka juga mengerahkan dua tentara untuk berjaga-jaga di stasiun pengisian bahan bakar.
Investasi gagal
Krisis ekonomi kini sangat mengganggu kehidupan Sri Lanka, negara berpenduduk sekitar 22 juta jiwa itu. Padahal dalam waktu kurang dari satu dekade, Sri Lanka sebenarnya telah berhasil pulih dari kerusakan akibat perang saudara yang berakhir pada 2009, meraih status negara berpenghasilan menengah ke atas.
Dalam waktu kurang dari satu dekade, Sri Lanka berhasil membangun ekonominya berbasis pariwisata yang menghasilkan miliaran dollar AS setiap tahun. Restoran, kafe, dan resort wisata untuk kaum jet set bertumbuh. Mobil mewah bersileweran di kota-kota negara itu. Berdiri banyak mal kelas atas.
Selama masa kepresidenan Mahinda Rajapaksa (2005-2015), Sri Lanka berambisi membangun negaranya menjadi Singapura yang lain. Mahinda menggenjot pembangunan proyek infrastruktur yang ambisius, termasuk pelabuhan-pelabuhan strategis, dengan dana pinjaman luar negeri.
Walau demikian, sejauh ini banyak dari proyek tersebut mandek dan terbengkalai sehingga gagal menarik investasi swasta yang diharapkan pemerintah. Kondisi itu terus membebani pemerintahan berikutnya, termasuk pada masa kepemimpinan Presiden Maithripala Sirisena (2015-2019), dengan utang besar berbunga tinggi.
Lihat foto: Potret Antrean Warga Membeli BBM di Sri Lanka
Hanya saja kemudian Sirisena berhasil mengubah pinjaman jangka pendek yang begitu mahal menjadi utang jangka panjang yang lebih murah. Dia membangun cadangan devisa hingga sekitar 7,5 miliar dollar AS. Bahkan, Sri Lanka saat itu sempat mengalami surplus anggaran untuk pertama kalinya dalam 52 tahun.
Pada November 2019, Gotabaya Rajapaksa menjadi presiden dan menunjuk kakaknya, Mahinda Rajapaksa, menjadi perdana menteri. Sebelum Covid-19 muncul, Gotabaya menerapkan pemotongan pajak besar-besaran. Sri Lanka kini membukukan tanpa aset asing untuk pertama kalinya dalam sejarahnya. Sementara utang negara melonjak dari 7 persen menjadi 16 persen.
Ketika Gotabaya menang pilpres pada 2019, hanya beberapa bulan setelah serangan teroris pada Minggu Paskah yang menewaskan lebih dari 250 orang di Kolombo, dia berkampanye dengan platform memulihkan keamanan negara. Ia mengandalkan reputasinya sebagai menteri pertahanan, yang telah membantu mengakhiri perang saudara yang panjang di Sri Lanka.
Sejak menjadi presiden, Gotabaya memperkokoh reputasinya sebagai orang kuat, memenjarakan para lawan dan pembangkang. Namun, ketika ekonomi memburuk di bawah pengawasannya, tekanan padanya untuk meringankan penderitaan rakyat semakin meningkat. Bahkan, pekan lalu, demonstrasi yang dipimpin oposisi menuntut penggulingan keluarga Rajapaksa. Dua orang tewas dalam demonstrasi itu.
Dalam situasi krisis ekonomi saat ini, ujian sekolah ditunda karena kelangkaan kertas. Penjaga Pantai India menyelamatkan sebuah kapal yang penuh dengan pencari suaka dari Sri Lanka utara, yang menyeberangi selat sempit antara India dan Sri Langka, setelah berminggu-minggu tanpa cukup makanan di rumah mereka.
Bank sentral mencetak rupee dan menimbun dollar, memicu inflasi ke rekor tertinggi, yakni 17,5 persen pada Februari lalu. Menteri Keuangan Basil Rajapaksa kembali memohon kredit kepada negara-negara tetangga, India, China, dan bahkan Bangladesh dan Myanmar, untuk untuk membeli bahan bakar diesel dan susu bubuk. Bank sentral Sri Langka membarter minyak Iran dengan daun teh.
Baca juga: China Perkuat Kuku di Samudra Hindia
Selama berbulan-bulan, pemerintahan Gotabaya telah menggilir pemadaman listrik. Tidak terkecuali di wilayah-wilayah ibu kota Kolombo. Jalanan kota tiba-tiba gelap gulita seperti pekatnya malam di Samudra Hindia yang mengepung Sri Lanka. Itulah situasi yang oleh Saravanamuttu disebut ”titik terendah” dalam sejarah Sri Langka.
Bantuan asing
Di tengah situasi utang terus menumpuk, Kolombo kembali semakin bergantung pada bantuan asing. India baru-baru ini memberi Sri Lanka jalur kredit perbankan 1,5 miliar dollar AS untuk mengatasi krisis bahan bakar. China sedang mempertimbangkan jalur kredit 2,5 miliar dollar AS kepada Sri Lanka.
Pemerintahan Gotabaya bahkan telah beralih ke tetangga yang lebih miskin, seperti Bangladesh, untuk memperoleh kredit. ”Kami tidak punya apa-apa lagi untuk membeli bahan bakar,” kata Shehan Semasinghe, anggota parlemen dan Menteri Negara Ekonomi Rumah Tangga dan UMKM. Kredit itu bertujuan untuk mendapatkan bahan bakar, barang kebutuhan pokok, dan obat-obatan.
Langkah darurat oleh Presiden Gotabaya dan Menteri Keuangan Basil Rajapaksa, yang juga adiknya itu, sepertinya tidak akan cukup untuk menutupi tumpukan utang yang semakin besar kepada China, India, Jepang, dan pemberi pinjaman besar lainnya. Seorang ekonom membandingkan Sri Lanka seperti organ manusia, yang banyak bagiannya telah mengalami kegagalan.
”Banyak organ ekonomi Sri Lanka mengalami kegagalan. Telah terjadi sepsis,” kata Murtaza Jafferjee, Ketua Institut Advocata, lembaga kajian di Kolombo
Basil Rajapaksa, awal bulan ini, mengatakan bahwa Sri Lanka akan bekerja dengan IMF. Menurut Gubernur Bank Sentral Sri Lanka Ajith Nivard Cabraal, permintaan bantuan pada IMF terjadi karena tidak ada penerimaan dari sektor pariwisata, yang menjadi andalan utama bagi ekonomi negara itu.
Dalam tinjauan berkala pekan lalu, Kolombo telah mengajukan restrukturisasi utang kepada IMF. Namun, IMF meminta Kolombo menerapkan strategi ”kredibel dan koheren” untuk membayar utang dan memulihkan stabilitas makroekonomi. Menjelang pembicaraan dengan IMF di Washington DC, April mendatang, Kolombo mengatakan akan menyewa firma hukum global untuk bantuan teknis terkait restrukturisasi utang untuk menghindari kemungkinan gagal bayar. (AFP/REUTERS/AP)